Mohon tunggu...
Muhajirin
Muhajirin Mohon Tunggu... Guru - Asah pikir dengan menulis

Belajar menulis dengan baik adalah bagian penting untuk mengawetkan pengetahuan. Kadang ilmu bisa karatan dalam pikir yang terpendam. Berdiskusi dan menulis merupakan sebagian cara untuk mengasah Ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Dilema Kelapa Muda

25 April 2021   14:31 Diperbarui: 25 April 2021   14:57 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Sabtu pagi, (17 April 2021), saya dan keluarga ke Pasar Baru Waikabubak untuk membeli persediaan berbuka puasa hari ini. Pasar tersebut berlokasi cukup jauh dari pusat kota sehingga perlu waktu khusus untuk ke sana. Pagi hari adalah pilihan yang tepat untuk menghindari terik matahari atau mengantisipasi terjebak hujan di tengah perjalanan. Hal itu penting mengingat kedua anak kami juga ikut serta. Selain itu, agar memperoleh sayuran, buah dan ikan yang masih segar.

Pasar baru merupakan satu-stunya pasar yang beroperasi di Sumba Barat Nusa Tenggara Timur (NTT), sejak sekitar seminggu sebelum bulan puasa lalu Pemerintah Daerah (Pemda) kembali mempertegas agar para penjual mengosongkan pasar lama. Sebab rencananya, akan dialihfungsikan untuk membangun pusat perbelanjaan modern.

Sebenarnya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Sumba Barat bersama anggota Polri dan TNI sering mengusir para penjual tetapi tetap diulangi lagi bila rajia tidak dilakukan. Kabarnya, untuk menghormati umat muslim beribadah puasa, sehingga Pemda menindak tegas penjual yang tidak patuh.

Kembali ke Judul

Sekitar 10 menit sampai lah kami di pasar.  Sesuai rencana, prioritas utama adalah kelapa muda. “ Lima ribu, lima ribu, lima ribu..,” Demikian celoteh Ina-Ina penjual kelapa. Maksudnya, lima ribu rupiah per kelapa muda.

“Sepuluh ribu tiga Ina?” tawar seorang pembeli. “ Tidak mama. Saya juga belinya segitu.” Tegas Ina.


Tawar menawar itu ternyata sedikit membingungkan istri saya, sebab biasanya di pasar lama harga kelapa memang lima ribu per buah.

“Kenapa di sini masih ditawar?” Bisiknya ke saya! “Mungkin pembeli tadi mengira si Ina merupakan penjual pertama, ternyata sudah tangan kedua.” Jelasku menebak arah pertanyaannya!

Bisa dimaklumi, istri saya masih belum paham, karena baru beberapa bulan pindah tugas dari salah satu instansi fertikal di Kabupaten Badung Bali ke sini. Mutasi mengikuti suami dan promosi jabatan. Alhamdulilah, bisa bersatu setelah hamper sepuluh tahun pisah dari keluarga kecilku!

“Oh, jadi di sini ada penjual pertama, sedangkan di pasar lama hanya ada penjual kedua?” Selidiknya penasaran! “Sebenarnya, di pasar lama dan di sini sama saja, ada penjual pertama. Hanya karena kita sering kesiangan sehingga dapatnya penjual kedua.” Tuturku pajang lebar!

Hari ini, bisa dibilang relative ramai dibandingkan harai-hari sebelumnya sebab sebentar saja kelapa muda yang cukup banyak habis dalam waktu singkat. Kami yang sibuk diskusi akhirnya kedapatan sisa. Hehe

Menarik perhatian saya, terjadi silang pendapat antara dua penjual soal kelapa muda yang masih tersisa. Jumlahnya sekitar dua puluhan buah. Dari jumlah itu, Ina yang satu mencari-carinya. Menurut dia, masih ada dua buah kelapa muda miliknya yang tersisa. “Mana kelapa saya di sini. Ada dua tadi yang belum terjual!” Klaimnya.

Tentu saja Ina kedua tidak menerima, kemudian memprotesnya. “Enak saja, ini punya saya. Tadi saya lihat ada Om yang beli semua sisa kelapa yo’u.” Tegasnya. 

Selanjutnya terjadi perdebatan menggunakan bahasa campur aduk dalam Bahasa Sumba dan Bahasa Indonesia, sehingga kami tidak paham arti semua kata-kata yang terlontar dari keduanya.

Akhirnya, Ina yang merasa kelapa mudanya hilang, menyerah. “Kamu cekke saja saya punya.” Ketusnya sebelum berlalu. Ina yang kedua terlihat cuek, dan tidak menanggapi terlalu serius, karena baginya dua kelapa muda itu memang miliknya.

Setelah tenang, baru kami meneruskan transaksi, singkatnya dua kelapa muda kami bawa pulang untuk berbuka puasa hari ini. Sebelum tancap gas, ternyata saya masih was-was tentang status kepemilikan kelapa yang kami beli. Saya menyampaikan ke istri. “ Saya masih ragu status kehalalan kelapa ini.” Ungkapku.

“Apalagi? Kan mereka sudah selesai bicarakan itu tadi.” Ungkapnya, bingung. Diakuinya juga, bahwa dialah yang memisahkan kelapa tersebut sehingga kemungkinan si Ina mengira itu miliknya yang tersisa. “Saya pisah agak dekat dengan Ina itu. Saya juga Lihat Bapak-Bapak yang pakai kaos loreng tadi sudah selesai transaksi kemudian bayar. Setelah itu baru dia pergi.” Jelasnya, meyakinkannku.

Meski begitu, saya masih saja ragu, sebab istri saya tidak tahu arti kata “Cekke”. Dalam bahasa Sumba, “Cekke” sedikit kasar. Setahu saya artinya, makan dengan rakus. Dalam konteks masalah ini, si Ina bisa saja menuduh temannya mengambil haknya secara rakus. Saya menduga, Ina yang merasa kehilangan itu terpaksa mengalah karena tidak mampu berdebat.

Hal itu saya sampaikan ke Istri, kemudian menyepakati untuk mencari si Ina dan membayar seharga yang kami beli. Ternyata, setelah keliling pasar kami tidak menemukan si Ina, kemungkinan sudah pergi jauh, atau pulang ke rumahnya. Kemudian kami sampaikan ke Ina yang menjual kelapa muda tadi, bahwa kami harus menemukan Ina yang bertengkar dengannya.

“Tidak perlu, karena saya sudah bicara dengannya. Dia minta maaf ke saya, karena dia salah. Biasa orang sini bicaranya suka kasar. Tidak apa-apa.” Akunya, panjang lebar.

“Ya udah Ina, saya beli dua lagi!” Ujarku. Ternyata, Ina merasa curiga karena kami malah minta nambah. “Kenapa, belum cukup?” Selidiknya. Saya berusaha meyakinkan, bahwa kami butuh lagi sebab kelapa muda si Ina, besar-besar dan masih benar-benar muda. “Bukan kelapa muda padahal sudah tua.” Kata ku bercanda. Kemudian Ina tersenyum tanda mengalah mengalah serta mengabulkan permintaan menambah dua.

Padahal kami sudah sepakat, bahwa kelapa yang baru dibeli itulah yang akan digunakan untuk berbuka sebentar sore. Sedangkan yang dibeli pertama tidak dikonsumsi sebelum ketemu Ina tadi dan membayar sesuai harga. Seingkat cerita, besok pagi-pagi saya ke pasar menunggu si Ina. Menunggu dari sekitar jam 07.00 s/d 10.00 WITA, belum datang juga. Ternyata, hari Minggu pedagang Kristen umumnya libur karena harus ke Gereja, walaupun masih ada juga yang tetap berjualan. Ina yang saya cari masuk kategori pedagang kristen libur berjualan di hari minggu.

Senin pagi saya kembali datang jam 07.00 WITA. Ketemu juga akhirnya, niatku bisa diwujudkan. Meski awalnya ditolak karena dianggap masalah selesai. “Biar saja Pak, tidak apa-apa. Saya ikhlas!” Tolaknya. Saya ngotot dan menjelaskan bahwa, biar Ina sudah Ikhlas tapi tetap saja harus diterima, karena sudah terlanjur niat. “Kalo ina tidak mau, saya tidak mau belanja lagi sama Ina!” Tawarku sedikit memaksa. Ina pun menerima dengan tersenyum. Clear!

Mungkin ada yang bertanya-tanya, kenapa si saya harus ngotot? Padahal transaksi sudah dilakukan dengan benar, yaitu dengan suka sama suka. Benar, jika sudah disepakati kedua belah pihak tanpa paksaan, maka secara hukum jual beli sudah sah.

Tetapi saya yang masih awam agama ini takut karena proses suka atau tidak suka saja tidak cukup, sebab sabda  Nabi Muhammad, SAW: “Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud).

Secara sederhana kepemilikan atas suatu barang tidak perlu diperdebatkan lagi kalau tidak ada orang yang keberatan atas barang itu. Hanya saja, barang sengketa tidak mudah mendapatkan keikhlasan dari semua pihak. Akibatnya, dikhawatirkan dapat menjalimi pihak lain, walapun dalam kadar yang tidak terlalu berat.

Keikhlasan menjadi kata kuncinya. Sedangkan untuk memperoleh keikhlasan bukan pekerjaan mudah. Untuk itu perlu kehati-hatian karena melanggar perintah Allah SWT, apabila diabaikan. Seperti penjelasan Surat An-Nisa ayat 29 yang berarti: ”Janganlah kalian memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian.” (Q.S. An-Nissa:29)

 Demikian,  semoga bermanfaat!

Catatan:

Ina: panggilan untuk perempuan Sumba yang sudah Tua

Yo’u: berarti kamu (bukan anda).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun