Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Inilah WAG Kompasianer Kenthir

27 Juli 2021   07:44 Diperbarui: 27 Juli 2021   19:28 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari: shutterstock via kompas.com

Seturut pengamatan Engkong Felix, ada dua tipe WAG Kompasianer.  WAG Nyinyir dan WAG Kenthir. Indikator pembedanya hanya satu: keberadaan Engkong sebagai anggota WAG. Kalau Engkong ada, berarti WAG Kenthir. Tak ada Engkong, berarti WAG Nyinyir. Karena Engkong hanya ikut di satu WAG, maka hanya ada satu WAG Kompasianer Kenthir.

Tapi itu sejatinya soal label semata. Isi cuapan (chat) di semua WAG Kompasianer sama saja. Nyinyiran! Dan Admin Kompasiana adalah korban yang paling banyak dianugerahi nyinyiran. Untung mereka tak mendengar. Bukan karena tak bertelinga, tapi karena semua nyinyiran tertulis.

Kasihan sebenarnya Admin K. Sudah gajinya kecil, dibanding gaji Wakil Komisaris Bank BUMN, dibanjiri nyinyiran pula. Belum lagi harus menghadapi ancaman suksesi tahun 2222 dari Kompasianer Prov. Al Pepeb. Kalau bukan karena ketagihan dinyinyiri, Admin K pasti sudah lama left dari Kompasiana.

Perilaku left itu menjadi ciri khas WAG Kompasianer Kenthir yang diikuti Engkong. Begini. Calon anggota WAG ini harus lulus tes masuk dulu baru diterima sebagai anggota. Mungkin inilah satu-satunya WAG yang mempersyaratkan tes masuk bagi calon anggotanya.

Tesnya sederhana. Hanya ada dua soal. Pertama, mendengarkan nyanyian Uda Zaldy di pesan suara. Kedua, menerima pesan tomateror (lontaran puluhan tomat digital) dari Engkong Felix. Kalau calon anggota itu tetap bertahan, tidak left, berarti dia taklulus.

Lha, tidak left kok tidak lulus, sih? Ya, begitulah. Sebab menurut kelaziman, semua anggota WAG Kenthir otomatis left setiap kali Uda Zaldy membagikan nyanyian atau setiap kali Engkong memberikan pesan tomateror. Kalau tidak left, berarti penyimpangan perilaku, sehingga tak layak menjadi anggota WAG.

Sebagian besar anggota WAG Kenthir ini ternyata guru. Itu membuat aducuap di WAG menjadi bacaan yang bikin puyeng Engkong. Bagaimana tidak puyeng. Para guru itu sibuk menyinyiri sistem pengajaran daring, merutuki perilaku murid, sampai mencela orangtua murid yang tunakuota dan tunasinyal. Apakah tidak aneh bahwa para guru itu mendapat gaji dari kenyinyiran mereka?

Uda Zaldy misalnya mengeluh karena harus menceboki anak PAUD di sekolah.  Mengapa tidak ada syarat sertifikat lulus toilet untuk masuk PAUD? Keluhnya. Kata Engkong, gak usah mengeluh. Sebab tindakan menceboki anak PAUD itu heroik. Menjadi masalah kalau menceboki ibunya. Itu hororik.

Mungkin karena profesinya guru, anggota WAG Kenthir ini gampang meraih verifikasi biru dari Admin K.  Baru-baru ini dua orang anggotanya mendapat verifikasi biru, Bu Naz(arotin) dan Mas Arif. 

Bu Naz itu dapat centang biru berkat artikel-artikel sadisme. Isi artikelnya selalu tentang penggal, potong, iris, cincang, ulek, goreng, dan rebus. Pokoknya, semua tanaman dan hewan konsumsi bawaannya stres kalau sudah diemek-emek Bu Naz. Bayangkan kalau dia iseng emek-mek suami.

Baru-baru ini dia menulis artikel tumis bunga pepaya gantung diri. Bayangkan betapa sadisnya. Sudah gantung diri karena stres, masih ditumis pula. Begitu, dapat centang biru.

Lain lagi dengan Mas Arief. Pak Guru ini dapat centang biru gara-gara menulis artikel porno bin horor. Itu telak menumbangkan reputasi Daeng Rudy, praktisi cum teorisi Kamasutra. 

Baru-baru ini dia menulis artikel porno tentang mandi telanjang bulat di sungai, yang diselipi cerita horor terjangan ular berjanggut putih (mungkin tadinya kambing bandot). Setelah menulis itu, dia langsung dapat centang biru. Dasar nasib baik.

Tapi tak semua guru anggota WAG Kenthir bernasib baik seperti Mas Arif. Ratu Puisi Mbak Ari misalnya, sudah menulis ribuan puisi, tapi masih tetap cinta mati pada centang hijau. 

Tapi nasib tragis iMbak Ari tu mengantar Engkong pada satu kesimpulan. Jangan menulis puisi di Kompasiana sebelum centang biru. Tapi tulislah puisi setelah centang biru, maka puisimu otomatis Pilihan. 

Hal itu sudah dibuktikan Daeng Khrisna. Dia baru berani menulis puisi di Kompasiana setelah mendapat centang biru. Sebelumnya tidak. Sebab dia takut puisinya tak dapat label dari Admin K.

Di antara para guru nyinyir anggota WAG ini, terselip seorang Peri Gigi yang gemar menyuruh orang buka mulut lebar-lebar, Bu Dewi. Peri Gigi ini sekarang buka layanan cabut gigi online. Kurang kenthir apa, coba. Kalau ada yang tertarik, silahkan daftar jadi pasiennya. Engkong, sih, tidak tertarik. Gigi tinggal dua, ya, dieman-emanlah.

Aih, semangat pagi para Kompasianer Rebahan. Bacalah humor, jangan artikel HL (AU). Artikel HL menganggapmu tak tahu apa-apa: tip ini, cara itu, tutorial nganu. Baca humor membuatmu sehat dan panjang umur, seperti Pak Tjip dan Bu Lina (bukan anggota WAG Kenthir). 

Takwa dan tawa. Itu kunci hidup sehat dan bahagia. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun