"Poltak, besok ikut amanguda ke Siantar, ya? Kau mau ke Kebun Binatang, kan?"
Poltak terlonjak ke atas wuwungan rumah kakeknya sebab hatinya  terlalu sukacita.  Tentu saja dalam khayalnya.
"Aku mau lihat harimau dan beruang, Amanguda." Mata Poltak bersinar binar. Â Kedua ujung bibirnya meregang nyaris menyentuh telinga.
"Kau mau tunggangi. Kau mau peluki. Boleh."
"Hah?"
Untuk pertama kalinya, sejak dilahirkan tahun 1961, Poltak bisa keluar dari rutinitas Tahun Baru di Kampung Panatapan. Keluar dari rutinitas doa pergantian tahun, saling memaafkan, minum kopi, makan sasagun, lampet dan kambang layang. Ditutup makan bersama dengan lauk daging babi pada 1 Januari. Setelah itu, kembali ke rutinitas kerja harian.
"Siantar! Aku datang!" Poltak bersorak dalam hati.
Kamis, 2 Januari 1969, pagi, Â menumpang bus Betahamu, Poltak dan Parandum, amangudanya, berangkat menuju Siantar.
Siantar, Pematang Siantar, kota idaman anak-anak Panatapan. Hanya ada satu alasan bagi anak kampung itu pergi ke Siantar di tahun 1960-an. Melanjutkan sekolah setelah lulus SD, ke SMP atau SMA dan SPG terbaik yang ada di kota itu.
Jika ada anak Panatapan pergi ke Siantar hanya untuk jalan-jalan, maka Poltaklah orangnya. Hanya Poltak. Itu benar, setidaknya pada awal tahun 1969 itu.
"Poltak! Pulangnya jangan lupa bawa kumis harimau, ya!" Binsar dan Bistok sempat kompak mengingatkan sesaat sebelum Poltak naik  bus Betahamu.