Mestinya ada korelasi positif antara  logika dan tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka mestinya semakin ketat logikanya atau semakin kokoh argumentasinya.
Tapi sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) telah menunjukkan hal sebaliknya.  Saat  menggelar aksi demonstasi di area Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (27/9/2021) siang, mereka menyampaikan sejumlah tuntutan yang sesat logika.
Seluruhnya ada lima desakan atau tuntutan yang disampaikan BEM SI.[1]
Pertama, mendesak Ketua KPK mencabut SK 652 dan SK Pimpinan KPK tentang pemberhentian 57 pegawai KPK yang dikeluarkan pada 13 September karena TWK yang cacat formil secara substansi mengandung rasialisme, terindikasi pelecehan, dan mengganggu hak privasi dalam beragama.
Kedua, mendesak Presiden bertanggung jawab dalam kasus upaya pelemahan terhadap KPK dengan mengangkat 56 pegawai KPK menjadi ASN.
Ketiga, menuntut Ketua KPK Firli Bahuri mundur dari jabatannya karena telah gagal menjaga integritas dan marwah KPK dalam pemberantasan korupsi.
Keempat, mendesak KPK agar menjaga marwah dan semangat pemberantasan korupsi.
Kelima, menuntut KPK agar segera menyelesaikan permasalahan korupsi, seperti kasus bansos, BLBI, benih lobster, suap Ditjen Pajak, dan kasus suap Harun Masiku.
Tiga  desakan/tuntutan tersebut terakhir logis-logis saja.  Ketua KPK memang wajib menjaga marwah dan semangat pemberantasan korupsi.  Antara lain dengan penanganan tuntas atas kasus-kasus korupsi seperti  korupsi bansos (Kemensos), korupsi rumah DP Rp 0 DKI, dan berbagai kasus suap. Jika tak mampu menyelesaikan kasus-kasus korupsi, ya, Ketua KPK memang harus tahu diri, mundur dari jabatan.
Karena itu saya fokus pada dua desakan tersebut pertama. Â Logika dua desakan itu harus dipertanyakan karena tanggal 31 Agustus 2021 Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan bahwa TWK Pegawai KPK itu sah secara hukum. Para aktivis BEM SI mestinya sudah tahu itu.