Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nenekku Ibu Sosiologisku, Guru Pertamaku

27 November 2020   17:29 Diperbarui: 27 November 2020   21:33 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak semua anak memperoleh karunia dibesarkan oleh ibu bio-sosiologisnya. Oleh seorang ibu yang tak hanya mengandung dan melahirkan anaknya. Tetapi juga berlanjut merawat dan mengasuhnya. Dari sejak dia masih orok telentang,  lalu merangkak, melangkah,  berlari, sampai akhirnya menjadi anak sehat yang memanjat pohon mangga tetangga.

Karuniaku tidaklah seperti itu. Aku tak dibesarkan ibu biologisku, melainkan oleh ibu sosiologisku. Dia adalah nenekku terkasih. Kondisi itu bukan pilihankan. Sepenuhnya berkat permohonan nenekku yang diamini ibu kandungku.

Tidak sedikit anak yang sepertiku, walau populasi kami tetaplah minoritas.  Selain oleh nenek,  seperti kasusku,  ada yang mendapat karunia dibesarkan oleh ibu tiri, tante, inang asuh, ataupun ibu panti asuhan. Mereka semua adalah ibu sosiologis, bukan penitis darah langsung. 

Nenekku, ibu sosiologisku, adalah guru pertamaku. Bukan mengajariku baca-tulis-hitung. Bukan. Dia tak genap dua tahun ikut Sekolah Rakyat. Karena itu, secara formal, dia masuk ke dalam bilangan warga buta aksara dan angka. Jika kemudian dia bisa berhitung sederhana, terkait urusan dagang hasil bumi dan keuangan rumahtangga, maka itu adalah hasil belajar mandiri.

Nenekku adalah guru pertamaku dalam seni hidup sosial.  Tentang bagaimana seorang warga muda memasuki dan menjalani kehidupan sosial. Itu suatu ajar sosial untuk memampukan aku menjadi bagian dari keluarga, lalu komunitas, dan akhirnya masyarakat.

Ajar sosial itu bukanlah ilmu, melainkan seni hidup sosial yang tak diajarkan di sekolah formal. Seni itu, sebagaimana diajarkan nenekku, menyangkut dua hal pokok dalam hidup. Satu, tanggungjawab sosial dan, dua, relasi sosial.

***

Aku lahir dan menghabiskan masa kanak-kanakku di Panatapan (pseudonim), sebuah kampung kecil di gigir utara wilayah Toba, Tanah Batak. Di kampung itulah aku menjadi "murid" untuk nenekku, guru pertamaku itu.

"Kau gembalakanlah kerbau kita." Begitulah nenek mengajariku, saat usia lima tahun, tanggungjawab sosial. Dengan membebankan padaku tugas penggembalaan kerbau milik keluarga. Enam ekor jumlahnya: tiga  indukan dan tiga anakan.

Demikianlah aku diajari tanggungjawab sosial dalam prakteknya. Tanggungjawab terhadap keluarga dan komunitas sekampung. Tugas penggembalaan kerbau adalah wahananya.

Enam ekor kerbau itu adalah modal sekaligus kekayaan keluarga. Aku harus merawat dan menjaga keselamatan mereka. Tidak boleh ada yang kelaparan, sakit, apalagi hilang. Itulah tanggungjawabku kepada keluarga. Dengan itu, hidupku jadi bermakna.

Beginilah tanggungjawab itu kulakoni. Pagi hari aku antar kawanan kerbau itu ke padang rumput yang subur.  Kutambatkan mereka di situ. Siangnya kuantar minum ke sumber air. Lalu kutambatkan lagi di padang rumput lain. Sorenya aku jemput mereka pulang ke kandang.

Aku harus periksa pula kesehatan kerbau-kerbau itu. Melaporkan kepada nenek dan kakekku, bila ada kerbau yang sakit perut, terluka, ataupun kudisan. Agar bisa segera diobati sampai sembuh.

Aku juga harus menjaga agar kerbau-kerbau itu tidak masuk ke sawah atau ladang milik warga. Lalu merusak dan memakan pertanaman di situ. Kejadian semacam itu merugikan pihak lain. Berarti pelalaian tanggungjawab kepada komunitas. 

Memang beberapa kali terjadi demikian. Dengan rasa malu, karena gagal mengemban tanggungjawab, aku melaporkannya kepada nenek.  Nenek meneruskan kepada kakek. Lalu kakek merundingkan denda kepada pemilik sawah atau ladang.  

Saat musim panen padi, kepada pemilik sawah atau ladang, aku kemudian menyerahkan beberapa gantang gabah untuk melunasi denda itu. Begitulah tanggung jawab sosial kujalankan.

"Kau bukanlah manusia utuh kalau tak bisa bertanggungjawab." Itulah pesan yang berulang diujarkan nenekku, setiap kali aku lalai dalam tanggungjawabku.

***

Masih pada usia lima tahun, suatu hari aku memaki kasar anak kakekku nomor dua, bertetangga rumah dengan kami.  "Kau jangan kurang ajar. Dia itu bapakmu!"  Hardik nenekku.  

Menurut struktur kekerabatan Batak, anak lelaki kakek atau saudara laki kakek adalah amanguda, bapak muda, untukku.  Karena itu aku harus hormat kepadanya.  Tidak boleh memaki, apalagi memukulnya.

Tiap kali aku tersandung pada kasus sejenis itu, maka nenekku akan mengulang ajaran norma relasi sosial orang Batak. "Ingat," katanya,  "somba marhulahula, manat mardongan tubu, elek marboru." 

Artinya hormat kepada kerabat pemberi isteri, paman atau mertua.  Ramah kepada kerabat sedarah, kerabat semarga kakak-beradik. Sabar kepada kerabat penerima isteri, saudara perempuan beserta suami dan kerabatnya. 

Amanguda itu tergolong dongan tubu, kerabat semarga. Secara generasi statusnya lebih tinggi. Karena itu aku harus senantiasa ramah kepadanya.

Norma itu menurut nenekku adalah hukum relasi dengan setiap orang. Baik dia orang Batak maupun Non-Batak. Itulah rumus relasi sosial orang Batak. "Kau ingat itu, jangan pernah lupa." Katanya, berulang kali.

Jika aku berhubungan dengan orang Batak yang belum kukenal, maka aku harus beritahu margaku, lalu menanyakan marganya. Sekanjutnya tarombo, silsilah akan dirunut sampai ketemu relasi sosial. Apakah untukku dia terbilang hulahula, dongan tubu, atau boru.  Dengan begitu, aku tahu bagaimana harus bersikap terhadapnya.

Dengan orang Non-Batak, semisal etnis-etnis lain, rumus sikap relasionalnya lebih sederhana.  Ajaran nenekku begini: hormati seperti kau hormat kepada pamanmu, ramah seperti kau ramah kepada saudaramu, sabar seperti kau bersabar kepada saudara perempuanmu.

Demikianlah nenek mengajariku tiga norma relasi sosial untuk melakoni seni kehidupan sosial: hormat,sabar, kasih.  

Itulah norma-norma relasi sosial Batak yang luhur dan indah.  Tapi, sejujurnya, sungguh berat dijalankan. Terutama oleh anak kecil sepertiku. 

Bagiku, di masa kecil,  makian dan tinju adalah cara terbaik menghentikan anak lain yang menurutku kurangajar. Tanpa mempersoalkan apakah dia hulahula, dongan tubu, atau boru.  "Hajar dulu, urusan belakangan!"

Tapi kelak di kemudian hari, sejalan pertambahan usia dan seiring meluasnya pergaulan dan jelajah geografis, pada akhirnya tiga norma relasi sosial itulah yang kutemukan tertanam dalam diriku. Norma-norma itulah yang memanduku dalam relasi sosial di rantau orang, di segala rupa ajang sosial. Dengan itulah aku selamat di jalan hidupku.

***

Begitulah nenekku, ibu sosiologisku,  menjadi guru pertamaku.  Bukan guru baca-tulis-hitung.  Menurut nenekku, itu tugas guru sekolah.  Ada sendiri bisoloitnya, maksudnya besluit, sertifikat kompetensi.  Katanya, "Itulah sebabnya guru digaji mengajar."

Nenekku mengajariku seni menjalani kehidupan sosial.  Menurutnya, itulah tugas utama perempuan, entah dia ibu biologis atau pun ibu sosiologis. "Dasarnya," kata nenekku, "adalah Sakramen Perkawinan."

Entah disadarinya atau tidak, nenekku sudah membuat pembedaan tegas antara tanggungjawab ibu (keluarga) dan guru (sekolah).  Ibu menanamkan norma sosial sebagai rambu seni hidup, guru membekali literasi sebagai modal untuk mengisi hidup. Begitulah.(*)

*)Artikel ini kupersembahkan sebagai bentuk terimaksihku kepada nenek yang pergi menghadap Sang Pencipta di tahun 1996.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun