Kepada Daeng Khrisna Pabichara Marewa:
Sekali waktu, pernah aku menginjak tanahmu. Berguru syukur di Tanah Maros yang permai. Dari riang harapan pada bentang padi sawah runduk menguning; taut janji damai danau dan bukit-bukit karst yang teguh di Rammang-Rammang; lukisan purba mistis pada dinding batu di Gua Leang-Leang; rubung beribu kupu-kupu pada jejak-jejak tualang Tuan Wallace di Bantimurung. Â
Sekali waktu, pernah aku menginjak tanahmu. Belajar tabah di Tanah Enrekang yang keras. Dari lingga karang perkasa tegak di puncak Gunung Bambapuang; yoni setia Buntu Kabobong nan eksotis di lereng Gunung Nona; semerbak harum kopi dan cerah merah bawang dalam himpitan bebatuan di Antareja; godaan gemulai liuk aliran air Mata Allo di lembah nan permai.
Sekali waktu, Â pernah aku menginjak tanahmu. Mereguk hening di Tanah Toraja yang damai. Dari jasad-jasad damai kekal di liang-liang hangat tebing karang Lemo, Ketekesu, dan Londa; Â jiwa-jiwa bayi putih suci di batang pohon Tarra di Kambira; hamparan sawah bertingkat berselimut awan di Batutumonga dan Lolai; hutan menhir simbuang batu yang magis di Bori Kalimbuang; Â manusia-manusia perindu kurnia sujud pasrah di bawah naungan Kristus Raja di Buntu Burake. Â
Segala itu menanam kenang di benak, memupuk hasrat  di sanubari. Aku rindu, teramat rindu, untuk kembali lagi ke tanahmu. Mereguk maslahat dari tanah, air, udara , dan hayatnya. Kuimpi satu hari kau duduk menungguku di situ, menjaga hangat dua cangkir kopi pahit di atas meja tua. Hari itu seakan aku lunas membayar rindu di tanah kelahiran.(*)
Gang Sapi Jakarta, 29.01.2021Â