Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang Batak dan Mandegnya Rasionalisme?

23 Oktober 2016   15:47 Diperbarui: 23 Oktober 2016   16:12 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Kondisi Terusan "Tano Ponggol" Wilhelmina Pangururan Samosir tanggal 27 Juli 2016 (hariansib.com, 29.07.16)

 

Dalam artikel sebelumnya, saya menggarisbawahi Terusan Wilhelmina atau Tano Ponggol di Pangururan Samosir sebagai simbol penaklukan mistisme Batak oleh rasionalisme Barat yang dibawakan penjajah Belanda (“Orang Batak dan Terusan Wilhelmina”, K. 22.10.11). Pembangunan terusan itu paruh kedua tahun 1900-an mematahkan mistisme Batak tentang relasi mitologis daratan Samosir dan Gunung Pusukbuhit. Gunung yang secara mitologis dikisahkan sebagai tempat orang Batak pertama, “Si Raja Batak”, diturunkan dari “Banua Ginjang” (Dunia Atas, Langit) ke “Banua Tonga” (Dunia Tengah, Bumi). Penggalian terusan tak melepas tautan Samosir dari Pusukbuhit, sehingga daratan itu akan tenggelam, seperti diyakini pendduk setempat tahun 1900-an.

Ironisnya, simbol “kemenangan” rasionalisme atas mistisme itu kini tampak sebagai simbol kemandegan rasionalisme dalam masyarakat Batak, khususnya pemerintah Kabupaten Samosir. Kondisi terakhir terusan itu sangat memprihatinkan, seolah tanpa sentuhan pembangunan. Dua minggu kemarau sudah cukup untuk mendangkalkan terusan itu, sehingga sulit dilalui oleh kapal danau ukuran sedang (hariansib.co, 29.07.16). Tambahan dua minggu lagi kemarau, agaknya cukup untuk mengubah terusan itu menjadi alur lumpur yang bisa ditanami padi.

Pada paruh pertama 1970-an saya pernah naik kapal melewati terusan Tano Ponggol Wilhelmina itu, dalam rangka pelayaran keliling Samosir.  Waktu itu kapal masih bisa melayari terusan dengan lancar. Pada paruh pettama 1990-an saya sempat melintasi jembatan Tano Ponggol untuk sebuah kunjungan studi pencemaran danau ke Pangururan. Terlihat terusan sudah mengalami pendangkalan. Tapi masih bisa dilalui kapal, walau harus ekstra hati-hati.

Pendangkalan terusan Wilhelmina tahun 2010-an memang sudah tergolong parah. Pernah dilakukan pengerukan, konon memakan biaya sampai Rp 12 milyar, tapi hasilnya “seolah tak pernah dikeruk”.  Maka kondisi terusan itu kini seolah menjadi simbol mandegnya rasionalisme orang Batak. Dalam arti seolah tak ada ikhtiar pembangunan yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan atau mengembalikan, bahkan meningkatkan, fungsi terusan bersejarah itu.

Pemerintah setempat cenderung menyalahkan penurunan permukaan danau sebagai biang kerok pendangkalan Tano Ponggol. Dengan pola pikir semacam itu, maka solusinya pastilah menunggu musim hujan, untuk menaikkan kembali permukaan danau. Artinya orang Batak hanya berserah diri  pada penyelenggaraan alam atau iklim khususnya. Lalu kemana perginya rasionalitas yang memungkinkan manusia mengatasi kendala lingkungan sekaligus membantu lingkungan alami memulihkan fungsi-fungsi ekologisnya?

Rasionalisme mestinya mengantar pada tiga langkah yang dapat ditempuh untuk memulihkan dan mengembangjan fungsi-fungsi Terusan Wilhelmina. Pertama, jangka pendek, mengeruk kembali terusan untuk memperdalam dasarnya. Ini langkah teknis yang dapat segera dilakukan. 

Kedua, jangka menengah,  bersamaan dengan pengerukan itu,  koridor kiri-kanan terusan dikembangkan menjadi jalur hijau sekaligus obyek wisata alam terusan, serta wisata sejarah dan budaya. Bagusnya diintegrasikan dengan obyek wisata alam, historis, dan budaya Pusukbuhit dan Sianjurmulamula, yang secara mitologis diyakini sebagai kampung pertama orang Batak (Toba/Samosir).

Ketiga, jangka panjang, adalah penghijauan perbukitan gundul di Samosir dan lingkar Danau Toba, khususnya di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memasok air ke Danau Toba. Perbukitan gundul sekitar Danau Toba telah merusak neraca air di lingkungan Danau Toba. Lahan gundul tidak mampu menahan air di bawah permukaan, sehingga kemarau dengan cepat menurunkan permukaan danau. Sementara di musim hujan air langsung membanjiri danau, tanpa menyisakan tabungan yang memadai di dalam tanah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun