Tapi lebih penting dan mendasar dari alasan rasional ekonomis itu adalah alasan rohaniah, hal spiritualitas.
Begini. Setiap kali ziarah ke GMBK, istriku dan aku mendaraskan doa rosario di dalam ceruk di samping patung Bunda Maria. Saat berdoa itu, aku merasa sedang mengadukan segala salah dan suka-dukaku kepada bunda sendiri.
Dalam pikiranku, Bunda Maria itu adalah mahabunda, bunda dari segala bunda. Aku bayangkan, dia selalu tersenyum menyambut kedatanganku. Dia juga senantiasa mendengarkan segala ceritaku dengan sabar, sekalipun itu cerita keluh-kesah.
Setiap kali usai berdoa rosario, lalu mendaraskan Litani Bunda Maria, dan memohon “Bunda Maria doakanlah aku”, hatiku terasa plong, menjadi lebih ringan dan riang. Segala beban hati terasakan lepas sedikit demi sedikit seiring pendarasan doa Salam Maria.
Aku tidak bilang itu semacam mukjizat. Tak hendak menafsirkan juga begitu. Cukuplah bila kukatakan, aku merasa tenang dan senang dengan keadaan semacam itu.
Bunda yang Tulus, Anak yang Bebal
Apakah hatiku menjadi lebih ringan dan riang untuk seterusnya? Yah, hari gini sulitlah membayangkan ada orang mendadak jadi orang kudus sepulang ziarah dari gua Maria.
Tak perlulah menunggu sampai seminggu. Masih di dalam kereta komuter saja, dalam perjalanan pulang ke rumah, sudah ada butir-butir debu mengotori hati. Entah karena kesal pada ulah penumpang lain. Atau karena mendadak timbul pikiran buruk tentang seorang penumpang yang tampak aneh.
Intinya, seminggu kemudian hatiku sudah penuh lagi dengan beban, rasa salah, dan keluh-kesah. Solusinya, ya, itulah. Aku, bersama istri, pergi lagi berziarah ke GMBK. Di sana kuadukan lagi segala salah dan keluh-kesah kepada Bunda Maria. Begitu terus, berulang-ulang sepanjang tahun.
Aku tak pernah berpikir Bunda Maria bosan atau jenuh dengan kedatangan dan pengaduanku yang selalu sama setiap minggu atau bulan. Paling juga, pikirku, saat Bunda Maria melihatku datang lagi dan lagi, dia akan berkata sambil tersenyum tulus, “Bah, anakku yang bandel dan bebal itu datang lagi dengan salah dan keluh-kesah yang sama.”
Aku pikir begitulah bahasa kasih “tanpa tapi” dari hati kudus tulus bunda sejati kepada anaknya yang bandel dan bebal. [eFTe]