Para pengunjuk rasa itu tak pernah tahu siapa itu Karl Marx.  Apalagi isi buku Das Kapital.  Mereka agaknya hanya dikasih tahu, "Buku Kapital itu karangan Komunis antek Kapitalisme dan Liberalisme. Itu anti-Pancasila! Terlarang!"
Begitu pula para buzzer pembenci Jokowi. Para politisi dan tokoh sosial, panutannya, menyuntikkan isu-isu mengerikan tentang Jokowi  ke ujung jemari mereka.  "Jokowi  pro-komunis karena pro-Cina"; "Jokowi pro-koruptor karena setuju UU KPK"; "Jokowi pro-kapitalis dan liberalis karena  setuju UU Ciptaker";  "Jokowi oligarkis karena  dikawal segelintir super-menteri"; "Jokowi diktator karena memaksakan PPKM Level-4; "; "Jokowi harus turun karena gagal mengatasi pandemi Covid-19".
Luar biasa! Untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, dan itu terjadi di Indonesia, seorang presiden dituduh sekaligus  pro-komunis, pro-kapitalis, pro-liberalis, pro-koruptor,  oligarkis, dan diktator sekaligus.  Teori-teori politik kekuasaan yang diajarkan di kampus-kampus harus direvisi.  Sebab tak bisa lagi menjelaskan gejala kekuasaan di Indonesia. Â
Sebenarnya memilukan.  Para buzzer anti-Jokowi itu telah dikibuli oleh para politisi dan tokoh sosial panutannya melalui argumen-argumen model reductio ad hitlerum (ad absurdum).  Semacam ini:  Hitler anti-rokok, maka orang yang anti-rokok adalah pendukung Nazi. Bandingkan dengan ini:  "Kebijakan Jokowi pro-Cina (Negara Komunis), maka Jokowi pro-komunis.  Atau ini:  Jokowi setuju UU KPK yang dinilai melemahkan KPK), maka Jokowi pro-korupsi.Â
Juga argumen ini: Â PSBB dan PPKM gagal melindungi rakyat dari Covid-19, maka Jokowi gagal melindungi rakyat (konsekuensinya harus turun dari kursi presiden). Â Penyebar argumen ini percaya bahwa "pergantian presiden adalah akar dari segala solusi untuk mengatasi pandemi Covid-19". Â
Padahal di aras lebih rendah sudah terbukti sebaliknya. Â Pergantian Menteri Kesehatan ternyata bukan akar dari solusi mengatasi pandemi Covid-19. Â Angka kasus Covid-19 malah melejit naik lebih tinggi dibanding semasa Menkes terdahulu. Â Â
Sejauh ini, tak ada satu pun negara di dunia ini yang mengganti presiden, perdana menteri, atau rajanya sebagai cara jitu mengatasi pandemi Covid-19. Â Lagi pula, gagasan menurunkan Jokowi sudah ada sejak hari pelantikannya sebagai Presiden RI. Â Tak ada kaitan kausatifnya dengan pandemi Covid-19.
Begitulah.  Para politisi dan tokoh sosial oposisi menanamkan argumen-argumen reduksionis ke jemari para pengikutnya.  Para pengikut, buzzer anti-Jokowi,  yang telah kehilangan otonomi atas otaknya. Â
Seorang oposan monopolis "akal sehat" misalnya bilang  pergantian presiden akan terjadi tanggal 17 Agustus 2021, asalkan ada tekanan masif dari massa untuk mewujudkannya.Â
Maksudnya ada demonstrasi masif dan luas untuk memaksa MPR-RI melakukan Sidang Istimewa pergantian presiden. Kalau Pak Harto dan Gus Dur bisa diturunkan, mengapa Jokowi yang katanya "planga-plongo" tidak bisa?
Lalu ada organisasi mahasiswa ekstra-kampus pimpinan Del Piero yang percaya ujaran Si Monopolis 'Akal Sehat" itu. Â Lalu dia mengundang khalayak, khususnya "mahasiswa", Â melaksanakan "unjukrasa serentak berhari-hari" Â untuk menurunkan Jokowi dari kursi Presiden RI. Â Salah satu bentuk gerakannya adalah "Jokowi End Game".
Faktanya ajakan unjukrasa itu mejan.  Itu membuktikan  ujaran Si Monopolis "Akal Sehat" hanya berangkat dari imajinasi atau bahkan halusinasinya. Bukan dari fakta empiris kondisi sosial kini di lapangan karena dia tak pernah ke lapangan. Kan, Jokowi minta "tinggal di rumah".