"Bapak tolong mundur ke pom belakang. Pom ini khusus Pertalite," kata Mas Petugas itu. "Ya, Tuhan, gak percaya banget aku mau isi Pertamax!" kataku kesal, sambil memundurkan mobil.
"Pertamax, ya, Pak," sekali lagi, Mas Petugas itu minta kepastian. "Iya. Duaratus ribu rupiah," kataku, kali ini ketus.
Jujur, aku merasa tersinggung karena gak dipercaya petugas dan satpam itu. Masa sih mobilku gak boleh pakai Pertamax, hanya karena sudah tua dan catnya agak bocel-bocel. Ya, wajarlah itu, mana ada kulit tua mulus. Emang ada oplas untuk mobil?
Mbok, ya, jangan begitulah. Walau mobilku tua tapi dia punya harga diri. Dia gak ngemis-ngemis agar bisa minum Pertalite, bensin bersubsidi itu.
Mobil tuaku lebih bermartabat ketimbang mobil terbilang mewah tapi minum Pertalite. Aku pernah melihat yang seperti itu. Itu mobil kok gak malu pada mobilku, sih?
Walau usia tua, mobilku disiplin menjalani servis berkala. Karena itu dia gak pernah mogok di jalan selama 15 tahun menemaniku. Kalau lewat jalan tol, masih bisa digeber pada kecepatan 120 km per jam.
Cuma aku takut sendiri ngebut. Takut, karena sudah tua, onderdilnya pada copot saat melesat dengan kecepatan tinggi. Mesin memang oke, tapi bodynya, gak yakin aku.
Mobil tua dengan pemilik tua, sebenarnya klop banget, kan? Makanya aku gak mau ganti dengan mobil baru karena, selain gak serasi, memang gak ada dananya, sih.Â
Tapi, ya, itulah risikonya. Pak Satpam dan Mas Petugas SPBU Pertamina tadi gak percaya kalau mobilku minum Pertamax. Sebagai manusia lansia pemilik mobil lansia, aku rada tersinggung gak dipercaya begitu.Â
Anehnya, beberapa kali kulihat, Petugas SPBU Pertamina percaya saja ketika ada mobil cukup mewah, bagus dan mahal minta diisikan Pertalite. Kok bisa gitu, ya. [eFTe]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI