Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Sosiologi Kuburan] Makna Berpulang bagi Seorang Kompasianer

8 Mei 2022   20:17 Diperbarui: 9 Mei 2022   06:45 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makam almarhum Kompasianer Jati Kumoro di Yogyakarta (Foto: Kompasianer Bain Saptaman)

"Dia telah pergi ke keabadian, bukan karena termakan oleh sakit batin, tapi karena dihantarkan oleh sakit lahiriah."

Apakah individu manusia memiliki sebuah motif subyektif untuk berpulang atau meninggal dunia?

Pertanyaan khas Weberian itu tetiba menyeruak ke dalam sesak pikiran dalam benakku. Sekejap setelah membaca kabar berpulangnya rekan Kompasianer Jati Kumoro, kemarin sore, Sabtu 7 Mei 2022, di grup perpesanan.

Tentu, pertanyaan soal motif berpulang itu relevan jika, dan hanya jika, kematian adalah sebuah tindakan sosial.

Dan saya memahaminya seperti itu.

Sebab bukankah setiap orang punya harapan tentang cara berpulang dan tujuan akhirat? Tentu setiap orang ingin berpulang dengan cara yang layak, di tengah keluarga dan komunitasnya, untuk kemudian boleh beristirahat dalam damai di surga-Nya. 

Jelas, harapan semacam itu adalah motif sosial berpulang yang bersifat subyektif. Dan karena itu kematian menjadi sebuah tindakan sosial.

Dikatakan tindakan sosial karena kematian senantiasa melibatkan pihak lain. Keluarga inti, kerabat luas, komunitas, dan para sahabat dan relasi sosial. Bahkan melibatkan organisasi swasta semacam jasa pemakaman dan negara yang hadir dalam wujud dinas pemakaman.

Tapi bukankah individu tak perlu melakukan upaya apapun  untuk mati secara wajar? Lantas bagaimana bisa dikatakan kematian itu sebuah tindakan sosial?

Ya, kematian adalah tindakan sosial pasif. Seseorang hanya perlu menghembuskan nafas terakhirnya. Itu sudah cukup untuk mengundang respon duka-cita serta ritual religi dan tradisi kematian dan pemakaman.  

Seorang almarhum tidak pergi sendiri dan menguburkan dirinya ke pemakaman. Upacara kematian dan pemakaman dilakukan oleh keluarga, kerabat, dan komunitas. Tak bisa lain, itu adalah tindakan sosial.

***

Apakah rekan Kompasianer Jati Kumoro telah berpulang menurut cara ideal yang pernah dipikirkannya, dan masuk ke surga-Nya seperti diharapkannya?

Tentang surga itu, semoga menjadi karunia Tuhan untuk Mas Jati, panggilan akrab dari saya untuknya.  Saya, kamu, kita, hanya bisa berharap, memohon lewat doa kepada Tuhan.

Tapi soal cara berpulang, pada akhirnya harus ditafsir ulang secara post-factum.  Manusia boleh berharap cara berpulang terindah, tapi itu menurut ukuran manusia. 

Pada akhirnya, cara Tuhanlah yang terjadi. Bukan kehendakku, tapi kehendak-Nya yang terjadi.  Dan itulah cara yang terindah, terbaik, yang dikaruniakan Tuhan untuk umatnya.

Mas Jati berpulang setelah sejak awal Maret 2022 dirawat karena komplikasi gagal ginjal, covid-19, dan gejala stroke. Masalah gagal ginjal sudah menderanya sejak 2018.

Pertanyaan dalam benak manusiawi saya, apakah cara berpulang yang begitu "menyakitkan" seperti itu adil bagi Mas Jati? Bagi seorang cendikiawan yang, setidaknya melalui Kompasiana,  telah membahagiakan sesama lewat artikel-artikel humornya yang menghibur dan artikel-artikel sejarah dan budaya Jawa yang mencerdaskan?

Sepanjang saya kenal daring di Kompasiana sejak 2015, Mas Jati adalah tipikal orang Jawa yang sumeleh,  nrimo ing pandum. Prinsip sepi ing pamrih rame ing gawe sungguh dilakoninya dalam berkompasiana.

Bukan capaian Artikel Utama, apalagi status verifikasi biru,  bahkan bukan imbalan materi l yang menjadi motifnya berkompasiana. Menghibur dan mencerdaskan sesama, itu saja. 

Dalam kalimat yang ringan dan sahaja, dia pernah berujar, "Kita untuk senang-senang saja di sini." Di sini, di Kompasiana. Tak lebih, tak kurang. 

Prinsip itulah yang membuatnya konsinten dan persisten menulis artikel di Kompasiana. Bahkan dalam kondisi didera penyakit ginjal, Mas Jati masih tetap setia menulis. 

Artikel terakhir Mas Jati di Kompasiana bertarikh  9 Juli 2021.  Setelah itu, kondisi kesehatan yang semakin memburuk telah menghambat darma baktinya untuk menghibur dan mencerdaskan sesama lewat Kompasiana.

Saya selalu menunggu artikelnya terbit kembali. Berharap kesehatannya segera pulih, setelah tahu dia terbaring sakit di rumah sakit. Tapi Tuhan berkehendak lain: "Cukup sudah pengabdian Jati Kumoro di bumi."

Dan saya harus mencari penjelasan imaniah demi memahami cara berpulang Mas Jati yang begitu sarat derita itu.  Tentu dari sudut imani seorang Katolik yang imannya tak ada sebesar biji sesawi.

Inilah tafsirku. Setiap orang punya salibnya, dan itu adalah yang terbaik. Bahkan Yesus tak bisa menolak untuk tidak didera, memanggul salib ke bukit Golgota, lalu wafat dengan cara paling hina, tergantung bersama penjahat di kayu salib.

Itu bukan sebuah perbandingan. Hanya semacam terang imani. Untuk bisa menerima cara berpulang Mas Jati yang "sarat derita" itu sebagai pilihan terindah dari Tuhan Maha Pengasih untuknya.

Dengan terang iman seperti itu, saya kemudian bisa menerima kepulangan Mas Jati sebagai jalan terbaik untuknya. Sebagai  jalan paling adil yang dikaruniakan Tuhan baginya. Jalan menuju kedamaian abadi di rumah-Nya.

Pemakaman dengan demikian bukan lagi peristiwa sedih. Bukan akhir dari pertemuan. Pemakaman adalah langkah simbolik memasuki gerbang kehidupan lain, suatu misteri yang tak mungkin diketahui orang hidup.

Di sana, di alam kehidupan yang masih misteri itu, saya berharap Mas Jati menunggu kita. Entah dengan cara bagaimana. Tapi jelas bukan seperti caranya menunggu kehadiran kita di Kompasiana.  

***

Kompasiana, seperti juga ragam platform medsos lain, telah memaksa kita untukvmendefinisikan ulang persahabatan.

Di Kompasiana persahabatan bukan lagi interaksi sosial di dunia nyata, melainkan interaksi sosial di dunia maya. Interaksi sosial anpa pertemuan lahiriah, tetapi dengan pertemuan mental yang intens. Kita bisa bersahabat akrab dengan seseorang yang tidak pernah kita kenal secara lahiriah.

Begitulah saya memahami persahabatan dengan Mas Jati di Kompasiana sejak 2015. Dia adalah pembaca dan penanggap setia artikel-artikel saya. Saya adalah pembaca dan penanggap setia artikel-artikelnya. Kami berdua bersenang-senang.

Saya sempat menulis sekurangnya tiga artikel humor untuk "merisak" (dalam arti roasting) Mas Jati. Begitulah caraku mengartikulasikan kedekatan batiniah dengannya. Dan hal itu semakin mengakrabkan kami di Kompasiana.

"Sesadis" apa pun saya merisaknya, juga oleh teman-teman sepantaran, Mas Jati tak pernah tersinggung, apalagi sakit hati. Fakta bahwa artikelnya nyaris tak pernah diganjar AU, dan kesetiaannya pada centang hijau, sudah diterima sebagai bahan lelucon  di Kompasiana. Itu telah menjadi jenama untuknya.

Karena itu saya punya keyakinan, Mas Jati berpulang bukan karena ternakan sakit batiniah. Dan sakit lahiriahnya hanyalah jalan untuk mengantarnya menuju kedamaian abadi di rumah-Nya. Maha Kasih Engkau, ya, Tuhan.

Saat menyudahi obituari ini, saya tetiba teringat akan para anumerta yang mendapatkan kenaikan pangkat satu tingkatan setelah berpulang.  

Lalu saya teringat, dalam aturan Kompasiana tidak ada larangan bagi Admin untuk menaikkan status kompasianer almarhum satu tingkat, dari centang hijau ke centang biru.

Bukankah itu sebuah penghargaan yang layak bagi Mas Jati, yang telah menghibur dan mencerdaskan kita sepanjang periode 2015-2021 tanpa henti? (eFTe)

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun