Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Kemiskinan Bukan Ancaman Ketahanan Nasional

8 Juli 2014   19:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:00 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kemiskinan di pinggiran Kota Jakarta (KOMPAS/AGUS SUSANTO)

“Ancaman terbesar dari dalam negeri adalah kemiskinan…” Ini pernyataan Capres Prabowo menjawab pertanyaan Capres Jokowi tentang ancaman terhadap ketahanan nasional, dalam acara Debat Seri III Capres/Cawapres, Minggu 22 Juni 2015 lalu.

Kalau mengikuti pernyataan itu, berarti kemiskinan yang mendera 28.55 juta (11.47%) penduduk Indonesia, menurut laporan BPS per September 2013, merupakan ancaman terbesar dalam negeri terhadap ketahanan nasional. Tapi benarkah demikian?

Titik Lemah

Benar, memang ada hubungan fungsional antara kemiskinan dan ketahanan nasional. Semakin miskin penduduk suatu negara, semakin rentan ketahanan nasionalnya.

Tapi bukan kemiskinan itu sendiri yang jadi penyebab langsung. Tapi dampak kemiskinan itulah yang menyebabkan kerentanan ketahanan nasional. Tak lain karena kemiskinan menyebabkan rendahnya akses terhadap pangan, kesehatan, dan pendidikan. Akibatnya penduduk miskin tumbuh menjadi komponen bangsa yang paling lemah dalam segala aspek.

Secara fisik mereka kekurangan atau “lapar” kalori dan protein. Karena itu tenaga, daya pikir, imunitas mereka terhadap penyakit menjadi lemah. Akibatnya produktivitas kerja mereka menjadi sangat rendah. Berarti kontribusi terhadap ketahanan ekonomi nasional juga rendah.

Secara psikis mereka rendah diri. Mereka cenderung takluk pada kelompok sosial yang lebih kaya, berpendidikan, dan berkuasa. Mereka tumbuh menjadi kelompok sosial dengan mentalitas “orang kalah”. Orang bermental seperti itu jelas tidak bisa diharapkan mampu melawan ancaman kedaulatan dari dalam dan luar negeri.

Secara sosial mereka terpinggirkan di arena ekonomi, politik, dan budaya. Mereka lalu membentuk sub-kultur kemiskinan, yaitu sistem nilai yang adaptif terhadap kondisi dan dampak kemiskinan, sebagai strategi bertahan (coping strategy) terhadap ragam tekanan hidup. Jelas bahwa sub-kultur itu tidak membebaskan mereka dari kemiskinan, tapi sebaliknya justru mereproduksi kemiskinan dari generasi ke generasi.

Menjadi miskin dengan demikian berarti menjadi “lapar, kalah, dan terpinggirkan”. Kondisi fisik, psikis, dan sosial serbalemah ini berpotensi sebagai pintu masuk bagi kekuatan-kekuatan idiologis yang bertujuan menghancurkan ketahanan nasional. Misalnya kelompok-kelompok separatis, ekstrimis, dan teroris yang mungkin menyaru sebagai Ratu Adil.

Kondisi “lapar-kalah-terpinggirkan” itu dieksploitasi pertama-tama sebagai isu ketidakadilan sosial, lalu ditransformasikan menjadi keresahan dan akhirnya kemarahan atau amuk sosial. Itulah proses mentransformasi kelompok miskin dari “pecundang” menjadi “penentang”radikal yang dapat merusak ketahanan nasional.

Ada contohnya dalam sejarah nasional. Di awal 1960-an PKI telah menggerakkan petani/buruh tani miskin di pedesaan untuk mengganyang “Tujuh Setan Desa” (tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, kapitalis birokrat, tengkulak, bandit desa, penguasa desa) yang diposisikan sebagai representasi kapitalisme. Klimaks perlawanan itu semua sudah tahu, yaitu Peristiwa 30 September 1965, dengan segala kontroversinya.

Jadi kemiskinan sebenarnya bukan ancaman langsung melainkan titik lemah dalam ketahanan nasional. Sebagai titik lemah, ia bukan hanya tidak menyumbang terhadap ketahanan nasional. Tapi lebih buruk lagi ia menjadi pintu masuk bagi kekuatan radikal yang bermaksud menghancurkan ketahanan nasional dari luar dan dalam.

Tapi penduduk miskin tidak dapat dipersalahkan atas masalah ini. Mereka adalah korban ketidakadilan struktural khususnya dalam distribusi hak-hak ekonomi dan politik. Karena itu tidak etis juga mengatakan kemiskinan sebagai ancaman terbesar ketahanan nasional. Telunjuk harus diarahkan kepada negara yang belum mampu menghilangkan rintangan-rintangan struktural penyebab kemiskinan itu.

Langkah Struktural

Jelas bahwa penghapusan kemiskinan absolut akan memperkuat ketahanan nasional. Tapi bagaimana strateginya? Kedua orang capres, Prabowo dan Jokowi, secara spesifik belum menyampaikan gagasan mendasar terkait masalah ini.

Mengingat kemiskinan adalah hasil konstruksi sosial yang bersifat struktural, maka langkah penanggulangannya juga harus struktural. Secara spesifik langkah tersebut harus difokuskan pada pencapaian keadilan khususnya dalam alokasi sumber daya ekonomi.

Sumber daya ekonomi utama yang tidak dikuasai golongan miskin adalah tanah, modal kerja, dan infrastruktur pendukung. Akses penduduk miskin terhadap dua jenis sumber daya itulah yang harus ditingkatkan dengan cara-cara mendasar.

Pertama, akses terhadap tanah ditingkatkan melalui reforma agraria yang masih tinggal janji selama dua periode pemerintahan Presiden SBY. Reforma agraria tidak harus berupa redistribusi tanah yang tidak disukai para tuan tanah. Tetapi ia dapat berupa pembukaaan areal pertanian baru pengelolaannya diorganisasasi dalam bentuk Badan Usaha Milik Petani (BUMP) yang beranggotakan petani/buruh tani miskin. BUMP ini dapat digandengkan dengan BUMD/BUMN dalam skema jaringan bisnis yang menjamin kelangsungan perkembangan BUMP.

Kedua, akses penduduk miskin terhadap permodalan ditingkatkan melalui pembentukan Bank Desa, semacam Grameen Bank di Bangladesh, yang melayani kebutuhan kredit mikro bagi golongan penduduk miskin pedesaan. Dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan PNPM Mandiri dapat diintegrasikan sebagai produk jasa pada Bank Desa ini. Agar penduduk miskin layak-bank (bankable), mereka dapat diorganisir untuk menjalankan kegiatan bisnis tertentu di bawah binaan BUMD/BUMN.

Ketiga, dengan berlakunya UU No. 6/2014 tentang Desa, penggunaan dana alokasi APBN dan APBD sebesar Rp 800 juta-Rp 1,4 miliar per desa sebaiknya diprioritaskan pada pembangunan infrastruktur sosial-ekonomi pedesaan yang mendukung peningkatan produktivitas dan pendapatan golongan miskin di pedesaan. Dengan demikian total dana pembangunan yang dialokasikan untuk penanggulangan kemiskinan akan berlipat ganda.

Tentu saja ketiga langkah mendasar tersebut harus didukung oleh suatu kebijakan pembangunan yang berorientasi penanggulangan kemiskinan. Kebijakan semacam ini belum terbaca jelas dalam visi dan misi kedua capres. Demi ketahanan nasional yang paripurna, mudah-mudahan capres terpilih nanti tidak melupakannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun