Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Mukjizat Serumpun Pisang Bikin Pusing

23 November 2020   14:06 Diperbarui: 24 November 2020   12:47 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil panen pisang batu (Dokpri Poltak)

Masih ingat tentang mukjizat tumbuhnya serumpun pisang di pekarangan rumah Poltak di Gang Sapi, Jakarta?  Untuk sekadar penyegaran, sudilah membaca ulang artikel "Mukjizat dalam Serumpun Pohon Pisang" (K, 3/7/2020).

Ringkasnya begini. Di pekarangan rumah Poltak tiba-tiba tumbuh serumpun pohon pisang.  Diduga penanamnya adalah musang yang buang air besar di situ.  

Poltak menafsir serumpun pohon pisang itu sebagai mukjizat, karunia dari Tuhan.  Merujuk eksistensialisme Karl Jaspers, dia berpikir, "Kalau Tuhan mau karunia mukjizatNya datang lewat perut seekor musang,  maka jadilah seperti itu."  Sudah ada preseden Nabi Yunus selamat lewat perut seekor ikan. Tuhan tiada terduga dan Maha Humoris.

Secara teknis, proses kehadiran serumpun pisang itu sana saja dengan Poltak kecil, dulu di kampung, buang hajat di sembarang semak sehabis makan markisa, lalu di situ tumbuhlah pohon markisa. Tapi secara teologis beda, karena campur tangan Tuhan sangat nyata dalam kasus musang menanam pisang di luar kehendak Poltak.  

Demikianlah, mukjizat serumpun pisang itu sudah memberikan manfaatnya.  Hijaunya mempercantik taman, naungannya memberi keteduhan dan kesejukan, daunnya untuk pembungkus jajan pasar bikinan isterinya.  Sebagian daun juga dibagi kepada tetangga. Sebab karunia harus dibagi kepada sesama.

Nah, kemarin Poltak memanen setandan pisang matang pohon dari rumpun pisang itu.  Di benaknya sudah muncul sejumlah rencana akan dijadikan apa nanti buah pisang itu.  Direbus, digoreng, dikolak, dibikin nagasari, buat pisang bolen, keik pisang, dan banyak lagi.  Isterinya pun sumringah menerima setandan pisang dari Poltak.

"Wah, ini ternyata pisang batu."  Poltak berteriak, sambil menunjukkan sebuah pisang matang yang telah dikupas kepada isterinya. Ya, benar-benar pisang batu, pisang klutuk, persis jambu klutuk atau jambu biji.

"Waduh, bisa dibikin apa itu?"  Isteri Poltak jadi bingung.  Sebab dia tidak punya pengalaman mengolah pisang batu.  Kecuali mengolahnya menjadi bahan rujak uleg atau rujak serut.  Tapi itu kalau pisangnya masih muda.  Ini kan pisangnya sudah tua, sebagian sudah matang.

Tak kalah akal, Poltak segera bertanya pada Mbah Google.  Lalu diberitahu  tentang "2,049 resep pisang batu enak dan sederhana ala rumahan".   "Najis," umpat Poltak, "Bagaimana mungkin ada 2,049 resep pisang batu yang semuanya enak dan sederhana." Ya, sudah, lupakan saja.

Poltak kini pusing memikirkan cara menikmati karunia pisang batu itu. Isterinya menyerahkan urusan itu sepenuhnya kepada Poltak. Dia menolak ikut pusing memikirkan pisang.  "Soal pisang, biarlah itu urusan laki-laki." Begitu prinsipnya.

Poltak duduk termenung dungu dihadapan setandan pisang batu.  Sepanjang usianya, inilah untuk pertama kalinya dia pusing karena pisang.

Sambil berpikir keras, Poltak mengamati pisang itu dengan cermat. Ternyata sekitar 70 persen buahnya gagal berkembang, tetap kecil. Hanya 30 persen yang menjadi buah berisi.  

"Tuhan Maha Tahu," bathin Poltak.  "Dengan hanya 30 persen buah sukses saja saya sudah pusing tujuh keliling.  Bagaimana kalau jadinya 100 persen?" Tuhan tahu seberapa banyak karunia yang diperlukan umatNya.  Juga tahu seberapa besar kemampuan umatNya memanfaatkan karuniaNya. Tidak baik jika karunia itu berlebihan.

"Itu pula alasannya," pikir Poltak, "Tuhan tak mengirimkan sekilo biji kopi luwak di pekarangan, lewat perut seekor musang." Sebab biaya utilisasi karunia mukjizat seperti itu terlalu mahal untuk Poltak.  Harus beli mesin peracik kopi, bah, uang dari mana.

"Ah, itu terlalu religius," Poltak mengoreksi pikirannya.  "Ini cuma cermin kejujuran tanah Jakarta," pikirnya.  Ya, tanah itu jujur, tak pernah bohong.  Kalau tanah jelek mutunya, miskin hara, struktur keras, maka hasil taninya juga jelek.   Sebaliknya kalau tanah subur, gembur, maka hasilnya pasti bagus.  

Tanah Jakarta memang jelek untuk pertanian.  Tanah Jakarta hanya cocok untuk menanam pilar bangunan pencakar langit.  Lapisan atasnya dangkal, air tanahnya jauh di bawah, struktur tanahnya keras dan mampat.  

Serumpun pohon pisang itu telah diperlakukan Poltak sebagai cukilan pertanian alami di Jakarta. Dia biarkan alam, lewat seekor musang, yang menanam pisang di pekerangannya.  Dia tak mengolah tanah pekarangannya. Dibiarkannya pisang tumbuh alami, tanpa pupuk, tanpa disiangi.  Pisang menyerap hara tanah, tanah memberi apa yang dimilikinya. 

Hasil tani alami itu adalah setandan pisang batu yang buahnya 70 persen gagal berkembang.   Begitulah, tanah Jakarta tidak bohong. Tak perduli apa pun kata Pak Gubernur.

"Sudah ada ide?" Pertanyaan isterinya mengejutkan Poltak. "Jangan berfilsafat. Filsafat tidak akan menghasilkan resep olahan pisang batu."

"Betapa berat konsekuensi sebuah mukjizat," pikir Poltak.  Dia heran kenapa begitu banyak orang berdoa minta mukjizat kepada Tuhan.  Apakah mereka tak tahu betapa berat konsekuensinya? Contohnya karunia mukjizat pisang batu itu.  

Sekarang dia pusing mencari cara terbaik untuk memanfaatkan buahnya.  Harus dimanfaatkan.  Jangan sampai tidak.  Dosa besar jika tidak memanfaatkan karunia mukjizat dengan alasan tidak tahu caranya.

"Tuhan sudah mengaruniakan akal-budi untukku. Tentu maksudnya agar saya bisa memikirkan jalan keluar dari berbagai persoalan.  Termasuk soal cara memanfaatkan buah pisang batu."  Poltak menyemangati dirinya untuk keluar dari kepusingan.

Ya, sia-sialah karunia akal-budi dari Tuhan, jika untuk menemukan solusi pengolahan buah pisang batu saja tidak bisa.  Masa  sih otak manusia kalah oleh pisang? (*)
 
   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun