Dalam memutus TWK sah dan konstitusional, MK memberi alasan: “ASN secara filosofis dan ideologis memiliki kewajiban untuk setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah yang dalam pelaksanaannya juga harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik serta tunduk dan taat kepada peraturan perundang-undangan." [2]
Dengan keluarnya putusan MK, maka menurut logika hukum, TWK itu sah secara hukum (konstitusional). Tidak mengandung “cacat formil”, seperti disebutkan BEM SI dalam tuntutannya.
Jika TWK sah secara hukum, berarti dia telah sejalan dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Itu artinya TWK secara substansi tak mengandung rasialisme, tak terindikasi pelecehan, dan tak mengganggu hak privasi dalam beragama. Sebab hal-hal itu bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dengan demikian tidak ada dasar hukum bagi Ketua KPK untuk mencabut dua SK yang telah dikeluarkannya. SK yang dimaksud adalah SK Nomor 652/ 2021 terkait pembebastugasan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam TWK, dan SK Nomor 1354/2021 (13/09/2021) tentang pemberhentian dengan hormat 56 pegawai KPK yang tak lolos TWK.
Justru sebaliknya, jika Ketua KPK mencabut kedua SK itu maka dia melakukan pelanggaran hukum, karena bertentangan dengan putusan MA di atas. Juga bertentangan dengan Permen PAN-RB Nomor 61 Tahun 2018 tentang optimalisasi kebutuhan/formasi PNS dalam seleksi CPNS, PP 41/2020 tentang pengalihan pegawai KPK menjadi ASN, dan UU 5/2014 tentang ASN.
Pasal 66 UU Nomor 5/2014 mengatur kewajiban ASN untuk mengucapkan sumpah dan janji setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, negara, dan pemerintah yang sah. Sementara hasil TWK dari 75 pegawai KPK diduga mengandung satu atau beberapa dari sembilan kriteria ketidak-laikan ASN KPK berikut: setuju perubahan Pancasila sebagai dasar negara, menolak pembubaran HTI dan FPI, menolak revisi UU KPK, mengakui sebagai Taliban yang hanya takut pada Allah, mengakui di KPK ada Taliban, tidak setuju pimpinan KPK, abai prosedurdalam tugas, memilih keluar dari KPK daripada mematuhi pimpinan/pemerintah, dan prinsip menolak perintah pimpinan jika tak sesuai keyakinan.[3]
Itu berarti ada dugaan atau indikasi bahwa 56 pegawai KPK yang diberhentikan itu tidak setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah. Juga diduga tidak bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik serta tidak tunduk dan taat kepada peraturan perundang-undangan.
Tuntutan Agar Presiden Mengangkat 56 Pegawai KPK Jadi ASN
Tuntutan kedua dari BEM SI: mendesak Presiden bertanggung jawab dalam kasus upaya pelemahan terhadap KPK dengan mengangkat 56 pegawai KPK menjadi ASN.
Dengan tuntutan itu, BEM SI mau mengatakan bahwa keputusan pemberhentian 56 pegawai KPK itu adalah aksi pelemahan terhadap KPK. Agar KPK kuat kembali, maka Presiden Jokowi harus mengangkat mereka menjadi ASN.
Ingat sembilan kriteria ketak-laikan ASN di atas? Limapuluh enam pegawai KPK itu diduga memiliki satu atau lebih kriteria ketak-laikan itu. Pegawai seperti itu justru akan melemahkan dan merongrong institusi KPK, karena misalnya tak setia pada Pancasila dan UUD 1945 dan membawa idiologi lain ke dalam tubuh KPK.
Apa jadinya kalau Presiden Jokowi melakukan intervensi sehingga SK Ketua KPK dibatalkan dan 56 pegawai itu diangkat menjadi ASN? Itu artinya Presiden justru melegalisasi pengangkatan orang-orang yang mungkin tak setia pada Pancasila dan UUD 1945, bahkan mungkin menentang Presiden, untuk menjadi ASN. Berarti Presiden tidak konsisten mengemban amanat Pancasila dan UUD 1945.