Secara adat, risikonya tidak elok. Jika waktunya tiba, kelak kakek Poltak belum bisa disebut sarimatua. Kematian yang diidamkan, meninggal ketika semua anak sudah berkeluarga.
Bagi Parandum, generasi muda Batak, hamajouon, kemajuanlah yang utama. Pendidikan adalah kuncinya. Â Semakin tinggi pendidikan, semakin besar kesempatan mencapai kemajuan. "Kalau aku bisa menjadi guru SMA, mengapa harus jadi guru SD." Itu prinsip Parandum.
Jalan buntu. Kakek Poltak mengunci diri pada nilai-nilai adat keutamaan Batak. Parandum membuka diri pada nilai-nilai dunia modern. Nenek Poltak, berdiri di tengah, menghormati suaminya sekaligus mengasihi anaknya. Poltak, sekali lagi, Â berdiri di luar garis. Penonton, pembelajar.
Situasi tegang. Semua membisu. Lengang. Bunyi jangkrik malam di luar seakan tertahan. Alam menenggang rasa.
Sangat perlahan, Parandum bangkit dari duduknya, lalu perlahan melangkah ke arah pintu dapur. Â Kakek dan nenek Poltak diam terpekur. Begitu pun Poltak. Â
"Lebih baik aku mati saja!" Tiba-tiba terdengar teriakan Parandum, memecah hening malam di Panatapan. Bersamaan itu terdengar debam tubuh terempas di halaman samping rumah, debum drum tumbang, dan decur air tumpah. Â
Ada enam pasang mata di dapur tapi tak satu pun melihat aksi Parandum tadi. Dia telah melompat dari bibir pintu dapur ke dalam drum berisi air. Lalu terbanting pada posisi telungkup ke tanah. Aksi bunuh diri baru saja terjadi.
Poltak sontak berdiri dan melompat lari ke pintu dapur. Â "Ompung, amanguda!" teriaknya histeris. Dilihatnya Parandum telungkup basah kuyup di atas tanah pekarangan. Â Drum air tampungan hujan terguling di sampingnya. Air menggenang di sekelilingnya. Â
Kakek Poltak bergeming. Nenek Poltak memburu turun ke pekarangan, menangis, memeluk Parandum, anak yang dikasihinya. Poltak menegakkan kembali drum air.
"Kalau tidak kuliah, aku mati saja!" jerit Parandum. Seisi Panatapan pasti mendengar. Tapi semua diam di rumah masing-masing. Tak boleh mencampuri urusan rumahtangga orang lain.
"Aku yang putuskan sekarang!" Nenek Poltak berteriak dalam tangisnya, sambil memapah Parandum naik ke dalam rumah. "Aku yang memutuskan." Â Marah dia menatap tajam kakek Poltak, "Anak kita Parandum kuliah! Aku yang tanggungjawab!"