[caption id="attachment_346560" align="aligncenter" width="336" caption="Sumber ilustrasi di bawah artikel ini."][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
Untuk memahami konsep literasi, marilah kita bayangkan sebuah antrian kendaraan di stopan lampu lalu lintas. Di sana tampak lampu lalu lintas, merah, hijau, dan kuning—masing-masing mengisyaratkan apa yang sebaiknya dilakukan oleh pengendara. Di belokan ke kiri terpasang papan seng biru bertuliskan huruf putih “Ke Kiri Mengikuti Lampu”. Sementara itu, berhadapan dengan lampu dan rambu lalu lintas itu, ada dua jenis pengendara, yakni “pengendara patuh” dan “pengendara tak patuh”.
Pengendara tak-patuh lazim tidak mempedulikan isyarat dan rambu lalu lintas. Egonya mengedepan, superegonya disembunyikan. Seperti dikejar setan, dia menyetir sepeda motor atau mobil seenaknya—terutama saat tidak ada polisi bertugas di sana. Selagi ada space, tak peduli lampunya merah, kuning atau hijau, dia selalu gatal dan berhasrat besar untuk menancap gasnya. Apakah dia tidak bisa membaca alias buta huruf (illiterate) lampu dan rambu lampu lalu lintas? Tentu saja tidak. Dia bisa membaca. Namun, dia tidak menerapkan hasil pembacaannya dengan cara semestinya. Itulah sebabnya pantas dikatakan bahwa literasi lalu-tintas orang itu buruk.
Di lain pihak, pengendara patuh akan tertib menunggu antrian, sesuai dengan petunjuk lampu dan rambu lalu lintas yang ada. Superego bermain indah menguasai egonya. Dia sadar bahwa semua itu dipasang untuk mengatur perlalulintasan agar lebih tertib dan aman. Meski tidak ada polisi bertugas, dia berhenti saat lampu merah, bersiap-siap saat lampu kuning, dan tancap gas saat lampu hijau. Bahkan, terhadap keruwetan lalu lintas yang disaksikannya, dia mungkin memikirkan sesuatu dan mencoba menuliskannya. Inilah orang yang literasi lalulintasnya bagus.
Dua jenis pengendara itu sangat berbeda, meski sama-sama tidak buta huruf, dan sama-sama memikirkan dan menunjukkan reaksinya terhadap apa yang telah dibacanya. Pengendara tak-patuh tidak bagus dalam memahami teks, memikirkannya, dan tidak bagus pula dalam menunjukkan reaksinya. Pengendara patuh melakukan sebaliknya. Pemikirannya berjalan dengan benar, sikapnya positif, dan reaksinya juga terikat pada kebenaran. Di sanalah nilai kebijaksanaan terpantul dengan sendirinya. Artinya, pengendara patuh memiliki kebijaksanaan dalam bersikap-perilaku berkendara berkat pembacaan dan pemikiran yang benar.
Analog dengan itu, orang yang tidak buta huruf tetapi tidak mampu memahami valuta asing berarti literasi valuta asingnya rendah, orang yang tidak buta huruf tetapi tidak bisa menggunakan komputer berarti literasi komputernya rendah, dan orang yang tidak buta huruf tetapi tidak memahami sebuah teks berbahasa Inggris berarti literasi membaca (reading literacy)-nya rendah. Lalu, untuk orang yang mengaku bisa menulis, atau mengajarkan keterampilan menulis, tetapi dia tidak pernah menghasilkan tulisan, apakah ini berarti literasi menulis (writing literacy)-nya rendah?
Tentu saja, setiap orang memiliki tingkat literasinya masing-masing, sebagaimana setiap ilmu juga memiliki literasinya sendiri-sendiri. Orang tertentu memiliki (misalnya) literasi sastra, hukum, komunikasi, matematika, sains, ilmu sosial, dan pekerjaan sehar-hari yang tinggi. Sebaliknya, ada orang yang memiliki literasi sastra, hukum, dan komunikasi tinggi, namun literasi matematika, sains, dan ilmu sosialnya rendah. Ada pula orang yang hanya lulus SMP namun literasi bisnisnya sangat tinggi, sehingga dia berhasil memiliki perusahaan besar dan menjadi pejabat.
Itulah makna literasi dalam arti luas. Semula bersumber dari istilah litera (leter atau huruf, karakter), literasi kini tidak sebatas “melek huruf”, namun melintas hingga “melek budaya, melek (bertahan) hidup”. Budi Darma (2014:5) mengilustrasikan, “jawabannya terletak pada makna litera itu sendiri, yaitu sebuah istilah, bagaikan pedang bermata dua, semua tepinya sama-sama tajamnya. Di satu sisi, litera menuntut seseorang untuk menuntut memahami huruf dalam bentuk membaca, dan di sisi lain, dengan kemampuannya memahami huruf, seseorang dituntut juga untuk ‘menciptakan huruf’ dalam bentuk menulis. Kunci untuk ‘menciptakan huruf’ tidak lain adalah kemampuan untuk untuk memahami. Karena itulah, maka literacy yang awalnya maknanya sempit menjadi luas, yaitu membaca (memahami), dan mengeluarkan pendapat berdasarkan pemahamannya.”
Dalam konsep Islam literasi membaca itu dikenal dengan perintah wajib iqra (baca, kaji, pahami) dalam arti luas, tidak hanya membaca, mengkaji dan memahami teks. Literasi menulis dikonotasikan dengan qalam (sampaikan, huruf), yakni menyampaikan apa yang telah dibaca, dikaji dan dipahami kepada orang lain dengan cara-cara yang baik, lisan atau (terutama) tertulis-- dalam istilah Budi Darma literasi teks dan literasi visual. Keduanya berada dalam konteks menyampaikan pendapat, gagasan, dan sikap berdasarkan pemahaman.
Meminjam konsep Budi Darma dalam Prasetyo (2013: x), literasi teks dan literasi visual sejatinya tidak saling menguatkan, bahkan cenderung saling merobohkan. Baginya, “literasi teks adalah kemampuan untuk menjabarkan pemikiran dalam bentuk teks; sedangkan literasi visual adalah kemampuan untuk menjabarkan pemikiran melalui media visual. Dua literasi ini tidak bisa berjalan bersama-sama. Sebab, pada dasarnya literasi teks adalah antipoda literasi visual, dan literasi visual adalah antipoda literasi teks. Hakikat antipoda adalah saling tarik dan saling merobohkan, sebagaimana yang kita saksikan dalam lomba tarik tambang: kalau literasi teks lemah, literasi visual menguasai medan. Sebaliknya, kalau literasi visual kokoh, literasi teks kurang bisa tegak dan cenderung sempoyongan.”
Di bagian lain dalam tulisan ini saya menekankan lebih pentingnya pembudayaan literasi teks dari pada literasi lisan. Alasan yang sangat mendasar adalah bahwa penguatan literasi teks akan lebih abadi dampaknya dari pada literasi visual, kendati dewasa ini literasi visual masih merajai kehidupan masyarakat kita. Masyarakat kita juga, yang masih kuat terikat dalam budaya lisan, lebih suka dininabobokkan dengan “pemujaan” pemaknaan visualisasi dari pada pembacaan teks. Bahkan, sayangnya, karya sastra pun harus divisualisasikan dulu agar lebih mudah dipahami, katanya.**
Catatan: Artikel ini bagian dari paper utama yang saya sampaikan dalam sebuah seminar nasional Literasi Sains di FMIPA Universitas Negeri Surabaya pada 20 Desember 2014.
Sumber ilustrasi: https://haidarism.wordpress.com/2014/02/18/literasi-sebagai-budaya-mencerdaskan-bangsa/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI