Anak-anak kerbau Si Binsar dan Si Bistok itu memang sedang memasuki umur cabe-cabean. Susah diatur, maunya kabur. Â
"Mana bisa begitu!" Binsar membantah.
"Sudah! Diam kalian, bodat! Â Pokoknya kerbau kalian sudah manunda tadi. Harus bayar denda saat panen nanti."
Ama Ringkot menjelaskan konsekuensi yang harus ditanggung akibat kerbau manunda, masuk ke lahan pertanian dan memakan tanaman di situ. Â
Itu artinya ompung Si Poltak, bapak Si Binsar dan bapak Si Bistok harus membayar tunda, denda, berupa gabah saat panen mendatang. Jumlahnya, pasti sudah disepakati tadi di Namaloha.
"Habislah kalian nanti." Ama Ringkot menyeringai puas, sebelum balik badan meninggalkan Poltak, Binsar dan Bistok.Â
Ketiga anak gembala malang itu sekarang terduduk lemas di punggung bukit Pardolok. Lesu membayangkan apa yang akan terjadi.
Sore itu, setelah semua kerbau warga masuk kandang, warga Panatapan dikejutkan teriakan dan raungan tiga anak gembala.
"Amangoi amang!" Tiga jeritan kesakitan yang sama dari tiga anak gembala.
"Kau kusuruh menjaga kerbau! Bukan berburu puyuh!" Kakek Poltak meradang. Batahi, cambuk rotan untuk kerbau, disabetkan berulang kali ke pantat kecil Poltak.
Tak kuat menahan rasa sakit, Poltak melarikan diri berurai air mata ke puncak bukit Partalinsiran, di utara kampung. Â Dia tahu, kakeknya pasti tidak kuat mengejarnya ke situ. Bukit itu adalah tempat suaka bagi anak-anak Panatapan.