Mohon tunggu...
Muarif Essage
Muarif Essage Mohon Tunggu... Guru - pembaca sastra

lahir di Tegal, 25 Mei 1969. Seorang guru, ia lebih sering membaca karya sastra dan membicarakannya dalam bentuk ulasan.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Cara Penyair Menyampaikan Amanat

31 Desember 2021   09:00 Diperbarui: 31 Desember 2021   09:26 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Amanat sering kali menjadi tumpuan utama pembaca ketika berhadapan dengan puisi, di samping sarana kebahasaan yang digunakan seorang penyair. Melalui amanat, seorang pembaca akan berharap menemukan nilai-nilai yang berguna bagi dirinya dan pembaca lainnya. Oleh karena itu, terkadang kita menemukan pembaca yang bersikeras, minimal berharap, agar penyair dalam menggunakan sarana kebahasaan dapat dengan mudah menuntun pembaca menemukan amanat dalam puisi. Sebelum saya membicarakan serba singkat perihal amanat, mari kita membaca puisi Sapardi Djoko Damono berikut ini.

ICE CUBES

       Dua ice cubes dicungkil dari sebuah tray di feezer

       "Kita akan masuk ke gelas yang sama," bisik yang satu.

       "Insyaallah," sahut lainnya.

       Sejak dimasukan ke freezer, yang satu membeku di sudut sini

satunya membeku di pojok sana.

       Setengah gelas coca-cola - OMG!

       Keduanya dicemplungkan ke dalamnya; sebentar terdengar

ribut berdenting - ini kemarau.

       Mereka pun cepat meleleh tak lagi bisa membedakan siapa

yang aku siapa yang kamu.

Setelah membaca puisi Sapardi tersebut, saya seperti langsung diingatkan pada perkataan Sapardi perihal amanat dalam puisi. Katanya, "Membaca sajak bukan sekadar memburu amanat. Cara penyair menyampaikan amanat sama pentingnya dengan amanat itu sendiri. Ini berarti, membaca sajak harus juga membaca cara penyair menyampaikan amanat". Tentu saja Sapardi bermaksud ingin menyampaikan bahwa cara penyair menyampaikan amanat harus mendapatkan perhatian dari pembaca. Memembaca puisi tidak melulu hanya menemukan amanatnya. Pernyataan Sapardi itu juga tak lain adalah prinsip kreatif yang memang dianutnya dalam kerja penulisan puisi. Maka dari itu, saya tidak lah merasa aneh kalau Sapardi dalam menulis puisi amat mengedepannya "cara penyair menyampaikan amanat".

Puisi-puisi lainnya yang dapat saya jadikan bukti (di samping puisi "Ice Cubes"), bahwa Sapardi mementingkan "cara" yang dimaksud adalah puisi yang berjudul "Topeng Monyet", "Old Friends", "Sajak tentang Seorang Perempuan", dan puisi yang berjudul "Di Gurun". Puisi-puisi semacam itu telah ikut mengukuhkan Sapardi adalah penyair yang amat displin menggunakan prinsip penulisan puisi yang anutnya. Pertanyan yang selanjutnya dapat saya munculkan adalah seperti apa cara yang dilakukan Sapardi dalam menyampaikan amanat puisi-puisinya? Mari, sedikit kita membicarakan puisi berjudul "Ice Cubes".

Keseluruhan diksi yang digunakan Sapardi boleh dibilang diksi yang mengandung arti transparan. Pembaca akan dengan mudah mengetahui isi puisi "Ice Cubes". Sampai dengan baris kesembilan, penyair bercerita tentang dua ice cubes yang dijungkil dari dalam tray yang tersimpan dalam freezer . Kedua tokoh ice cubes yang pada awalnya membeku, tahu kalau mereka akan dimasukan ke dalam setengah gelas minuman coca-cola. Setelah keduanya dimasukan ke dalamnya, terdengarlah suara ribut berdenting. Sebagai dunia imajinatif, puisi tersebut menggunakan dua tokoh yang dihadirkan penyair secara personifikasi. Dari pemakaian personifikasi inilah, pembaca selanjutnya menggunakan pemahamannya untuk sampai pada makna apa yang sesungguhnya ingin disampaikan penyair. Pembaca pun mungkin akan melihat beberapa diksi mengandung makna konotasi, seperti "kemarau" dan "meleleh", serta rangkaian diksi yang berbunyi "tak lagi bisa membedakan siapa yang aku siapa yang kamu".

Dari "kecurigaan" pembaca atas diksi-diksi tersebut, dapat saja pembaca selanjutnya memaknai bahwa penyair pada hakikatnya ingin menyampaikan perihal kehancuran peradaban dunia modern yang telah kehilangan sisi kemanusiaannya ("kemarau"). Akibatnya, hilang pula identitas diri-manusia ("meleleh"), yang tak lagi dapat mengenali satu sama lain, sebagaimana yang dengan jelas diungkapkan melalui kata-kata "tak lagi bisa membedakan siapa yang aku siapa yang kamu". Melalui pemaknaan seperti ini, selanjutnya pembaca mungkin akan mengambil kesimpulan, bahwa melalui puisi "Ice Cubes" penyair memberi pesan agar kita menyadari posisi manusia yang kini yang tak lagi mampu mengenal hakikat kemanusiaan kita. Manusia kini yang telah lebur dalam "dunia bersama" baik demi kepentingan politik, golongan, maupun kelompok-kelompok sosial atas nama primordialisme dan fanatisme keagamaan. Puisi tersebut mengajak kita untuk tidak terjebak dalam "kemarau" sosial yang selalu "terdengar ribut berdenting", seperti situasi negeri kita saat ini.

Seperti itukah pesan yang ingin disampaikan Sapardi Djoko Damono dalam puisi berjudul "Ice Cubes"? Bagaimana pun amanat itu hanya lah hasil dari interpretasi pembaca tertentu yang amat memberikan peluang bagi lahirnya beragam interpretasi yang diberikan pembaca-pembaca lain. Justru yang menarik untuk kita ungkap adalah "cara Sapardi mengungkapkan amanat" terlepas dari apa pun itu amanatnya. Akhirnya, saya dengan hati-hati mengatakan, cara yang dilakukan Sapardi adalah melalui pemakaian metafora yang diperkuat dengan kehadiran personifikasi dan perlambangan. Ah, sampai di sini tiba-tiba saya menjadi sok pintar menilai Sapardi Djoko Damono, padahal saya hanya pembaca biasa. Tak lebih!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun