Jauh sebelum dipopulerkan Kaesang di Indonesia, laku ghosting sudah lama ada di dunia ini.Â
Mungkin usia ghosting itu sama tua dengan kehadiran umat manusia. Atau, biar rada masuk akal, katakanlah setua gejala cinta antar dua insan.
Ghosting itu tak pandang bulu. Dia lintas ras, bangsa, suku, agama, gender, umur, profesi, lapisan, dan lokasi. Bahkan lintas partai juga.
Tak terkecuali pada orang Batak Toba. Â Jangan dikira karena orang Batak "sangar", maka akan terbebas dari ghosting. Tadi sudah dibilang, ghosting tak pandang bulu.
Dalam masyarakat Batak Toba, gejala ghosting sudah ada sejak lama. Â Solusinya macam-macam. Tergantung kekuatan iman dan mentalnya.
Solusi paling tak berkelas adalah ghosting benaran.  Maksudnya, korban ghosting benar-benar mentransformasi diri jadi ghost, hantu, gentayangan.
Di kampung Poltak tahun 1960-an ada kasus seperti itu. Â Seorang gadis remaja di-ghosting pacarnya. Â Dengar-dengar, lelaki pacarnya itu berpindah ke lain hati, lalu kawin lari ke pulau Jawa. Â
Solusinya, gadis itu mengambil sebotol endrin, racun tikus, lalu menenggaknya sampai habis. Akibatnya, gadis itu masuk kubur, jadi hantu. Sedangkan tikus aman sentosa mengerati batang padi milik orangtuanya di sawah.
Itu solusi yang bagus untuk dihindari. Â
Sebab ada solusi yang elok. Â Mendengarkan apa kata ibu. Itu sangat elegan. Â