Mohon tunggu...
Much. Khoiri
Much. Khoiri Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Penulis dan Dosen Sastra (Inggris), Creative Writing, Kajian Budaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Trainer dan Perintis 'Jaringan Literasi Indonesia' (Jalindo). Alumnus International Writing Program di University of Iowa (USA, 1993); dan Summer Institute in American Studies di Chinese University of Hong Kong (1996). Kini menjadi Kepala UPT Pusat Bahasa Unesa. Anggota redaksi jurnal sastra 'Kalimas'. Karya-karya fiksi dan nonfiksi pernah dimuat di aneka media cetak, jurnal, dan online—dalam dan luar negeri. Buku-bukunya antara lain: "36 Kompasianer Merajut Indonesia" (ed. Thamrin Sonata & Much. Khoiri, Oktober 2013); "Pena Alumni: Membangun Unesa melalui Budaya Literasi" (2013); antologi "Boom Literasi: Menjawab Tragedi Nol Buku" (2014), buku mandiri "Jejak Budaya Meretas Peradaban" (2014) dan "Muchlas Samani: Aksi dan Inspirasi" (2014). Eseinya masuk ke antologi "Pancasila Rumah Kita Bersama" (ed. Thamrin Sonata, 2014) dan papernya masuk buku prosiding "Membangun Budaya Literasi" (2014). Menjadi penulis dan editor buku "Unesa Emas Bermartabat" (2014). Buku paling baru "Rahasia TOP Menulis" (Elex Media Komputindo, Des 2014).\r\n\r\nBlognya: http://mycreativeforum.blogspot.com\r\ndan www.kompasiana.com/much-khoiri.\r\n\r\nMelayani KONSULTASI dan PELATIHAN menulis karya ilmiah, karya kreatif, dan karya jurnalistik. \r\n\r\nAlamat: Jln. Granit Kumala 4.2 No. 39 Perumnas Kota Baru Driyorejo (KBD) Gresik 61177. \r\nEmail: much_choiri@yahoo.com. \r\nKontak: 081331450689\r\nTagline: "Meretas Literasi Lintas Generasi"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Badut Suara

11 Maret 2012   10:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:13 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kehadiran Mas Rustam yang mendesakku agar menyelamatkannya dari jerat gugatan hukum dari wanita idaman lain (WIL)-nya membuat dadaku seakan sesak napas, dan terpaksa harus membongkar perjalanan profesiku: Seorang badut suara!

Sebutan ini---yang mestinya kubuang jauh andaikata aku berhak menolak takdir dan memprotes Tuhan---semula kuduga muncul dari teman sepermainanku semasa kecil. Kata mereka, perawakanku lucu. Tubuhku agak kurus, pinggul ramping, dadaku lapang dan tanganku panjang. Leherku besar, dengan jakun yang kelak menonjolnaik-turun saat berbicara. Wajahku sedikit unik, dengan dagu meruncing dan bibir tipis yang secara normal tampak tersenyum mirip garis lengkung ke atas. Hidungku mancung, ujungnya mirip paruh burung elang. Mataku besar tapi cekung ke dalam, dengan alis dan bulu mata yang hitam dan tebal, meski rambut kepalaku agak jarang akibat dilanda kerontokan. Dan tanpa kusadari,setiap kali berjalan, tubuhku agak bungkuku ke depan, dan langkahku panjang-panjang.

Ternyata tidak! Sebutan “badut suara” itu berkat bakatku menirukan suara. Tiap bermain bersama, aku selalu diminta untuk beraksi. Maka spontan aku mengaum, meraung, mengembik, menirukan tangis dan tawa bayi, termasuk suara tokek, kucing, katak, cicak. Mereka tertawa cekikikan, dan kemudian meminta lagi tiruan beragam suara lain. Tak mengapa, aku merasa puas, sebab niatku memang menghibur.

Usiaku tujuh tahun sewaktu Ndoro Baron, priyayi terkaya di kampungku, memintaku membantu mengurus peternakan ayam. Karena itulah aku disekolahkan hingga tamat SLTP, dan sealam itu bapakku sering dipinjami uang. Dan bersyukurlah aku bisa mengakrabi teman-teman berkat suaraku. Terutama Ndoro Baron yang membaca bakatku dan mengongkosi aku ikut sejumlah lomba tiru suara.

“Kamu harus rajin belajar, Ping,” petuah beliau sebelum wafat. “Dengarkan radio atau nonton tivi disini. Tak apa, biar kaya suaramu. Minumlah air garam, jangan ngopi atau merokok. Itu mengganggu napas. Dan ingat, suaramu itu modalmu untuk mandiri kelak.

Petuah itu selalu segar di benakku, dan jasa-jasanya adalah budi yang sangat sulit kubalas. Aku hanya tak betah ikut Jeng Dewi di rumah besar itu akibat kecerewetannya yang seperti burung beo. Maka aku kembali ke orang tuaku, sebulan setelah Mas Didik berangkat ke bandung dan Mas Rustam ke Jakarta.

Mas Rustam, ya Mas Rustam, kembali berkelebat. Lelaki yang dulu cukup lugu itu sekarang telah terjerat dalan lingkaran jabatan, harta dan wanita. Dan wanita itu adalah wanita simpanannya, yang menuntut dinikahi dan terhormat. Sebab itulah Mas Rustam mendesakku membuat rekaman suara berupa dialog telepon antara dia dan wanita itu, yang scenario, berkas-berkas, dan model suaranya sudah Mas Rustam persiapkan. “Inilah saat yang kamu janjikan itu, Ping. Kamu harus bisa selamatkan aku,” katanya seminggu lalu sambil menepuk bahuku.

Desakan Mas Rustam sungguh di luar dugaan. Pilihan profesi tiru suara semula kupahat di hati memang karena petuah Ndoro Baron, namun kasus Mas Rustam lepas dari bayangan dan praduga. Lagi, tagihan janji balas budi membuatku asyik merenung.

Ah, badut suara! Betapa repotnya aku menjawab pertanyaan orang, “Apa pekerjaanmu?” Mas Rustam bisa mudah menjawab “Pajak dan Bea Cukai”, Mas Didik “Dokter”, dan Jeng Dewi “Wiraswatsa”. Adapun profesiku ini sulit diucapkan, membutuhkan penjelasan bertele-tele dan menggelikan---bukan pula seperti wartawan, guru, camat, sopir, nelayan. Maka saat aku menikahi Tumini, agar praktis biarpun salah kupinta pak penghulu mencatat pekerjaanku sebagai buruh tani.

Aku semakin repot bila pertanyaan itu dismbung lagi dengan “Jadi penghasilanmu dari tiru suara itu?”Ketiga putra-putri ndoro Baron bekerja dengan menjual suara,entah berupa perintah, petunjuk, nasihat, atau tawar menawar yang hasinya mudah dihitung. Banyak profesi lain yang juga begitu; dan itu semua hanya sekedar pendukung. Tapi aku, ah, suaraku adalah segala modalku. Akupun harus menjualnya untuk penghidupan. Dan bila orang mendengar pengakuanku, mereka umumnya memustahilkannya.

Namun aku telah nertekad bertebal muka dan telinga, serta menguatkan hati. Lambat laun kubuang rasa risihku dan kutekuni bidang ini. Menirukan suara kuanggap sebagai seni unik dan langka. Terlebih, kusadari bahwa sekali kudengar suara baru, saat itu pula aku bisa menghapalnya. Suara yiruanku, kata orang, persis alsinya. Aku hanya perlu terus berlatih dan menambah pengalaman. Kukira ini mirip bagaimana orang belajarrenang atau korupsi. Perlu cerdik dan uletmembaca potensi diri dan situasi.

Telepon berdering. Isteriku tergopoh-gopoh menghampiriku “Dari Koran kota, Pak.”

“Katakan saja aku lagi tidur.” Sahutku sekenanya.

“Nanti kalau Radio swasta telepon?”

“Katakan besok sore baru pulang dari Yogya.”

Memang, tawaran tampil di panggung dating silih berganti setelah aku menjuarai sejumlah lomba di radio swasta. Aku bukan aktor atau pelawak, tapi bagaimana tampil di panggung aku banyak belajar dari Cak Markeso dan Kangnas Basiyo. Meski suguhanku mirip pantomim, aku selalu berusaha empan mawa papan, menguasai kondisi, situasi dan minat penonton. Termasuk kelas sosial dan usia mereka. Tak lupa kuajak teman untuk mengiringi suaraku dengan biola, seruling, harmonica. Dan sekali tempo aku menyuguhkan banyolan atau plesetan suara yang pantas disimak oleh semua orang….

Suara bejabat tinggi, misalnya, harus abstrak dan umum, berbau perintah, bercabang makna, bermoto” demi persatuan dan kesatua”, agak menekan tetapi tetap berwibawa. Suara Boss mirip-mirip dengan suar pejabat, tapi bermotto “demi produktivitas dan effisiensi kerja.” Aku hapal benar suara mereka. Adapun suara tentara harus singkat, padat, tegas, bernada tinggi, dan penuh disiplin, yang menuntut jawaban, “Siap, Pak.” Suara itupun tak sulit aku tirukan. Itu semudah menirukan suara hewan dan alam yang memang sudah menjadi bagian napasku. Jadi soal tiru suara, aku mengkin sama denagn Ki Narto Sabda, Ki Anuo suroto, atau Ki Manteb Sudharsono.

Memang, sebagai seniman, mirip pedagang, aku perlu komersilisasi. Sebab, denagn itulah aku hidup. Nasibku kutaruh setelah sekian ikhtiar dan usaha.Dan ladangku tidak sebatas panggung, namun harus lebih! Maka kuterima juga tawaran rekaman di Studio Radio dan Studio Tivi, dengan irinan piano. Ternyata radio itu menyiarkan hasil rekaman suaraku untuk sajian acara sebelum tidur. Tivi itu menayangkannya untuk setiap bulan sekali. Lalu suara tiruanku juga ngendon di pita-pita kaset, tak ubahnya lagu-lagu Barat atau ceramah agama. Dan di luar dugaan aku disebut secara berlebihan oleh kalangan pers sebagai Badut Suara Sejuta Audiens.

Singkatnya, di mana pun dan kapan pun suara tiruanku dibutuhkan orang, aku telah siap melakukannya. Aku harus membagikan rahmat Tuhan ini kepada siapapun, tanpa pandang bulu. Aku hanya perlu siasat khusus agar tidak terkena cekal, termasuk harus mempunyai beking yang cukup disegani.

Hidupku semakin mapan, tinggal di tepi Kota. Kesibukanku makin padat, tak ubahnya seorang pendeta, pakar politik atau budayawan. Banyak orang bertamu ke rumah, baik untukwawancara atau memberi tawaran. Maka saat itu aku berpikir untuk segera merawat pesawat telepon dan facsimile, agar segala urusan menyangkut profesiku bisa kutangani sambil santai.kriiiiing…..! hatiku terkesiap, darahku menggeriap. Jangan-janagn Mas Rustam yang menelepon. Kulihat isteriku manggut-manggut pasti, lalu meletakkan gagang telepon.

“Dari Mas Rustam to, Bu?”

“Bukan Pak RW. Pertemuan kampung, besok.”

“Ee, saya kira Mas Rustam. Aduh, aku deg-degan.”

Isteriku tampak mengernyitkan keningnya. “Mbok ya suaranya yang normal saja. Yang asli, jangan dibuat-buat. Sama istri kok begitu?”

“O, biasa, tegang mental. Kalau tegang, ya, begini ini.”

“Ya, sudah, tapi ingat, besok rapat kampung.”

Untuk sementara aku lega sekarang. Namun sola telepon, dugaanku agaknya meleset. Benar, telepon itu berdering hampir tiap waktu, dan itu sangat merepotkan keluargaku juga. Akhir-akhir ini istriku dan anak-anakku tidak banyak bicara karenanya.

Dan karena seringnya aku tampil di panggung atau rekaman, isteriku pun suka mendiamkan aku---mungkin mirip iatri Mas Rustam bila ditinggal pergi”dinas luar kota.” Dan suatu sore, saat minum the sekeluarga, uneg-uneg itu pun muncul:

“Kamu berhenti membadut saja, Pak.” Kta isteriku. “Aku puyeng terima telepon. Masa hampir ndaksempat leyehan?”

“Lali kita berhenti makan, begitu?” timpalku.

“Ya cari kerja lain lah, yang ndak menambah dosa.”

“Lho, menghibur itu dosa, toh?”

“Begini, Pak. Rekaman suaramu kan ada di kaset, radio, tivi? Orang terlanjur kesengsem suaramu yang aneh itu. Persis orang kecanduan telenovela atau sinetron. Nah, saking asiknya menikmati suaramu, banyak orang lupa ibadah. Mereka lebih suka mendengar suaramu ketimbang sembahyang atau pergi ke masjid, gereja atau pura. Banyak juga pelajar lupa belajar. Ini salah besar, Pak. Kamu harus menyudahinya.”

Akumenghirup the, sambil melirik anak-anakku yang sedang menikmati makanan kecil. “Ah, itu bergantung bisa atur waktu atau tidak,” tangkisku. “Ini kan mirip sepakbola. Bila penonton sepakbola beriman baik, tentu ibadah shalat nomor satu. Bagi anak sekolah, belajar kan juga harus nomor satu, ya ndak? Lha wong suaraku Cuma hiburan kok?”

“Tapi aku malu, Pak. Diejek-ejek terus….” Urun anakku.

“Aku juga ,” sahut adiknya. “Kata mereka, aku anak badut. Anak badut pasti calon badut. Lalu aku disindir-sindir kenapa sekolah segala, kok tidak membadut saja seperti Bapak? Aku sangat malu, Pak.”

“Tenang, tenang, mereka cuma belum paham saja. Kalau paham pasti tidak ndak berani mencibir. Lagi pula, kalian kan anak baru? Mereka itu sedang menguji kalian.”

“Kita dikucilkan orang begini juga ujian, Pak?” sergah anak sulungku. Mimiknya begitu serius, tulus, dan meyakinkan. “Bukan, bukan ujian, tapi siksaan, neraka!”

Sorot mata isteriku dan anak bungsuku membenarkan. Aku menjadi tercenung karenanya.

Belakangan memang banya kejanggalan. Aku kadang rikuh selagi berpapasan dengan tetangga, termasuk orng-orang di jalan. Tegur sapa seakan hanya basa-basi, selebihnya sorot mata curiga! Mungkinkah mereka kecewa akan suara tiruankuayang kurang akrab alam sejak kepindahan kami ke Tepi Kota ini? Atau mungkin kata-kata Tumini benar? Ini sebenarnya sudah kurasakan untuk beberapa waktu lamanya.

Telepon kembali berdering. Berdebar, aku perlahn mengangkatnya. Seluruh mata tertuju padaku. Aku lega itu ternyata bukan interlokal Mas Rustam---hanya dari teman yang bertanya apakah air-PDAM-ku juga berbau amis dan kotor? Sedangkan Mas Rustam, ah, siapa tahu dia tengah mengontak atau mengancam WIL-nya agar nanti bungkam di pengadilan.

***

Besuk lusa Mas Rustam akan menjemput keputusanku, juga hasil rekaman suaraku. Senyum penuh harapan yang dia tunjukkan saat itu, masih membayang. Gemetaran, aku membolak-balik berkas dan scenario beriannya. Dua pilihan yang sama sulit mesti segera kuambil: janji balas budi dan reputasi Mas Rustam di satu sisi, pembalikan kebenaran dan nasib WIL Mas Rustan di sat sisi. Ini sungguh bagai makan buah simalakama.

Malam ini tape recorder, kaset, dan alat rekam lain telah tersedia lengkap di studioku. Dadaku masih terasa sesak, kepalaku amat berat. Pandanganku tampak berkunang-kunang. Keringat pun meleleh di sana-sini. Tapi tiba-tiba anasir-anasir aneh memenuhi kamarku, menghadangku kemanapun aku berpaling. Mereka menuduhku sebagai penggadai suara dan….

“Olah, Iping,Iping…. Coba mana suaramu?” sergah anasir pertama.

Aku tersentak. Kucoba membuka mulut dan mengeluarkan suara asliku. Tapi terasa sulit bagikumenentukan yang mana. Maak kupijit-pijit leherku dan kuurut-urut tengkukku. Lidahku malah makin kelu.

“Ayo, tunjukkan bagaimana suaramu?” sambung lainnya.

Dalam kebingungan itu kugebuk-gebuk dadaku dengan tapak tanganku. Tapi dadaku terasa berongga, kosong. Gebukan itu justru menimbulkan suara tong terpukul keras.

“Lupa suara aslimu ya?” desak mereka.

“Dasar penggadai sara!” sahut yang lainnya.

“Dasar badut….. badut….badut!”

Peluh dingin mengguyur sekujur tubuhku, dan seisi kamar studio terasa berguncang hebat. Kubanting tubuhku ke meja, agar lebih keras, guna merangsang suara asliku yang lama tersimpan. Getaran hebat malah membuat tape recorder itu spontan berbunyi: melantunkan sekian suara alam kota, manusia kota, kesibukan kota, dan sedikit suara hewan, diiringi oleh suara biola dan piano sayup-sayup.***

Surabaya, Februari 1997

Suara Merdeka, 6 April 1997

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun