Seandainya Guglielmo Marconi, fisikawan Italia peraih Hadiah Nobel, tak menemukan radio, aku mungkin tak akan pernah merasa bodoh dalam hidupku. Hanya itu yang kusesali dari radio. Kalau kamu mau tahu.Â
Ada sebuah anekdot populer tahun 1970-an di Tanah Batak yang mengambarkan kebodohanku secara tipologis.Â
Di era kejayaan nilam di Dairi, seorang petani nilam yang mendadak kaya-raya membeli sebuah radio transistor. Saat dinyalakan, mengalunlah suara merdu Ernie Johan melantunkan Teluk Bayur.Â
"Sedap kalilah lagu itu, bah. Matikan dululah radionya. Kita harus ke ladang nilam dulu. Nanti sore bapak mau dengar lagi lagu itu," kata petani itu pada anak gadisnya.
Sorenya, setelah kembali ke rumah, radio dinyalakan lagi. Terdengar suara laki-laki, "Inilah Radio Republik Indonesia Nusantara Tiga Medan dengan warta berita ...."
Tak usahlah diceritakan bagaimana marahnya petani itu karena merasa di-prank oleh radionya. Yang jelas dia tak bisa membedakan radio dan tiprikorder (tape recorder).
***
Kebodohanku tentang radio itu mungkin lebih parah dari petani dalam anekdot tadi. Atau mungkin sama saja. Terserah saja.
Akhir 1960-an hanya ada satu unit radio transistor di kampungku, Panatapan (pseudonim), Uluan-Toba. Itu milik kakekku nomor dua. Pembagian dari bupati Tapanuli Utara, suatu fasilitas atas jabatannya sebagai hampung, kepala desa.
Usiaku waktu itu mungkin empat tahun. Atau lima tahun? Lupa-lupa ingat. Yang jelas aku belum bersekolah.