Mohon tunggu...
Muarif Essage
Muarif Essage Mohon Tunggu... Guru - pembaca sastra

lahir di Tegal, 25 Mei 1969. Seorang guru, ia lebih sering membaca karya sastra dan membicarakannya dalam bentuk ulasan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kalam Penyair Kepada Umat Pembacanya

26 Januari 2022   10:14 Diperbarui: 26 Januari 2022   10:31 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya terus saja menimbang-nimbang buku puisi karya Triyanto Triwikromo dengan rasa tertarikan yang amat mendalam atas pilihan judul yang digunakannya, Kitab Para Pencibir (penerbit Gramedia, 2017). Ilustrasi pada sampul buku seperti memaksa saya bermain-main dengan beragam tafsir: sepasang malaikat di bawah terik matahari yang berjongkok saling membelakangi. Kedua malaikat itu seperti sedang berpikr atau memang seperti sedang mengalami hilang pikir. Sebuah ilustrasi yang bisa saja mewakili keseluruhan isi buku puisi itu. Memperhatikan daftar isinya, saya dibuat yakin bahwa buku puisi Kitab Para Pencibir memang sebuah "kitab suci" yang disusun atas lima kalam, yakni Kalam Awal, Kalam Rahasia, Kalam Pengasingan, Kalam Waktu, dan Kalam Akhir. Triyanto telah menurunkan kalam kepada umat-pembacanya. Lantas bagaimana umat-pembaca mampu menerjemahkannya?

Sebagai umat-pembaca, saya sesungguhnya belum secara keseluruhan "mudeng", apalagi mampu menerjemahkan kalam penyair ke dalam bahasa umat-pembaca awam seperti saya. Hanya satu-dua puisi saja, itu pun masih meraba-raba arah kalam yang disampaikan penyair. Membuka "Kalam Awal", saya menemukan satu puisi berjudul "Ziarah" (hal. 2) yang berisi dialog antara "Aku-manusia" dengan "Aku-Tuhan". Di sini, Tuhan yang menolak bertemu manusia:

"Aku mencari-Mu."

"Aku tak ada."

"Bukalah pintu-Mu."

"Tak ada pintu untukmu."


"Aku hendak menziarahi-Mu."

"Aku bukan makam."

Bila saya membaca "Kalam Akhir" dalam Kitab Para Pencibir, saya seperti ditunjukan oleh penyair sebagai sang pembuat kalam, bahwa Tuhan menolak bertemu dengan manusia karena , sebagai makhluk-Nya, manusia telah menjadi monster yang menggunakan agama sebagai alat untuk membunuh setiap manusia yang dianggap sebagai Dajal. Dalam "Kalam terakhir" ini, penyair hendak memberikan kesimpulan atas situasi yang pernah terjadi di negeri ini: agama menjadi justifikasi untuk menumbangkan orang lain (sebagai Dajal, dalam bahasa lain menggunakan istilah Toghut) atas dasar kepentingan kelompok yang menganggap dirinya paling benar. Dalam puisi berjudul "Monster" (hal. 167), "Aku-Tuhan" mengucap kalam:

        Setelah segalanya berlalu, kini kau sekadar

menjadi monster pembunuh bagi siapa pun yang

kau anggap sebagai dajal.

        Apakah agama telah merusakmu?

Apakah hanya dengan membaca puisi awal dan puisi akhir dari buku Kitab Para Pencibir lantas saya menyimpulkan bahwa buku puisi ini memberikan kritik atas perilaku manusia di Indonesia yang menggunakan jargon-jargon agama untuk menyerang dan menjatuhkan kelompok manusia lainnya? Tentu saja terlalu dini bila dibuat kesimpulan semacam itu, mengingat -seperti yang saya katakan di awal catatan ini- saya belum sepenuhnya "mudeng". Puisi-puisi lain karya Triyanto Triwikromo yang dimuat dalam buku ini belum sepenuhnya saya pahami dengan baik. Meski demikian, bila melihat konteks atas situasi sosial-poltik di Indonesia, tampaknya buku puisi ini dihadirkan untuk merespon situasi paling krusial saat agama menjadi "senjata pembunuh" atas kelompok lain yang tidak disukainya. Dua puisi Triyanto Triwikromo seperti mengarahkan saya untuk sampai pada kesimpulan seperti itu:

BENTENG

       Kau tidak boleh masuk ke kerajaan-Ku. Aku punya

serdadu kuat.  Kau hanya bandit.  Kau   hanya    orang

kampung tak paham kalam.

        "Aku lapar!" teriakmu.

        Aku tak peduli. Kau tak boleh menembus batas.

PERAYAAN KEMATIAN

        Setiap  mereka   merayakan    kelahiran-Ku,

pada saat sama mereka telah membunuh-Ku.

Ah, tidak kah saya berlebihan meletakan tafsir seperti itu? Jangan-jangan hanya karena dalam benak kepala saya sedang berpikir tentang "sekelompok orang yang sedang menggunakan jargon-jargon agama untuk menyerang kelompok lain", saya lantas memahami dua puisi itu sebagai representasi atas konteks sosial-politik yang pernah terjadi di Indonesia. Bisa saja pemahaman saya amat jauh dari maksud puisi-puisi Triyanto. Namun, umat-pembaca manakah yang dapat menjamin sebuah penafsiran sebagi satu-satunya kebenaran?

Sekali lagi, ah. Saya sedang berproses dalam dunia tafsir dan pemahaman sederhana saya atas Kitab Para Pencibir, barangkali juga amat sederhana: buku puisi ini hendak memperlihatkan betapa Tuhan sedang amat tidak suka dengan perilaku manusia, yang atas nama cinta kepada Tuhannya, justru secara bersamaan pula telah "membunuh" benih ajaran-Nya. Padahal Tuhan telah memberi kalam, "Dan tidaklah kami (Allah) mengutus kamu (Wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk semesta alam." (QS. Al-Anbiya: 107). Triyanto Triwikromo pun mengutipnya dengan bahasa seorang penyair: "Tidak Kuutus nabi untuk menebarkan benih cinta/Aku hanya bilang padamu bercerminlah sepanjang/waktu di telaga dan temukanlah wajah-Ku." (puisi "Benih", hal. 4).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun