Mohon tunggu...
Muh. Taufik
Muh. Taufik Mohon Tunggu... Wiraswasta - belajar dan terus belajar memperbaiki diri

berusaha selalu nyaman walaupun selalu dalam kekurangan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada! Pabrik Politik Dinasti

17 Oktober 2013   10:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:26 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak reformasi,penunjukan kepemimpinan dilakukan melalui pemilihan langsung atau Pilkada. Beberapa undang-undang disusun sebagai dasar hukum pelaksanaannya,misalnya UU No.32 Tahun 2013,UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu,PP No.49 Tahun 2008 perubahan Ketiga dari PP No.6 Tahun 2005.

Banyak sekali hal yang berubah dalam masyarakat Indonesia sejak sistem ini bergulir. Setiap orang yang dijamin haknya oleh UU, kini benar-benar mempunyai kesempatan menunjukkan kemampuannya bertarung sebagai orang nomor satu diderahnya. Segala kekuatan sosial dikerahkan habis-habisan. Terutama kekuatan kelompok atau keluarga lalu ditunjang uang banyak.

Seseorang yang memiliki keluarga besar dan berpengaruh hampir bisa dipastikan berhasil menduduki jabatan yang di incar. Potensi meraup suara pemilih sangat besar, karena jabatan bergengsi sebagai orang nomor satu memiliki imbas bukan hanya untuk yang bersangkutan tapi juga seluruh keluarga dan pendukungnya. Tak heran jika muncul semboyan “ setelah menang hanya ada dua tugas, balas jasa atau balas dendam”.

Sebai makhluk koloni, manusia memang cenderung selalu memperkuat kubunya sendiri. Apalagi sebagai pemegang kuasa yang menang dalam pertarungan. Lawan yang kalah akan dianggap sebagai dinasti lain yang harus diwaspadai terus menerus. Sikap kepemimpinan warisan dari jaman kerajaan nenek moyang.

Orang yang kalah selalu dianggap oposisi sekaligus sebagai ancaman, akibatnya sang penguasa terpilih akan menutup semua celah dengan menempatkan kroninya sebagai pengawas segala lini, sehingga melahirkan dinasti baru.

Kerajaan berwajah baru bernama demokrasi modern.

Cita-cita reformasi agar menciptakan pemerintahan egaliter tidak bisa terwujud, tenggelam dalam perbutan tulang kekuasaan. Ada Gubernur yang adiknya menjadi walikota,ada yang Bapaknya Bupati anaknya minimal kepala dinas, ada yang mertuanya Bupati sang menantu diplot menjadi calon wakil bupati. Bahkan ada wakil bupati yang ecek-ecek kemampuannya, sewaktu debat kandidat saja jawabannya di SMS kan dari belakang panggung, tapi tidak ada yang berani melarang karena bapaknya masih Bupati saat itu. Ada pula Bupati yang saking populernya tidak bisa dilawan, terpaksa membayar orang berpura-pura jadi lawan.

Sekali lagi dinasti semakin langgeng.

Berita heboh akhir-akhir ini yakni kasus Gubernur Banten. Dari penyidikan KPK, ternyata gubernur provinsi para jawara itu banyak menyimpan kasus. Gunungan korupsi dan lilitan dinasti keluarga bak ular raksasa yang menelan semua isi bumi. Jawara-jawara sakti seperti takluk bertekuk lutut. Sehingga akhirnya KPK harus tampil lagi sebagai pawang baru amukan ular raksasa ini. Deretan mobil mewah, tanah yang luas, bahkan udara pun mereka kuasai melalui frekwensi radio. Benar-benar luar biasa.

Meskipun sekedar membuat jembatan kayu untuk anak SD mereka tak punya biaya. Anak-anak kecil itu harus menyabung nyawa setiap hari untuk meraih masa depan.

Pasti kita semua sadar, bahwa bukan cuma di Banten saja ini terjadi. Sebetulnya ada disekitar kita, atau malah di tempat kita. Hanya saja kita tidak mau ambil pusing, tak tahu cara mengungkapkannya atau pura-pura tidak tahu.Entahlah.

Tetapi apapun alasannya, sudah saatnya kita berpikir-pikir lagi. Masih efektifkah pilkada ini sebagai upaya memilih pemimpin yang menyejahterahkan rakyat?

Haruskah sistem ini dilakukan terus menerus? Bagaimana cara memperbaiki sesuatu yang telah rusak dalam mental demokrasi kita? Berharap kepada siapa lagi? MK telah amburadul. Benteng terakhir demokrasi itu telah jebol digempur pasukan siluman bernama Duit.

Sementara terus menerus lahir raja-raja baru diseluruh daerah di Indonesia, dengan seragam yang sama yaitu putih-putih, dengan sumpah yang sama dan pada akhirnya dengan pelanggaran yang sama.

Pilkada yang dibiayai dengan jumlah yang tidak sedikit, bahkan menelan korban jiwa ternyata sedikit sekali membawa manfaat bagi rakyat. Sudah jauh dari konsep awalnya.

Efek lainnya, masyarakat menjadi pragmatis, menentukan pilihan berdasarkan jumlah saweran meskipun sengsara selama 5 tahun. Karena mereka melihat setelah pilkada hidup begini-begini saja tanpa perubahan.

Kalaupun ada yang dirubah, itu hanya sekedar menuai citra.

Bagaimana menurut anda?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun