Mohon tunggu...
Much. Khoiri
Much. Khoiri Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Penulis dan Dosen Sastra (Inggris), Creative Writing, Kajian Budaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Trainer dan Perintis 'Jaringan Literasi Indonesia' (Jalindo). Alumnus International Writing Program di University of Iowa (USA, 1993); dan Summer Institute in American Studies di Chinese University of Hong Kong (1996). Kini menjadi Kepala UPT Pusat Bahasa Unesa. Anggota redaksi jurnal sastra 'Kalimas'. Karya-karya fiksi dan nonfiksi pernah dimuat di aneka media cetak, jurnal, dan online—dalam dan luar negeri. Buku-bukunya antara lain: "36 Kompasianer Merajut Indonesia" (ed. Thamrin Sonata & Much. Khoiri, Oktober 2013); "Pena Alumni: Membangun Unesa melalui Budaya Literasi" (2013); antologi "Boom Literasi: Menjawab Tragedi Nol Buku" (2014), buku mandiri "Jejak Budaya Meretas Peradaban" (2014) dan "Muchlas Samani: Aksi dan Inspirasi" (2014). Eseinya masuk ke antologi "Pancasila Rumah Kita Bersama" (ed. Thamrin Sonata, 2014) dan papernya masuk buku prosiding "Membangun Budaya Literasi" (2014). Menjadi penulis dan editor buku "Unesa Emas Bermartabat" (2014). Buku paling baru "Rahasia TOP Menulis" (Elex Media Komputindo, Des 2014).\r\n\r\nBlognya: http://mycreativeforum.blogspot.com\r\ndan www.kompasiana.com/much-khoiri.\r\n\r\nMelayani KONSULTASI dan PELATIHAN menulis karya ilmiah, karya kreatif, dan karya jurnalistik. \r\n\r\nAlamat: Jln. Granit Kumala 4.2 No. 39 Perumnas Kota Baru Driyorejo (KBD) Gresik 61177. \r\nEmail: much_choiri@yahoo.com. \r\nKontak: 081331450689\r\nTagline: "Meretas Literasi Lintas Generasi"

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Duren yang Menggoda

28 Januari 2014   06:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:24 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_292512" align="aligncenter" width="448" caption="Setumpukan duren yang menggoda itu. (Dok.Pribadi)"][/caption] Oleh MUCH. KHOIRI

Pagi ini gowes saya jeda dengan turun minum di kedai nasi Mba Is, perempuan baja dari Jombang. Segelas teh panas terasa melegakan. Seluruh badan sudah gobyos, bahkan dari lengan jaket parasut saya menetes keringat. Sambil berdiri menggerak-gerakkan kaki, saya seruput kembali teh tubruk yang mantap ini.

Mata saya langsung terpaku pada tumpukan duren di atas pikap. Maklum, penjual buah itu ada di samping kedai Mbak Is; dan saya juga pelanggan tetap penjual buah itu. “Rasakan satu aja, Bos,” ujarnya. “Masih gres. Yang besar ini seratus saja.”

“Sekarang ga boleh makan duren, Mas,” jawab saya.

“Lho, kenapa?”

“Asam aurat, eh, maksud saya, asam urat.”

Isok ae bos iki (bisa saja bos ini). Kalau makan, ga boleh. Kalau incip-incip, masak dilarang?” Dia tampak membersihkan duren-duren itu, menciumnya untuk mengenali kematangannya.

Saya mendekati duren yang ditata rapih itu. Saya pungut satu, saya cium pantatnya. “Ah, kini belum sepenuhnya matang. Baru matang besok.” (Si penjual pun mengangguk.) Lalu, saya memungut satu lagi, dan mencium pantatnya lagi. “Nah, ini dia. Mantaps.”

Beberapa tahun silam, saat tensi saya rendah, duren adalah camilan saya. Di mana pun ada duren, di situ saya beli dan memakannya. Saya tak peduli harga, saat itu. Sebab, dengan makan duren, tensi segera normal. Namun, sekarang, duren termasuk “benjoli”, akronim untuk makanan pantangan untuk penghayat asam urat seperti saya. (O ya, apakah saya masih menjalani sakit ini ya—nyatanya, selama ini sudah baik-baik saja.)

Masih gobyos kotos-kotos, saya telepon isteri. Jika mau makan duren, saya bawakan, begitu isi pesan saya. Katanya, dia hanya tertarik makan duren yang besar dan matang. Kalau hanya setengah matang, lebih baik tidak. Dengan gambaran yang saya sampaikan, dia pun berterima kasih. Rupanya sudah kangen juga makan duren.

“Mas, jadi berapa harganya?” Saya memegang duren asal Semarang sebesar kepala anak SMP ini.

“Pelaris, Bos. Jadi, seratus!”

“Sembilan puluh.”

“Ya sudah, masing-masing sembilan puluh.”

“Oke, bungkus!”

Begitulah, dalam hitungan detik, uang sudah berpindah tangan. Namun, karena saya tidak bisa membawa duren besar-besar dengan naik sepeda onthel, saya pun menitipkannya. “Nitip dulu ya. Abis ini saya akan ambil dengan sepeda motor.” Saya pun meneruskan gowes.

[caption id="attachment_292513" align="aligncenter" width="448" caption="Bagi pecinta duren, tumpukan ini sulit diabaikan. (Dok.Pribadi)"]

13908643911767623650
13908643911767623650
[/caption]

***

Menjelang tengah hari, isteri dan anak minta dibukakan duren, yang sengaja saya gantung di beranda. (Saya tak mau baunya memenuhi rumah. Duren sematang itu pastilah bisa menebarkan aroma yang ‘memusingkan’ seisi rumah.) Dan, dalam sekejap duren sudah saya buka, dan isinya sudah berpindah ke dalam tupperware.

Isteri dan anak menikmati duren itu di ruang keluarga. Kelihatan begitu menikmatinya. Sudah beberapa bulan ini mereka tidak pernah makan duren. Ibaratnya, mereka sudah kangen dengan salah satu buah kesayangan mereka. Mereka mengacungkan jempol. “Mantap tenan. Ini baru duren.”

“Coba dikit saja, ga apa-apa, Mas. Bismillah,” begitu ujar isteri saya. Dia selalu begitu. Andalannya adalah bacaan basmalah. Dengan basmalah, dia selalu merasa aman. Anak saya, demikian pula. “Bismillah saja, Yah. Kan sudah ada penawarnya. Abis makan dikit, nanti minum obatnya. Beres lah.”

Mungkin mereka juga kasihan pada saya. Membelikan kok tidak merasakan. Padahal, kondisi badan saya fit—dan tak pernah mengeluh terkait asam urat. Sementara itu, saya juga menghargai tawaran mereka. Saya pikir-pikir, ada benarnya pula untuk mengincip sedikit.

Benar, saya tergoda pula. Ini pertama kali dalam dua tahun ini saya mengincip duren—padahal dulu saya makan duren dua sekali seminggu. Maka, bismillah, saya incip dua biji (pongge), tidak lebih. Saya rasakan legitnya; saya nikmati sensasinya. Setelah itu, saya minum pollenergy dan propolis.

Alhamdulillah, semuanya baik-baik saja. Tampaknya penawar itu bekerja dengan baik. Ah bukan. Tepatnya, saya yakin, basmalah itu yang telah melenyapkan efek samping makan duren. Saya bersyukur bisa menyenangkan keluarga, dan kondisi fisik saya baik-baik saja.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun