Sementara iru kereta mendesing halus mengantarku, seorang pendosa, ke Rangkasbitung.
Damai di Angkot
Kereta komuter berhenti di Stasiun Rangkasbitung Ultimate yang sedang dibangun ulang. Istriku dan aku bergegas keluar dari gerbong, menyusuri peron darurat, larut dalam kerumunan penumpang yang turun dan yang naik.
Hari masih pagi. Matahari bersinar cerah. Langit berhias gemawan tipis.
Tapi Rangkasbitung tak terlihat bergegas. Kota ini memang tampak bergerak lambat. Pasar dan terminal di samping stasiun adem-ayem saja.
“Pak, Bu, gua!” Seorang supir angkot “merah-putih” (livery) menawarkan tumpangan di depan stasiun.
Karena kerap ke Gua Maria Bukit Kanada, supir angkot itu dan beberapa yang lain sudah kenal wajah kami. Wajah-wajah “manusia gua”. Kami pun sudah hafal wajah mereka. Jadi kami mengenal supir-supir itu sama seperti mereka mengenal kami. Kenal wajah doang, tapi kami (sudah sok) akrab.
Supir itu menuntun kami ke terminal yang tenang. Benar-benar tenang. Tak ada teriakan para calo menawarkan angkot dan bus seperti dalam sinetron “Preman Pensiun”.
Begitu kami berdua naik angkot, supir langsung menyalakan mesin, injak pedal kopling, masuk persneling satu, lepas pedal kopling dan injak pedal gas simultan, angkot bergerak keluar terminal menuju Gua Maria Bukit Kanada.
Itu benar-benar “angkot pribadi”. Hanya kami berdua, istriku dan aku penumpangnya. Selalu begitu adanya, bukan sekali itu saja. Itulah bagian dari kenikmatan berziarah ke Gua Maria Bukit Kanada: dimanjakan sopir angkot Rangkasbitung.
Angkot tak perlu ngetem sampai penuh baru jalan. Begitulah langgam angkot Rangkasbitung. Para sopir itu sungguh menghargai penumpang. Ada penumpang naik, satu atau dua orang, langsung jalan. Terberkatilah mereka, para sopir yang baik hati itu.