Di jalur Waterfront City, bukan hanya air menari dan margondang yang bisa dinikmati. Jalur itu dirancang sebagai galeri seni terbuka. Di situ bisa dinikmati patung Boru Saniangnaga dan Boraspati Ni Tano, dewi air dan dewa tanah dalam mitologi Batak. Hanya saja, entah dengan alasan apa, sosok Boru Saniangnaga kok ya seperti sosok naga dalam mitologi Cina.
Waterfront itu menjadi semacam jalur One Stop Touring. Di satu kawasan bisa menikmati beragam obyek dan atraksi. Selain patung Boru Saniangnaga dan Boraspati, masih ada sejumlah obyek lain seperti Taman Pustaha, Aek Natio, Taman Rohani, Galeri Samosir, dan Batuan Geologi Toba. Juga ada atraksi lain seperti pertunjukan di Panggung Apung, video The Magnificent Toba, dan (sesuai kalender) perlombaan Solu Bolon.
Di belakang jalur Waterfront itu, diintergrasikan juga bangunan yang tergolong warisan kota. Antara lain rumah dinas atau kantor Controleur Onderafdeling Samosir, berupa rumah panggung, dan Gereja Katolik Santo Mikhael Pangururan yang mengadopsi arsitektur dan ornamen ukir rumah adat Batak Toba.
Dua bangunan "arisan kota" kota itu bisa dianggap sebagai "perbatasan" antara Waterfront sebagai wajah modern kota, dan pemukiman serta pertokoan di belakangnya sebagai wajah asli Pangururan. Itulah sisi belakang koin, wajah kota yang masih menampilkan gejala stagnasi dalam pembangunan.
Memang tak dipungkiri adanya kemajuan, berupa bangunan pertokoan, hotel-hotel, dan restoran atau cafe baru. Itulah sentuhan pembangunan dalam sepuluh tahun terakhir.
Tapi tak bisa dipungkiri juga masih adanya pemandangan lama. Jalanan yang semrawut, bangunan toko dan rumah tua yang tak tertata, pasar tradisional yang semrawut, dan jalan-jalan kota yang kurang terawat. Itulah wajah belakang kota Pangururan, yang menampakkan rona keterbelakangan.Â
Itu semua cermin budaya asli Batak di Pangururan yang belum sepenuhnya siap berubah untuk menjamu wisatawan. Entah karena belum disiapkan, atau karena mayoritas warga memang tidak atau belum merasa bagian dari sektor wisata yang sedang dibangun di sana.
Jauh di belakang lagi, di pinggir timur dan selatan kota, masih bertahan wajah tradisional Pangururan. Di sana tersebar perkampungan tua asli dengan rumah-rumah adat Batak. Lengkap dengan kegiatan pertenunan ulos yang digerakkan kaum wanita.