Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Aku Berziarah ke Gua Maria Bukit Kanada di Rangkasbitung

12 Oktober 2025   14:23 Diperbarui: 12 Oktober 2025   14:23 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Bunda Maria, doakanlah kami." (Dokumentasi Pribadi)

Soal devosi pada Bunda Maria, boleh dibilang, aku ketularan dari istriku. Dia berdevosi kepada Bunda Maria sejak usia remaja. Jelas, waktu itu kami belum saling kenal. Bertemu pun belum.

Barulah dalam satu dekade terakhir ini, setelah puluhan tahun terikat Sakramen Perkawinan, aku mulai tertular virus devosi pada Bunda Maria. Seperti kubilang tadi, ditulari istriku sendiri. 

Doa Rosario dan ziarah ke Gua Maria, walau tak rutin dan tak khusuk-khusuk amat, mulai mewarnai kehidupanku. Kendati harus kuakui, saat berdoa rosario, aku kerap terserang kantuk luar biasa. Tapi, kupikir, itu masih terbilang manusiawi.

Dalam dua tahun terakhir kami berdua, istriku dan aku, agak rutin berziarah ke Gua Maria Bukit Kanada (GMBK), Rangkasbitung. Hampir tidak ada bulan yang terlewatkan, tanpa ziarah ke GMBK, sekurangnya sekali dalam satu bulan. 

“Mengapa berziarah ke GMBK?” tanya seorang kawan. Ya, kenapa harus ke sana, bukan ke Kerep Ambarawa, Sendangsono Kulonprogo, atau Puhsarang Kediri misalnya?

Nyaman, aman,  murah, dan cepat naik kereta komuter ke Gua Maria Bukit Kanada (Dokumentasi Pribadi)
Nyaman, aman,  murah, dan cepat naik kereta komuter ke Gua Maria Bukit Kanada (Dokumentasi Pribadi)

Mudah dan Murah

Pilihan GMBK, pertama, didasari suatu alasan rasional ekonomis, yaitu  karena paling mudah dan murah dicapai. 

Begini. Kami berdiam di Jakarta Selatan. Kami tinggal naik mobil ojol dari rumah ke Stasiun Kebayoran. Lalu, dari situ,  naik kereta komuter ke Rangkasbitung, dilanjutkan naik angkot ke GMBK. Rata-rata makan waktu 2 jam 15 menit atau 4.5 jam pergi-pulang. Ongkosnya pun murah, total hanya Rp 162.000 untuk berdua.

Lha, kalau alasannya supaya mudah dan murah, kenapa gak ziarah ke gua Maria di gereja-gereja Katolik sekitar Jakarta saja. Yah, konsepnya gak gitu. Murah ya murah, mudah ya mudah, tapi gak effortless gitu juga kali. Perlu ada upaya ekstra, sekecil apa pun itu, sebagai bukti kesungguhan. 

"Bunda Maria, doakanlah kami." (Dokumentasi Pribadi)

Hati yang Ringan dan Riang

Tapi lebih penting dan mendasar dari alasan rasional ekonomis itu  adalah alasan rohaniah, hal spiritualitas.  

Begini. Setiap kali ziarah ke  GMBK, istriku dan aku mendaraskan doa rosario di dalam ceruk di samping patung Bunda Maria. Saat berdoa itu, aku merasa sedang mengadukan segala salah dan suka-dukaku kepada bunda sendiri. 

Dalam pikiranku, Bunda Maria itu adalah mahabunda, bunda dari segala bunda.  Aku bayangkan, dia selalu tersenyum menyambut kedatanganku. Dia juga senantiasa mendengarkan segala ceritaku dengan sabar, sekalipun itu cerita  keluh-kesah. 

Setiap kali usai berdoa rosario, lalu mendaraskan Litani Bunda Maria, dan memohon “Bunda Maria doakanlah aku”, hatiku terasa plong, menjadi lebih ringan dan riang. Segala beban hati terasakan lepas sedikit demi sedikit seiring pendarasan doa Salam Maria. 

Aku tidak bilang itu semacam mukjizat. Tak hendak menafsirkan juga begitu. Cukuplah bila kukatakan, aku merasa tenang dan senang dengan keadaan semacam itu.

Bunda Maria yang kudus tulus setia menunggu anaknya yang bebal. Gua sebelah kiri adalah ceruk tempat berdoa (Dokumentasi Pribadi)
Bunda Maria yang kudus tulus setia menunggu anaknya yang bebal. Gua sebelah kiri adalah ceruk tempat berdoa (Dokumentasi Pribadi)

Bunda yang Tulus, Anak yang Bebal

Apakah hatiku menjadi lebih ringan dan riang untuk seterusnya? Yah, hari gini sulitlah membayangkan ada orang mendadak jadi orang kudus sepulang ziarah dari  gua Maria.  

Tak perlulah menunggu sampai seminggu. Masih di dalam kereta komuter saja,  dalam perjalanan pulang ke rumah, sudah ada butir-butir debu mengotori hati. Entah karena kesal pada ulah penumpang lain. Atau karena mendadak timbul  pikiran buruk tentang seorang penumpang yang tampak aneh. 

Intinya, seminggu kemudian hatiku sudah penuh lagi dengan beban, rasa salah, dan keluh-kesah. Solusinya, ya, itulah. Aku, bersama istri,  pergi lagi berziarah ke GMBK. Di sana kuadukan lagi segala salah dan keluh-kesah kepada Bunda Maria. Begitu terus, berulang-ulang sepanjang tahun.

Aku tak pernah berpikir Bunda Maria bosan atau jenuh dengan kedatangan dan pengaduanku yang selalu sama setiap minggu atau bulan. Paling juga, pikirku, saat Bunda Maria melihatku datang lagi dan lagi, dia akan berkata sambil tersenyum tulus, “Bah, anakku yang bandel dan bebal itu datang lagi dengan salah dan keluh-kesah yang sama.”

Aku pikir begitulah bahasa kasih “tanpa tapi” dari hati kudus tulus bunda sejati kepada anaknya yang bandel dan bebal. [eFTe]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun