Sebagai "kuli politik" seberapa besar para buzzer dan juga "kuli unjukrasa" itu dibayar?  Hanya sekitar Rp 50,000 sampai Rp 100,000 per hari, plus sebungkus nasi dan sebotol air mineral.  Kalau bukan "orang miskin" tidak ada warga bangsa ini yang mau diupah segitu untuk melakukan tindakan berisiko tinggi.  Bisa ditangkap dan dikurung polisi, luka-luka, bahkan kehilangan nyawa. Sekurang-kurangnya nyasar ke Banten, padahal mau pulang ke Jawa Barat.
Coba periksa para buzzer pembenci Jokowi yang ditangkap polisi.  Lelaki pengangguran, anak sekolahan, ibu rumahtangga, dan buruh serabutan.  Kemana para "orang kaya", junjungannya, saat mereka berurai air mata minta maaf dengan tangan terborgol? Mungkin saja mereka sedang membeli vitamin, masker, oksigen  dan vaksin untuk menangkal Covid-19 yang menurutnya takada.Â
"Orang kaya" oposan itu adalah orang-orang yang sudah mendarah-daging kebenciannya kepada Jokowi.  Sebab kemenangan Jokowi, atau kekalahan mereka,  telah melemparkan golongan itu  ke luar garis akses kekuasaan.  Hanya bisa menjadi "gelandangan politik" yang sibuk memaki-maki, mengutuki, dan menyumpahi Jokowi agar segera lengser dari kursi presiden. Mungkin sambil berharap semoga Jokowi mendengar, lalu menawarkan jabatan menteri risafel atau staf khusus presiden.
Memang sungguh menyakitkan kekalahan dan keterpinggiran dari lingkaran kekuasaan. Â Itu sebabnya Jokowi tidak mau kalah dua kali dalam Pilpres. Â Karena dia tahu dirinya tak kuat menjadi Menteri Pertahanan. (eFTe)