Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dokter Richard Lee, Farel Aditya, dan Budaya Kemiskinan

18 Agustus 2023   07:55 Diperbarui: 18 Agustus 2023   15:47 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokter Richard Lee (kanan) dan Farel Aditya (kiri) (Sumber: Instagram/@dr.richard_lee via suarasumbar.id)

***

Budaya kemiskinan, demikian anteopolog Oscar Lewis (1959), pola adaptasi orang miskin terhadap marginalitasnya, melalui pembentukan nilai-nilai sosial atau pola pikir (mind set) yang melanggengkan kemiskinan lintas generasi.

Misalnya, orang miskin menilai rendah pendidikan karena hal itu tidak langsung mengentaskannya dari marginalitas. Sebaliknya justru semakin memiskinkan karena menguras dana dan membatasi tenaga kerja keluarga.

Orang-orang miskin atau marginal hidup dalam suatu pola rutinitas yang mereka bentuk sendiri sebagai strategi survival. Menarik mereka dari pola itu, dan memindahkannya ke pola rutinitas orang kaya, tidak saja akan membuat mereka stres. Tapi juga menimbulkan resistensi, penolakan, antara lain dengan cara melarikan diri, kembali ke lingkungan asal atau aslinya. 

Farel diduga telah memiliki semacam "zona nyaman" miskin/marginal sendiri di Medan. Katakanlah itu semacam komunitas sosial dengan nilai-nilai  yang akomodatif terhadap kondisi  kemiskinan dan marginalitasnya. 

Dalam komunitas itu terjadi relasi-relasi sosial survival, saling memperhatikan, dan saling dukung satu sama lain. Relasi-relasi itu bersifat reproduktif, pengulangan hal-hal yang sama tapi bikin nyaman. Itu bukan relasi-relasi yang bersifat produktif, yang bisa mengangkat seseorang dari kondisi kemiskinan atau marginalitasnya. 

Namun, era medsos dapat dimanfaatkan seseorang yang  marginal sebagai jalan terabas untuk mengangkat status di dunia maya. Itulah yang dilakukan Farel melalui akun TikTok-nya. Dia menjual dirinya dengan cara berulang-ulang membagikan kisah sengsara hidupnya ke ruang publik. 

Kisah dirinya sejak balita diasuh neneknya dalam kemiskinan. Tersebab  bapaknya masuk penjara, ibunya pergi kawin lagi, dan kakeknya juga pergi kawin lagi. Tak ada sokongan keuangan dari ayah, ibu, dan kakeknya. Dia harus kerja mocok-mocok, serabutan, sambil sekolah untuk bisa bertahan dalam kemiskinan.

Konten TikTok yang mengharu-biru dan meraup banyak views semacam itu memberi manfaat ganda bagi Farel. Sejumlah produsen meminta dia meng-endorse produk lewat akun TikTok-nya dan itu berarti uang masuk. Lalu, dan ini penting, dia menjadi viral sebagai artis atau selebritas TikTok dan itu mengangkat status dan posisi tawarnya di komunitas dan khalayak luas. 

Viralitas diri, bagaimanapun juga, adalah modal sosial yang dapat dikapitalisasi untuk menghasilkan uang. Bahkan sekalipun itu viral karena konten yang tak bermutu, semisal goyang bokong, jilat eskrim, dan berteriak "Dungu!".

Boleh dibilang dr. Richard sebenarnya mencabut seketika Farel dari zona nyamannya, lingkungan komunitas marjinalnya, lalu menancapkannya begitu saja di "zona baru", komunitas "Xaverius" yang menganut nilai-nilai individualitas, kompetisi, kerja keras otak, dan produktivitas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun