Dalam buku itu teks sejarah yang dimaksudkan editor ada pada Bagian Pertama, "Peziarahan 75 Tahun".  Bagian Kedua, "Kesaksian dan Visi ke Depan" berisi tulisan-tulisan opini dan pengalaman para kontributor.  Di antaranya ada  rektor dan mantan rektor SMCS, kepala sekolah dan mantan kepala sekolah SMA SMCS, pastor dan awam alumni SMCS, dan suster yang melayani seminaris.Â
Teks sejarah SMCS dalam Ad Altiora terutama didasarkan pada dua buku kenangan Dies Natalis SMCS Â terdahulu (1990 dan 2000). Selain juga didasarkan pada informasi dari sejumlah narasumber. Antara lain hasil wawancara dengan rektor, mantan rektor, kepala sekolah, mantan kepala sekolah, formator, mantan formator, dan alumni SMCS. Disamping juga penggalian arsip SMCS.
Dalam dua buku terdahulu sejarah SMCS disajikan hanya sebagai catatan kronologis peristiwa-peristiwa penting tahun 1950-2000. Karena itu dua buku tersebut lebih merupakan  dokumentasi peristiwa-peristiwa ketimbang sejarah seminari.
Berbeda dari dua buku terdahulu, Ad Altiora menyajikan hasil analisis terhadap peristiwa-peristiwa kronologis SMCS sepanjang periode 1950-2025.  Hasilnya adalah sajian lima babak sejarah SMCS. Pembabakan itu didasarkan pada fokus pengelolaan seminari dalam rentang-rentang waktu tertentu sebagai berikut. Â
Pertama, perintisan pola dan tradisi di Padang (1950-1953). Â Mgr. Matthias Brans, OFM Cap, Uskup Medan ( 1941-1954) mendirikan SMCS tahun 1950 untuk mendukung pribumisasi hirarki dan pelayanan Gereja Katolik. Imam-imam missionaris OFM Cap pada waktunya harus digantikan oleh imam-imam pribumi alumni SMCS. Â Pastor Bernardinus van de Laar, OFM Cap, direktur seminari, bersama staf pada mulanya menjalankan SMCS secara trial and error. Â Sampai kemudian berhasil ditemukan pola dan tradisi pendidikan seminari yang diikuti sampai sekarang.Â
Kedua, penguatan di Pematangsiantar (1954-1961).  Di Pematangsiantar, Pastor van de Laar memimpin penguatan SMCS di berbagai aspek.  Antara lain penguatan infrastruktur berupa  kelengkapan prasarana dan sarana asrama/sekolah.  Juga penguatan organisasi berupa pemisahan jenjang SMP dan SMA, penataan kurikulum, serta penambahan tenaga formator dan guru. Â
Ketiga, perubahan dan panen imam (1962-1976).  Pastor  Godhard Liebreks, OFM Cap, direktur penerus Pastor van de Laar, melakukan sejumlah perubahan.  Antara lain kebijakan pengangkatan guru-guru awam pribumi, pembukaan kelas Tertia B untuk lulusan SMP luar,  dan pembukaan kelas Rhetorica B untuk lulusan SMA luar.  Dalam periode ini, dua alumni SMCS, kelak menjadi uskup Keuskupan Agung Medan (KAM), ditahbiskan yaitu A.G. Pius Datubara OFM Cap sebagai pastor Batak pertama (1964) dan Anicetus B. Sinaga, OFM Cap (1969).
Keempat, pribumisasi kepemimpinan seminari (1977-1999). Â Posisi direktur SMCS beralih dari misionaris, Pastor Liebreks kepada imam pribumi, Pastor Thomas Saragi, OFM Cap. Â Itulah tonggak pribumisasi kepemimpinan dan formasi seminari. Â Dalam periode ini jenjang SMP Seminari dihapuskan, sehingga hanya ada SMA Seminari. Â Tapi kelas Tertia B dipertahankan dengan nama Probatorium. Sementara lulusan SMA Seminari, jika akan melanjutkan panggilan, tidak perlu lagi masuk kelas Rhetorica (kelas 7) tapi langsung ke Seminari Tinggi.
Kelima, pembinaan Generasi Y dan Z (2000-2025). Â Sejak tahun 2000 posisi rektor (dulu direktur) SMCS dipisahkan dari jabatan kepala sekolah SMA Seminari. Â Rektor memimpin pendidikan calon imam di domus (asrama) sedangkan kepala sekolah di schola (sekolah). Tantangan utama pada periode ini adalah penyesuaian sistem pendidikan seminari agar jumbuh dengan karakter dan perilaku seminaris generasi Y dan Z. Â Dalam periode ini kelas Probatorium dihapuskan sehingga masa belajar di SMCS hanya tiga tahun.
Jika dibaca secara cermat, keseluruhan paparan dalam bagian "Peziarahan 75 Tahun" itu belum sepenuhnya dapat dikatakan "sejarah" SMCS. Â Alasannya, sebagaimana diakui juga oleh editor buku tersebut, metode sejarah untuk merekonstruksi fakta-fakta masa lalu SMCS belum bisa diterapkan secara optimal.Â
Tahap-tahap heuristik (pengumpulan sumber sejarah), verifikasi (kritik sumber), interpretasi (analisis/tafsir sumber terverifikasi), dan historigrafi (rekonstruksi fakta sejarah) tidak diikuti secara ketat. Penyebabnya keterbatasan waktu, efektif hanya sekitar 45 hari. Dalam waktu sependek itu mustahil editor bisa mengumpulkan sumber-sumber sejarah 75 tahun SMCS secara lengkap. Demikian pula verifikasi dan interpretasi sumber tidak bisa dilakukan secara mendalam. Penulisan sejarah pun menjadi kurang mendetail; di sana-sini ada lubang-lubang fakta yang membuat paparan tidak mulus.Â