Tapi Poltak tak bersedih hati. Â Dia memang sudah berniat berhenti menjadi penjaja gula-gula. Bukan karena neneknya mundur sebagai pemodal. Â Bukan pula karena sudah berhasil menenggak sebotol limun berkat laba usaha lima rupiah. Â
Bukan, bukan karena itu. Â Ada alasan yang lebih mendasar, menyangkut harga diri Poltak sebagai laki-laki.
"Poltak!" Â Terngiang kembali suara melengking Berta tadi, saat bubaran sekolah. Â Tiur berdiri melotot di sampingnya, menguatkan lengking suara itu. Kedua pesaingnya itu seakan bersiap melahap Poltak.
"Kau tahu, Poltak?" Suara Berta tetap melengking , mata Tiur tetap melotot. Â "Menjajakan gula-gula itu pekerjaan perempuan. Â Kau perempuankah, Poltak?" Â (Bersambung).