Mohon tunggu...
Mubdi Darsi
Mubdi Darsi Mohon Tunggu... A Father of Three Boys and A Philanthropist

Pembelajar abadi. Mendaki gunung, melihat dari puncak kehidupan. Membaca, melihat dunia dari sisi lain.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Elegi Abu Ubaidah: Hidup, Syahid, dan Diam Kita

2 September 2025   07:54 Diperbarui: 2 September 2025   07:54 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejarah selalu menyimpan nama-nama yang lahir bukan dari ruang nyaman, melainkan dari reruntuhan dan bara api. Abu Ubaidah adalah salah satunya. Dua tahun terakhir ini, suaranya senantiasa melintasi langit yang penuh dengan pesawat tanpa awak, menyapa kita yang jauh di luar Gaza, menyebut kita dengan panggilan yang teramat agung: orang-orang merdeka.


Ia tidak pernah menyapa kita sebagai penonton, tidak pula sebagai orang-orang lemah. Ia menempatkan kita sejajar dengan para pejuang, dengan panggilan yang seharusnya mengguncang kita dari kelalaian. Tetapi, apakah kita sungguh menanggapi panggilan itu? Ataukah kita justru membiarkannya menjadi gema kosong yang hilang ditelan kesibukan dunia?


Jika Abu Ubaidah syahid, maka ia telah melunasi janjinya kepada Allah dan kepada bangsanya. Ia akan menutup hidupnya dengan kehormatan yang tidak bisa diraih oleh para penguasa yang bersembunyi di balik meja diplomasi. Ia akan berdiri dalam sejarah bersama Hamzah, Khalid, Izzuddin al-Qassam, Ahmad Yassin, dan seluruh nama yang darahnya menjadi tinta bagi babak baru perlawanan.


Dan jika Abu Ubaidah masih hidup, maka ia tetap menjadi saksi keras bahwa dunia ini penuh ketidakadilan. Ia akan tetap menyapa, tetap menyeru, tetap menyingkap wajah-wajah para tiran, baik yang mengangkat senjata maupun yang bersembunyi di balik dasi dan jas mahal.


Tetapi persoalan terbesar bukanlah pada Abu Ubaidah---hidup atau syahidnya ia hanyalah bagian dari takdir yang mulia. Persoalan terbesar justru ada pada kita. Apa yang berubah dari kita?


Dua tahun suaranya memanggil kita orang-orang merdeka, tetapi kenyataannya kita masih lebih sering menjadi penonton yang pasif. Kita bangga dengan identitas Islam, tetapi kehilangan keberanian untuk menanggung resikonya. Kita mengangkat bendera Palestina dalam pawai, tetapi setelah itu kita kembali ke rutinitas yang sama, seolah-olah Gaza hanyalah tontonan di layar televisi, bukan luka di tubuh kita sendiri.


Lebih memilukan lagi adalah para pemimpin dunia Islam. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan, yang memiliki pasukan, yang memiliki sumber daya, yang bisa mengubah arah sejarah jika mereka mau. Tetapi apa yang mereka lakukan ketika Abu Ubaidah berseru? Mereka memilih diam. Mereka menunduk pada kepentingan ekonomi, mereka menukar darah anak-anak Gaza dengan stabilitas politik dalam negeri, mereka menutup mulut dengan alasan diplomasi. Sejarah akan mencatat nama mereka bukan sebagai pemimpin, tetapi sebagai saksi bisu dari genosida---dan saksi bisu adalah bagian dari kejahatan itu sendiri.


Kemana kita selama ini?
Pertanyaan itu terus menghantui, karena kita tahu jawabannya. Kita lebih takut kehilangan kenyamanan daripada kehilangan kehormatan. Kita lebih takut pada embargo ekonomi daripada pada murka sejarah. Kita lebih sibuk menjaga perbatasan negara daripada menjaga batas kemanusiaan.


Gaza berdiri sendiri, dan kita, miliaran umat, sibuk berdebat siapa yang paling benar, siapa yang paling murni, siapa yang paling berhak bicara. Kita lupa bahwa sejarah tidak menunggu. Setiap hari yang kita habiskan dalam diam adalah hari yang dicatat oleh Allah sebagai pengkhianatan terhadap saudara kita.


Jika Abu Ubaidah syahid, maka ia telah bebas dari beban zaman. Ia akan tersenyum dalam keabadian, bersama para syuhada yang mendahuluinya. Jika ia masih hidup, maka ia akan tetap menyeru, meski seruannya semakin keras membentur tembok ketidakpedulian kita.


Tetapi kita? Kita tidak bisa terus bersembunyi di balik doa tanpa aksi, di balik kata-kata tanpa keberanian. Karena doa tanpa sikap adalah bentuk paling halus dari kemunafikan. Karena kata-kata tanpa pengorbanan hanyalah kepengecutan yang dipoles.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun