Setiap tanggal 1 Juni, media sosial, televisi, dan institusi pemerintahan dipenuhi oleh slogan “Saya Pancasila”, pidato resmi, dan upacara khidmat. Tapi jauh dari panggung seremonial itu, ada Pancasila yang benar-benar hidup. Ia hadir dalam bentuk sederhana:saat tetangga kita membantu tanpa pamrih, ketika guru di desa mengajar meski dengan keterbatasan, atau saat anak-anak muda membangun komunitas literasi dan gerakan lingkungan. Tanpa sadar, mereka sedang menghidupkan Pancasila bukan sebagai hafalan, tapi sebagai laku hidup. Di masa pandemi kemarin, kita bisa melihat bagaimana nilai-nilai Pancasila muncul dengan sendirinya, bukan karena disuruh, tapi karena merasa itu yang benar. Di banyak sudut negeri, orang-orang patungan memberi makan tetangga yang kehilangan pekerjaan. Anak-anak muda menciptakan alat cuci tangan otomatis dari barang bekas, atau
memproduksi masker kain untuk dibagikan secara gratis. Mereka tak menyebutkan "ini sila kedua" atau "ini keadilan sosial", tapi apa yang mereka lakukan jelas mencerminkan kemanusiaan dan kepedulian yang adil serta merata. Itu bukti bahwa Pancasila bukan hanya ideologi; ia sudah menjadi naluri kebersamaan orang Indonesia. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap ironi yang terjadi. Sementara di akar rumput masyarakat saling membantu, sebagian elite politik justru sibuk bertikai, saling menjatuhkan, dan mempertontonkan sikap yang jauh dari semangat gotong royong. Polarisasi di media sosial, ujaran kebencian berbasis SARA, dan praktik intoleransi yang masih muncul di sekolah atau tempat ibadah adalah cermin bahwa Pancasila masih diuji, bahkan sering dilukai. Padahal, sila ketiga Persatuan Indonesia bukan hanya tentang satu bangsa satu tanah air, tapi tentang keberanian untuk berbeda tanpa merasa terancam.
Yudi Latif, cendekiawan yang banyak menulis soal Pancasila, pernah menyebut bahwa Pancasila harus menjadi “etika publik”. Artinya, Pancasila tidak cukup jadi pelajaran di sekolah atau simbol di lambang negara. Ia harus hadir dalam cara kita bekerja, memimpin, dan melayani. Seorang pejabat yang tidak korup, seorang guru yang sabar membimbing siswa dari latar belakang berbeda, atau seorang pemuda yang menjaga lingkungan dari sampah plastik semua itu bentuk pengamalan Pancasila yang nyata dan relevan. Bahkan lebih penting dari sekadar mengucapkan lima sila di depan kelas. Kini, kita hidup di era digital, Di mana informasi datang deras, tapi nilai bisa tergilas. Tantangannya bukan lagi soal menghafal Pancasila, tapi bagaimana menjadikannya pijakan moral dalam membuat konten, memilih kata di media sosial, dan memperlakukan orang lain di dunia maya. Pancasila memberi ruang untuk keberagaman, tapi juga mengingatkan bahwa kebebasan tidak boleh melukai orang lain. Pancasila tidak pernah meminta kita menjadi sempurna. Ia hanya menuntun agar kita tidak kehilangan arah. Selama masih ada orang yang jujur, peduli, dan mau bekerja untuk kebaikan bersama maka Pancasila belum mati. Justru ia sedang bekerja, dalam diam, dalam tindakan-tindakan kecil yang kadang tak kita sadari. Tugas kita hari ini bukan sekadar mengingatnya, tapi menghidupkannya setiap hari, di mana pun kita berada.Setiap tanggal 1 Juni, media sosial, televisi, dan institusi pemerintahan dipenuhi oleh slogan “Saya Pancasila”, pidato resmi, dan upacara khidmat. Tapi jauh dari panggung seremonial itu, ada Pancasila yang benar-benar hidup. Ia hadir dalam bentuk sederhana: saat tetangga kita membantu tanpa pamrih, ketika guru di desa mengajar meski dengan keterbatasan, atau saat anak-anak muda membangun komunitas literasi dan gerakan lingkungan. Tanpa sadar, mereka sedang menghidupkan Pancasila bukan sebagai hafalan, tapi sebagai laku hidup.
Di masa pandemi kemarin, kita bisa melihat bagaimana nilai-nilai Pancasila muncul dengan sendirinya, bukan karena disuruh, tapi karena merasa itu yang benar. Di banyak sudut negeri, orang-orang patungan memberi makan tetangga yang kehilangan pekerjaan. Anak-anak muda menciptakan alat cuci tangan otomatis dari barang bekas, atau memproduksi masker kain untuk dibagikan secara gratis. Mereka tak menyebutkan "ini sila kedua" atau "ini keadilan sosial", tapi apa yang mereka lakukan jelas mencerminkan kemanusiaan dan kepedulian yang adil serta merata. Itu bukti bahwa Pancasila bukan hanya ideologi; ia sudah menjadi naluri kebersamaan orang Indonesia.
Namun, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap ironi yang terjadi. Sementara di akar rumput masyarakat saling membantu, sebagian elite politik justru sibuk bertikai, saling menjatuhkan, dan mempertontonkan sikap yang jauh dari semangat gotong royong. Polarisasi di media sosial, ujaran kebencian berbasis SARA, dan praktik intoleransi yang masih muncul di sekolah atau tempat ibadah adalah cermin bahwa Pancasila masih diuji, bahkan sering dilukai. Padahal, sila ketiga Persatuan Indonesia bukan hanya tentang satu bangsa satu tanah air, tapi tentang keberanian untuk berbeda tanpa merasa terancam.
Yudi Latif, cendekiawan yang banyak menulis soal Pancasila, pernah menyebut bahwa Pancasila harus menjadi “etika publik”. Artinya, Pancasila tidak cukup jadi pelajaran di sekolah atau simbol di lambang negara. Ia harus hadir dalam cara kita bekerja, memimpin, dan melayani. Seorang pejabat yang tidak korup, seorang guru yang sabar membimbing siswa dari latar belakang berbeda, atau seorang pemuda yang menjaga lingkungan dari sampah plastik semua itu bentuk pengamalan Pancasila yang nyata dan relevan. Bahkan lebih penting dari sekadar mengucapkan lima sila di depan kelas.
Kini, kita hidup di era digital, Di mana informasi datang deras, tapi nilai bisa tergilas. Tantangannya bukan lagi soal menghafal Pancasila, tapi bagaimana menjadikannya pijakan moral dalam membuat konten, memilih kata di media sosial, dan memperlakukan orang lain di dunia maya. Pancasila memberi ruang untuk keberagaman, tapi juga mengingatkan bahwa kebebasan tidak boleh melukai orang lain.
Pancasila tidak pernah meminta kita menjadi sempurna. Ia hanya menuntun agar kita tidak kehilangan arah. Selama masih ada orang yang jujur, peduli, dan mau bekerja untuk kebaikan bersama maka Pancasila belum mati. Justru ia sedang bekerja, dalam diam, dalam tindakan-tindakan kecil yang kadang tak kita sadari. Tugas kita hari ini bukan sekadar mengingatnya, tapi menghidupkannya setiap hari, di mana pun kita berada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI