Penulis: Muadz Arfa Panjaitan
Pendahuluan
Indonesia kembali bergejolak. Aksi demonstrasi yang berlangsung sepanjang Agustus hingga September 2025 meninggalkan jejak kelam dalam perjalanan demokrasi bangsa. Ribuan masyarakat turun ke jalan menyuarakan aspirasi, namun yang tersisa justru luka, air mata, dan kehilangan. Banyak korban berjatuhan, baik dari pihak demonstran, aparat, maupun warga sipil yang terjebak di tengah konflik.
Ironisnya, di balik deretan korban ini, masih sedikit sekali pelaku yang dimintai pertanggungjawaban. Publik menunggu keadilan, tetapi yang terdengar hanyalah gema janji tanpa kepastian.
---
Akar Persoalan dan Gelombang Aksi
Aksi unjuk rasa kali ini dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah memberikan tunjangan DPR sebesar Rp 50.000.000, serta dibumbui dari isu ekonomi, reformasi hukum, hingga ketidakadilan sosial. Berbagai kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Makassar menjadi pusat gelombang protes.
Di lapangan, situasi berkembang tak terkendali. Bentrokan pecah, gas air mata ditembakkan, dan jalan-jalan dipenuhi massa. Banyak saksi mata melaporkan penanganan represif, sementara sebagian pihak menuding adanya provokasi terselubung yang memperkeruh keadaan.
Namun, di tengah derasnya arus informasi, yang jelas terlihat hanyalah data korban, bukan daftar pelaku.
Korban Berjatuhan, Keadilan Tertunda
Data dari sejumlah lembaga independen mencatat:
- Ratusan orang luka-luka akibat bentrokan
- 10 orang meninggal dunia (data: 2 September 2025)
Namun hingga awal September 2025, belum ada laporan resmi mengenai pihak yang bertanggung jawab atas jatuhnya korban jiwa. Pertanyaan besar pun muncul:
"Apakah keadilan hanya berhenti pada hitung-hitungan statistik korban, tanpa keberanian menyingkap siapa yang bersalah?"
Ketiadaan transparansi menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dan aparat penegak hukum. Demokrasi seolah kehilangan maknanya jika suara rakyat yang menuntut keadilan justru dibalas dengan kekerasan dan diamnya penegakan hukum.
Kritik terhadap Lemahnya Akuntabilitas
Fenomena "ada korban, pelaku tak ada" bukan pertama kali terjadi. Sejarah mencatat, dari tragedi 1998 hingga kerusuhan 2019, pola yang sama terus berulang. Rakyat menunggu kejelasan, namun proses investigasi selalu berjalan lambat, bahkan kerap berhenti di tengah jalan.
Harapan dan Tuntutan Publik
Masyarakat Indonesia tidak menolak perbedaan pendapat, bahkan demonstrasi adalah bagian dari demokrasi. Namun, ketika aspirasi dibalas dengan kekerasan dan korban berjatuhan, negara wajib hadir menegakkan keadilan
Ada tiga tuntutan utama yang kini menggema:
- Transparansi Penyelidikan --- Pemerintah dan aparat diminta membuka data hasil investigasi secara jujur.
- Akuntabilitas Pihak Terkait --- Setiap pelaku, baik individu maupun institusi, harus diproses secara hukum tanpa pandang bulu.
- Reformasi Penanganan Aksi Massa --- Penegakan protokol keamanan yang menjunjung hak asasi manusia, bukan sekadar represif.
Tanpa langkah nyata, luka ini akan terus menganga, dan rakyat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap negara.
---
Penutup
Aksi demo Agustus--September 2025 bukan sekadar rangkaian peristiwa politik, tetapi cermin wajah demokrasi Indonesia. Selama pelaku pelanggaran tak tersentuh hukum, selama transparansi diabaikan, dan selama korban dibiarkan menjadi angka-angka tak bernama, keadilan hanyalah ilusi.
Sejarah akan mengingat, bukan hanya siapa yang menjadi korban, tetapi juga siapa yang memilih untuk diam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI