Sebenarnya, bukan tak ada sama sekali rencana program kerja GKT. Â Saya telah membaca dua naskah Rwncana Induk (Renduk) GKT (Versi 2018-2030 dan Versi 2018-2038) dan satu naskah Rencana Strategis (Renstra) 2020-2023 Bidang Pendidikan, Riset dan Pengembangan.Â
Masalahnya naskah-naskah itu bukan naskah resmi yang sudah disahkan. Statusnya masih draft. Â Karena itu tak bisa dijadikan sebagai acuan untuk menilai kinerja BP-GKT.
Kendati cuma draft, tapi jelas naskah-naskah itu menunjuk pada tiga pilar pengelolaan GKT. Keragaman geologi, keragaman hayati, dan keragaman budaya kaldera.
Lantas dicanangkan  tiga bidang pengembangan. Konservasi, ekonomi, dan komunitas khususnya berupa edukasi.Â
Jika 3 pilar itu disilangkan dengan 3 bidang, maka didapat sebuah matriks pembangunan GKT dengan 9 sel. Â Semua program kerja yang direncanakan dalam naskah-naskah tadi dapat didistribusikan ke dalam 9 sel matriks itu.Â
Sebagai contoh saja, pengembangan agrowisata berada dalam sel "ekonomi x keragaman hayati" (misal: wisata kebun andaliman). Tapi ada juga di sel "ekonomi x keragaman budaya (misal: wisata ritus panen padi). Bahkan di sel "wisata × keragaman geologi" (misal: wisata sawah bertingkat).
Satu hal mendasar yang hilang  dari naskah-naskah renduk atau renstra tadi adalah paradigma pengelolaan dan pengembangan GKT. Paradigma, sederhananya, diartikan di sini sebagai keyakinan dasar yang menjadi landasan pikir dan tindakan ke depan.
Dalam konteks pengelolaan dan pengembangan GKT, pertanyaan paradigmatiknya adalah "apa dan bagaimana keyakinan dasar tentang eksistensi Kaldera Toba?"
Sebagai jawaban, di sini saya menawarkan paradigma ekologi manusia. Ekologi manusia merujuk pada relasi, intwraksi, dan ko-evolusi manusia dengan lingkubgannya.
Dengan itu saya bisa mengatakan bentang Kaldera Toba adalah ekologi manusia Batak. Ini dengan asumsi pemukim pertama dan asli, kemudian dominan, di Kaldera,Toba adalah etnis Batak (Toba, Pakpak, Karo, Simalungun).
Orang Batak adalah manusia kaldera. Itu kuncinya.