Suara dari Rumpun Cendani
Karya: Muhalbir
Epigraf:
"Ketika angin melintasi rumpun bambu, ia tak hanya membawa suara alam, tetapi juga napas sejarah manusia yang belajar menyatu dengan bumi."
I. Rumpun yang Berbisik
Fajar baru menyentuh pucuk-pucuk bambu di Desa Lembah Hijau. Kabut turun seperti tirai halus, membelai daun-daun panjang yang berdesis pelan saat disentuh angin. Di tengah lembah itu, berdiri rumpun bambu yang tak biasa---warnanya hijau pucat bercahaya keemasan jika tertimpa sinar mentari.
Orang-orang desa menyebutnya Cendani, dari kata "Cendana" dan "Bambung"---sebuah simbol keharmonisan dua alam: harum dan kuat.
Pak Darmo, kepala dusun yang rambutnya sudah memutih seperti kapas, berdiri di pinggir sungai kecil sambil memandangi pantulan rumpun Cendani. Di tangannya, ia menggenggam seruas bambu kecil yang telah ia jadikan suling. Dari alat itu, setiap pagi ia meniupkan nada-nada lembut.
Anak-anak desa sering berkumpul mendengarnya.
"Suara suling Pak Darmo bisa bikin ayam berhenti berkokok," kata Lani, gadis kecil berusia sepuluh tahun, sambil tertawa.
Pak Darmo tersenyum. "Bukan suara sulingnya, Nak. Tapi bambu ini punya ruh yang menyatu dengan napas manusia. Kalau hati yang meniup jernih, suaranya akan menyentuh yang lain."
Sejak puluhan tahun, masyarakat Lembah Hijau mempercayai bahwa bambu cendani adalah penjaga harmoni alam. Mereka menanamnya di setiap sudut sawah, di tepi sungai, di halaman rumah. Daunnya digunakan untuk ramuan demam, batangnya untuk bangunan, dan akarnya dipercaya menahan erosi tanah.
Namun, yang paling istimewa adalah getah beningnya, yang muncul di ruas batang saat embun turun. Cairan itu digunakan tabib desa untuk meredakan luka dan menenangkan pikiran.
II. Kedatangan dari Kota
Suatu pagi di akhir bulan Maret, truk berlogo Universitas Brawa mendaki jalan berkelok menuju desa. Dari dalamnya turun tiga orang peneliti muda:
- Dr. Lintang Pradipta, ahli biokimia tanaman.
- Reno, mahasiswa doktoral bidang lingkungan.
- Sari, ahli etnobotani yang lembut namun tegas.
Kedatangan mereka disambut heran oleh penduduk. Orang-orang desa jarang melihat orang kota yang datang bukan untuk berlibur, melainkan membawa alat-alat laboratorium.
"Kami mendengar tentang bambu cendani," kata Lintang kepada Pak Darmo saat pertemuan di balai desa. "Kami ingin meneliti kandungan senyawanya. Ada kemungkinan bambu ini mengandung enzim yang bisa menenangkan sistem saraf manusia. Ini bisa jadi temuan besar."
Pak Darmo mengangguk pelan.
"Bambu bukan untuk dijadikan bahan pameran, Nak. Ia hidup karena kami rawat dengan doa. Tapi kalau penelitian kalian bisa menjaga bambu ini tetap lestari, kami akan bantu."
Sari tersenyum hormat. "Kami tidak akan mengambil tanpa izin, Pak. Kami datang untuk belajar dari alam dan dari Bapak-bapak semua."