Mohon tunggu...
Muhamad AbnaMir
Muhamad AbnaMir Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa universitas Islam Sultan agung

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kasus homo seksual dipondok pesantren menurut hukum pidana islam

24 Mei 2023   19:20 Diperbarui: 24 Mei 2023   19:22 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasus homoseksual di pondok pesantren menurut hukum pidana islam

Pondok pesantren (Ponpes) merupakan tempat bengkel bagi manusia untuk membenarkan dalam hal perilaku yang tidak baik menjadi baik,dari baik menjadi baik,atau istilah bengkel “servis mesin”. Pondok identik dengan menimba ilmu agama dan selalu identik dengan budaya religius yang penuh sopan santun. Namun, ada cerita-cerita miring terkait perilaku yang belum banyak diketahui publik, yakni perilaku homoseksual di kalangan santri pria.

Mairil merupakan perilaku kasih sayang yang diberikan antar sesama jenis dalam kehidupan sehari-hari ibaratnya orang yang sedang pacaran, termasuk hubungan seksual sesama jenis. Umumnya yang menjadi korban mairil dan nyampet adalah santri yang memiliki wajah ganteng, tampan, imut, dan baby face.

Ponpes “Seorang santri yang berinisial hf yang beranjak dewasa telah melakukan hal yang tidak wajar ke santri lainnya dengan melakukan homoseksual atau bahasa dari pondok itu meril. Awalnya si hf pernah jadi korban meril oleh temannya di pondok sebelumnya , akhirnya si hf memutuskan untuk pindah ke pondok lain. Dan melakukan meril seperti temannya pada waktu dia jadi korban. Alasan dia melakukan itu karena ingin balas dendam perasaan pada saat dia jadi korban”

Dalam hukum Islam, homoseks sesama pria disebut liwath yang akar katanya sama dengan akar kata Luth. Perbuatan homoseks sesama pria itu disebut liwath, karena perbuatan tersebut pernah dilakukan oleh kaum yang durhaka kepada seruan Nabi Luth as. Kaum itu berdomisili di negeri Sodom (di sebelah timur Laut Mati atau di Yordania sekarang) dan karena itu di kalangan bangsa Barat yang beragama Kristen perbuatan demikian disebut sodomi.3 Dalam berbagai referensi semua mengatakan, bahwa homoseksual adalah kebiasaan seorang laki-laki melampiaskan nafsu seksualnya pada sesamanya. Sedangkan lesbian adalah kebiasaan seorang perempuan melampiaskan nafsu seksualnya pada sesamanya.

Pasangan homoseks dalam bentuk liwath termasuk dalam tindak pidana berat (dosa besar), karena termasuk perbuatan keji yang merusak kepribadian, moral dan agama. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S al-A‟raf ayat (7) : 80 dan 81 sebagai berikut 

Artinya: “Dan (kami juga telah mengutus) Luth ketika dia berkata kepada mereka: “mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini)”. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”. Senada dengan ayat-ayat tersebut, juga disebutkan dalam Q.S al-Syu‟ara‟ (26) : ayat 165 dan 166 sebagai berikut:

 Artinya : “Luth berkata kepada kaumnya): Mengapa kamu mendatangi (menggauli jenis laki-laki) di antara manusia” (QS. al-Syuara‟:165) 

Artinya: “Dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orangorang yang melampaui batas”. (QS. al-Syuara‟:166). 

Ayat-ayat yang telah disebutkan menerangkan bahwa perbuatan kaum Nabi Luth yang hanya melakukan hubungan seksual kepada sesama laki-laki melepaskan syahwatnya hanya kepada sesama laki-laki dan tidak berminat kepada perempuan sebagaimana ditawarkan oleh Nabi Luth, tetapi mereka tetap melakukan perbuatan homoseksual, akhirnya Allah memberikan hukuman kepada mereka dan memutarbalikan negeri mereka, sehingga penduduk Sodom, termasuk isteri Nabi Luth kaum lesbi, tertanam bersamaan dengan terbaliknya negeri itu. Yang tidak kena azab hanya Nabi Luth dan pengikut-pengikutnya yang saleh dan menjauhkan diri dari perbuatan homoseks.

Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pelanggaran terhadap kesucian melalui perbuatan homoseks (sodomi), pada pasal 292 disebutkan: Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun. Di Indonesia, larangan hubungan seksual sesama jenis kelamin (homoseksual) hanya terhadap orang yang melakukannya dengan anak yang belum dewasa. Jika homoseksual itu dilakukan oleh orang-orang yang sama-sama dewasa dan sama-sama suka, maka hubungan homoseksual itu tidak dapat dilarang. Tetapi masyarakat tidak atau belum dapat menerima pemikiran ini, karena hubungan homoseksual itu, menurut hukum pidana Islam khususnya, adalah merupakan hukuman pidana yang dapat dikenakan hukuman jika terbukti.27 Sebagaimana telah dijabarkan di atas, bahwa dalam rangka penerapan tehadap hukuman dan untuk melindungi masyarakat dari kekejian perilaku, maka dibutuhkan kekuasaan dan kedaulatan untuk dapat menegakkannya. Di Indonesia, sebagaimana pasal 292 dalam KUHP di atas, dikatakan sanksi hukuman untuk perbuatan cabul sesama jenis kelamin (dalam hal ini sodomi) hanya diberlakukan bagi pelaku yang melakukan perbuatan keji itu dari orang dewasa kepada anak yang dibawah umur.

Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jenis hukuman sanksi yang dikenakan kepada pelaku homo dan lesbi itu kepada tiga pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa para pelaku homosek harus dibunuh. Pendapat ini dianut oleh sahabat-sahabat Nabi Saw, al-Nashir dan Qasim bin Ibrahim serta Imam Syafi‟i dalam salah satu riwayat.20 Argumentasi mereka berdasarkan hadits riwayat Nasai dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas:

 (َ Artinya : “Siapa yang kalian temukan melakukan perbuatan seperti perbuatan Kaum Luth (perbuatan homoseksual), maka bunuhlah pelakunya dan pasangannya karena perbuatan itu. (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas) Pendapat kedua dikemukakan oleh Imam al-Syafi‟i dalam pendapatnya yang populer bahwa pelaku liwath harus dirajam tanpa membedakan apakah pelakunya itu masih bujangan ataukah sudah menikah. Pendapat kedua ini juga dikemukakan oleh Sa‟id bin Musayyab (w. 94 H). „Atha‟ bin Abi Rabah (w. 114 H), Hasan Abu Qatadah (w. 118 H), al-Nakhai, Sufyan al-Sauri, Abdurrahman al-Auza‟i, Abi Talib, Imam Yahya dan sebagian ulama mazhab Syafi‟i, hukuman terhadap pelaku homoseks sesama pria itu sama dengan hukuman (had) zina. Mereka berpendapat bahwa kepada pelakunya diberlakukan hukuman zina, yaitu dicambuk bagi yang masih bujangan dan dirajam (dilempar dengan batu sampai wafat) bagi mereka yang sudah menikah. Argumentasi yang mereka ajukan adalah bahwa perbuatan homoseks dalam bentuk liwath/sodom itu termasuk dalam kategori perbuatan zina.

Imam Nawawi al-Bantani (w.1314 H/1897 M; muffasir Indonesia asal Banten) juga mengelompokkan homoseks sesama pria ke dalam perbuatan zina. Hal ini terutama dikaitkan dengan surah al-Mu‟minun (23) ayat 5-7: 

 Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”. Dalam ayat ini dan ayat sebelumnya, Allah Swt telah menjelaskan bahwa kebahagiaan seseorang hamba Allah Swt itu amat tergantung pada pemeliharaan kemaluannya dari berbagai penyalahgunaannya supaya tidak termasuk orang-orang yang tercela. Menahan ajakan hawa nafsu jauh lebih ringan daripada menanggung akibat buruk dari perbuatan zina atau homoseks tersebut. Allah Swt telah memerintahkan Rasulullah Saw agar menyampaikan perintah itu kepada umatnya agar mereka menjaga pandangannya dengan cara memejamkan mata dan memelihara kemaluannya.23 Sebagaimana firman Allah Q.S anNur (24) : 30, 31

 Pendapat ketiga menyatakan bahwa hukumannya diserahkan kepada penguasa. Pendapat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah, Mu‟ayyad Billah, dan al-Murtadha, keduanya ahli fikih Syiah dan Imam Syafi‟i dalam riwayat yang lain. Penguasalah yang berhak menetapkan jenis hukumannya, karena perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan ke-dalam perbuatan zina, maka hukumannya pun tidak dapat disamakan dengan hukuman zina.24 Menurut al-Syaukani, pendapat pertama yang kuat, karena berdasarkan nas sahih, sedangkan pendapat kedua dianggap lemah, karena Hadis yang dipakainya lemah. Demikian pula pendapat ketiga, juga dipandang lemah, karena bertentangan dengan nas yang telah menetapkan hukuman mati (hukuman had), bukan hukuman ta‟zir

Sedangkan hukuman bagi pelaku lesbi, ulama sepakat mengatakan, bahwa hukumannya adalah ta’zir yaitu suatu hukuman yang macam dan berat ringannya diserahkan kepada pengadilan. Jadi, hukumannya lebih ringan daripada homoseksual, karena bahaya atau resikonya lebih ringan dibandingkan dengan bahaya homoseksual, karena lesbian itu hanya bersentuhan langsung tanpa memasukkan alat kelaminnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun