Mohon tunggu...
Muhammad Bahruddin
Muhammad Bahruddin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Dosen Media dan Komunikasi Institut Bisnis dan Informatika Stikom Surabaya. Berminat pada penelitian media, politik, iklan, dan film. Saat ini sedang menyelesaikan program Doktoral Komunikasi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Dua Garis Biru" Keluar dari Kelaziman Film Remaja

5 Agustus 2019   11:15 Diperbarui: 7 Agustus 2019   10:14 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tampaknya pengalaman menjadi seorang penulis skenario di banyak film box office Indonesia mengajarkan Gina S. Noer jeli dalam menangkap realitas untuk dikonstruksi menjadi sebuah film. Pengalaman itu pula yang mengajarkan dia lebih detail dalam urusan teknis film sehingga antara cerita dan sinematografi benar-benar menyatu. Tak ada adegan yang sia-sia sepanjang cerita. Inilah yang tergambar dalam film Dua Garis Biru, karya pertama Gina S. Noer sebagai seorang sutradara film.

Sekilas melihat judul dan poster film ini serupa dengan film-film remaja lainnya yang jamak menganggap bahwa pacaran bebas saat SMA adalah lumrah sehingga mengabaikan bahaya yang mengancam masa depan mereka, fisik maupun mental. 

Sentuhan film Dua Garis Biru berbeda dari sebagian besar film remaja. Film ini secara gamblang memperlihatkan bagaimana seorang remaja harus menanggung beban yang sangat berat akibat  minimnya pendidikan tentang seks, reproduksi, komunikasi dengan keluarga, dan pergaulan remaja.

Kendati sarat dengan pesan edukasi, film Dua Garis Biru sama sekali  tak ada kesan menggurui. Ceritanya mengalir sebagaimana tampak pada realitas remaja SMA saat ini. Tak ada cerita atau adegan hiperealitas seperti jamak dilihat dalam sinetron dan film remaja. Misalnya, berebut pacar, aksi bullying kepada seorang siswa yang dianggap bermasalah, atau sebaliknya mengagumi  kesempurnaan dan ketampanan siswa atau guru di sekolah. 

Gina seolah sadar bahwa dia harus keluar dari kerumunan cerita-cerita basi seperti itu. Inilah tantangan Gina bahwa sebuah film remaja yang menarik tidak selalu mengusung cerita yang banyak dikonsumsi pasar.

Di sisi lain, penulis naskah film Habibie dan Ainun itu juga ingin menegaskan bahwa tak semua remaja bermasalah, berasal dari orang tua yang bermasalah pula (broken home) seperti perceraian, ditinggal mati salah satu atau kedua orang tua, serta kesibukan kerja bapak dan ibunya di luar rumah.  

Di film Dua Garis Biru, Gina menggambarkan bahwa remaja bermasalah justru berasal dari keluarga yang tampaknya baik-baik saja. Tapi karena kurangnya pendidikan sejak dini, terutama tentang seks dan reproduksi yang selama ini dianggap tabu untuk dibicarakan, membuat sejumlah remaja terlena dengan pergaulan bebas dan mengakibatkan penderitaan yang tak berkesudahan. 

Tokoh Bima (Angga Yunanda) dan Dara (Adhisty Zara) adalah representasi remaja yang digambarkan Gina dalam persoalan tersebut. Bima adalah remaja miskin dengan kedua orang tua yang tampak harmonis. Hal ini bisa dilihat dari keseharian kedua orang tua Bima yang tampak rukun dan damai meskipun harus tinggal di rumah sempit di perkampungan kumuh, Jakarta. 

Kesungguhan Orang tua Bima dalam mendidik keluarga juga tampak dalam menyekolahkan anak pertamanya, Dewi (Rachel Amanda) di perguruan tinggi terkemuka di Bandung, meskipun itu dilakukan sebelum sang Ayah (Arswendy Bening Swara) pensiun.

Ibu Bima, Cut Mini (Cut Mini Theo) digambarkan sebagai sosok perempuan tangguh yang taat beragama. Dia jualan jajanan 'gorengan' di kampungnya sejak suaminya pensiun dari tempat kerjanya. Kendati demikian, dalam hal komunikasi dan pergaulan, dia merasa gagal mendidik anaknya. Bima telah melanggar batas pacaran yang menyebabkan Dara hamil di luar nikah. 

Dara adalah seorang gadis remaja dari keluarga kelas menengah atas. Ayah Dara, David (Dwi Sasono) adalah pengusaha restoran. Ibu Dara, Rika (Lulu Tobing) adalah wanita karier. Kendati demikian, keluarga ini tampak  harmonis. Tak jarang mereka berkumpul sekalipun tak seintens keluarga Bima.

Rika digambarkan sebagai sosok perempuan yang sukses karier dan pendidikan. Dia memandang bahwa kuliah di perguruan tinggi sebagai langkah sukses untuk masa depan anaknya. Karena itu keinginan Dara untuk kuliah di Korea disambut baik dan didukung penuh. Rika melakukan apapun demi mimpi anaknya terwujud. Tak ada yang bisa menghalangi keinginan putri sulungnya itu, termasuk masalah pernikahan, apalagi harus merawat bayinya kelak . Di sinilah konflik antar-keluarga berlangsung sangat rumit.

 

Puncak Konflik

Kedua orang tua Bima dan Dara berbeda sudut pandang, terutama Ibu mereka. Cut Mini menginginkankan anaknya segera menikah. Sedangkan Rika bersikukuh agar putrinya melanjutkan mimpinya ke Korea setelah lulus sekolah paket C akibat dikeluarkan dari sekolah.

Sekalipun kedua remaja tanggung ini akhirnya menikah, persoalan tidak berakhir sampai di sini. Konflik justru semakin meruncing, baik dari masing-masing keluarga maupun dari Bima dan Dara. Kedua orang tua Dara sepakat bahwa anak Dara kelak akan diadopsi orang lain setelah dilahirkan. Sementara Dara harus melanjutkan kuliahnya ke Korea seperti yang ia impikan sejak lama. 

Permasalahannya, Cut Mini tidak terima dengan keputusan sepihak tersebut. Dia tak ingin cucu pertamanya itu dirawat oleh orang yang bukan orang tuanya sendiri. Cut Mini tak ingin gagal untuk yang kedua kali, terutama dalam komunikasi antara anak dan orang tua. Dia ingin mengajarkan kepada Bima bahwa untuk menjadi orang tua seharusnya sering berkomunikasi dari hati ke hati agar tidak seperti dirinya dan Bima.

Di sisi lain, Bima yang masih berusia 17 tahun itu kerap tidak stabil emosinya. Setelah resmi menjadi seroang suami, dia sulit mengatur waktu antara sekolah dan kerja. Tak jarang dia harus bolos sekolah. Inilah yang membuat Dara marah. Pertengkaran pasangan muda ini pun tak bisa terelakkan.

Konflik batin mencapai klimaksnya saat Dara hendak melahirkan. Dokter memberikan pilihan dilematis. Paling buruk, Dara akan meninggal. Paling mujur, rahimnya akan diangkat. Menurut dokter, seorang ibu seusia Dara, rahimnya belum siap untuk mengandung seorang bayi. Bebannya dua kali lipat dari seorang ibu yang sudah siap menikah dari sisi usia dan mental.


Berat tapi Tak Kehilangan Selera Remaja

Sekalipun pesan film ini cukup berat, Dua Garis Biru tetap tak kehilangan selera humor dan gaya bahasa yang sedang tren di kalangan remaja, khususnya di lingkungan sekolah. Sutradara yang merangkap penulis naskah ini cukup cerdik dalam meramu adegan-adegan sehingga tetap ringan sekaligus sarat pesan dan kritikan.

Misalnya, adengan ketika seorang guru mengumumkan nilai ulangan harian para siswa. Sang guru meminta para siswa untuk berdiri ketika dia menyebut nilai ujian mereka. Saat menyebut angka 100, Dara berdiri. Sang guru menyebut bahwa Dara adalah gambaran siswa yang memiliki masa depan cerah. Demikian seterusnya, hingga sang guru menyebut angka 40. Giliran Bima berdiri. Sang guru kemudian menggambarkan sosok Bima yang terancam masa depannya suram. Karena itu Bima harus banyak belajar. Penjelasan sang guru disambut celotehan dan gurauan para siswa di kelas.

Gurauan yang lazim terjadi di banyak sekolah ini sekaligus menyimpan pesan dan kritikan bahwa nilai ujian di sekolah tak selamanya menjadi paramater untuk mengukur masa depan seseorang. Tapi perilaku seseorang menjadi salah satu faktor penting untuk menentukan nasibnya kelak.

Kebiasaan dan gaya bicara remaja yang sedang tren saat ini banyak ditemukan di film ini. Hal ini tampak dalam adegan ledekan atau guruan teman-teman Bima dan Dara. Mereka melabeli Bima dan Dara sebagai suami istri. Pelabelan ini biasa dilakukan para remaja terhadap mereka yang sedang berpacaran. Demikian juga sebutan suami untuk para artis K-Pop kegemaran mereka, sebagaimana Dara yang menjadi satu dari remaja yang menjadi fans beratnya K-Pop.

Kehadiran K-Pop di Indonesia, sulit dilepaskan dari kehidupan para remaja kelas menengah perkotaan, termasuk Dara. Kamarnya penuh dengan poster grup-grup boyband asal negeri gingseng itu. Bahkan dia berusaha keras untuk bisa kuliah di negeri boyband itu dengan latihan bahasa Korea setiap hari secara autodidak.


'Balas Dendam' Gina

Film Dua Garis Biru ini tampaknya menjadi ajang "balas dendam" bagi Gina setelah lebih dari sepuluh tahun hanya bisa menulis skenario saja tanpa mamiliki kewenangan untuk mengatur detail sekaligus memutuskan adegan, sebagaimana tugas seorang sutradara. 

Karena itu, di film ini dia mampu menutupi kelemahan-kelemahan yang selama ini kerap dilakukan oleh banyak sutradara di film yang ia tulis, terutama dalam pengambilan dan pemotongan gambar (shot) yang kurang pas. Bagi dia, pengambilan gambar dalam film tidak sekedar menunjukkan objek tertentu tapi juga bisa "berbicara" tanpa harus disampaikan secara verbal. 

Misalnya, saat mengambil gambar wajah Bima secara close up. Guratan dan tekstur yang tergambar dalam wajahnya sangat detail. Warna kulitnya tampak coklat, mengkilap, serta natural tanpa make up, seolah gambar tersebut sedang berbicara bahwa Bima adalah laki-laki, perkampungan, dan anak orang susah.

Demikian juga objek-objek long shot yang kerap dieksplorasi Gina. Misalnya, kondisi kumuh perkampungan di Jakarta, gang-gang sempit, sungai yang berair keruh, dan lalu lalang masyarakat perkampungan dalam kota, sudah bisa menjawab bahwa seperti apa kondisi ekonomi keluarga Bima. Pengambilan gambar secara long shot ini sekaligus sebagai kritik terhadap pemerintah tentang kehidupan kaum miskin kota.

Gina juga tidak lupa memperhatikan nasib ondel-ondel sebagai produk budaya Betawi. Hingga saat ini belum banyak yang peduli dengan para pegiat budaya tersebut. Meskipun mereka tetap eksis namun nasibnya semakin kembang kempis. Inilah salah satu kelebihan Gina yang selalu jeli menyisipkan pesan dan kritik namun dikemas dengan manis.

Penulis naskah film Ayat-Ayat Cinta dan Perempuan Berkalung Surban ini juga sadar bahwa cerita film tak boleh sepenuhnya serius dan tegang. Di tengah cerita harus disisipi adegan-adegan humor, romantis, haru biru, atau pemandangan yang bisa membuat mata rileks. Karena itu sepanjang 113 menit, film Dua Garis Biru jauh dari kesan membosankan. Selama film berlangsung, Gina berhasil mengaduk emosi penonton. 

Meski begitu, bukan berarti film ini tanpa kelemahan. Ada beberapa cerita menggantung (atau sengaja dibiarkan menggantung) sehingga terkesan tak selesai dan memberikan peluang cerita berikutnya. Contohnya, Dara menginginkan perceraian saat kuliah di Korea kelak. Keputusan ini diambil karena dia harus fokus pada masa depannya, selain karena dorongan  kuat dari orang tuanya. Tapi keinginan ini tetap mengambang hingga akhir cerita.

Selain itu, ketika Dara harus berpisah dengan bayinya karena berangkat ke Korea, menimbulkan tanda tanya tentang status pernikahannya dengan Bima. Tak ada statement yang muncul dari mulut mereka. 

Entah cerita ini sengaja dimunculkan agar penonton lebih cerdas dalam membuat pilihan-pilihan sendiri atau untuk kepentingan komersial guna mempersiapkan sekuelnya.

Terlepas dari itu, film Dua Garis Biru memperlihatkan bahwa Gina sangat serius menggarap film ini. Meskipun ini adalah pengalaman pertamanya sebagai seorang sutradara, Gina berhasil keluar dari kelaziman sebuah film remaja. Dia tak hanya menyampaikan kegalauannya terhadap pergaulan bebas para remaja yang dianggap biasa oleh masyarakat tapi juga menggambarkan dampaknya seperti apa masa depan mereka.

Pesan tentang pengetahuan seks dan reproduksi sejak dini memang terdengar klise dan banyak dijumpai di brosur-brosur serta poster-poster yang menempel di dinding puskesmas atau rumah sakit. Akan tetapi terlihat berbeda, menarik, dan tidak lagi tabu ketika dibicarakan dalam film Dua Garis Biru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun