Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Candu Viralitas, Kekang Moral, dan Warganet Dangkal

17 September 2020   08:07 Diperbarui: 17 September 2020   12:57 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (martechadvisor.com)

Viralitas itu candu.  Sekali seseorang telah menikmatinya, maka selanjutnya  dia akan terdorong untuk  menikmatinya lagi dan lagi.  

Hal itu terjadi karena viralitas, di era "Semesta Internet" (Internet of Things), ini bisa membuat seseorang  sohor dan tajir.  Sohor karena dikenal banyak warganet.  Tajir karena mendapat imbalan dari pemasang iklan yang gemar "memancing di air keruh, berlayar meniti arus."  

Tersebab viralitas itu adalah candu  maka apapun akan dikorbankan pecandu untuk memperolehnya. Termasuk mengorbankan benteng terakhir harga diri:  moral.

Moral itu sesederhana pemilahan antara yang baik dan buruk seturut norma umum.  Entah itu di aras cara, kebiasaan, tatalaku ataupun adat.  

Setiap individu telah diajari soal moral sejak bayi. Istilahnya sosialisasi berujung internalisasi, mendarah-daging.  Entah itu dialami di lingkar keluarga inti, kemudian kelompok sepermainan, lalu organisasi sosial, komunitas dan masyarakat.

Ini satu contoh sederhana:  orang muda lebih dulu menyapa orang tua.  Itu kebiasaan baik, bermoral. Demikian disosialisasikan sejak kecil sehingga mendarah daging.  Karena itu kemudian ada kebiasaan murid menyapa guru, umat menyapa imam, hamba menyapa tuan, dan bawahan menyapa atasan.  

Contoh sebaliknya: anak menganiaya orang tua.  Itu melanggar tatalaku atau bahkan mungkin adat. Buruk, amoral. Itu pernah terjadi dan viral di media sosial.  Terkenal tapi dihujat massa. Puaskah?

Pernah pula ada sebuah olokan (prank) di YouTube: seorang YouTuber memberikan paket "makanan sampah" kepada seseorang.  Viral tapi amoral sehingga dihujat massa.  Si Tukang Olok kemudian minta maaf, tapi bo'ong.  Polisi lalu menciduknya sambil berkata, "Tidak akan ditahan, tapi bo'ong."  

Lagi, ada seorang Tukang Kotbah pendusta yang viral lantaran mengaku anak Kardinal Gereja Katolik. Jika benar demikian, maka Kardinal tersebut telah punya isteri gelap yang melahirkannya. Itu tergolong penistaan, amoral.  Tapi Si Pendusta itu tampaknya amat menikmati viralitas amoralitasnya.  

Begitulah. Di era Semesta Internet ini, dalam ragam format dan berbagai kadar,  setiap saat selalu saja ada ujaran dan tindakan amoral seseorang yang diviralkan atau menjadi viral.  

Hal itu menerbitkan suatu pertanyaan:  mengapa seseorang warganet bisa kehilangan moralitas, sehingga bisa menjadi aktor viralisasi untuk hal-hal yang amoral?

***
Tentu pertanyaan tersebut dapat dijawab dari berbagai sudut pandang, atau berbagai disiplin sains. Sejumlah variabel, konsep dan teori penjelas dapat diajukan.  Pastilah butuh tulisan panjang untuk membeber semua jawaban itu.

Di sini, dengan mengambil sudut pandang etika, saya hanya akan memajukan satu variabel atau faktor saja untuk penjelasan yaitu "kekang moral" (moral restraint).  

Istilah kekang moral pertama dipopulerkan Thomas Malthus (1797), sebagai solusi untuk menekan laju eksponensial pertumbuhan penduduk. Agar berimbang dengan ketersediaan pangan yang tumbuh secara linear.

Istilah "kekang moral"  itu secara spesifik diartikan Malthus sebagai sikap dan tindakan individu untuk berpuasa seks dan menunda perkawinan sebagai langkah pengendalian pertumbuhan penduduk.

Pada intinya, kemudian,  kekang moral diartikan sebagai kesadaran individu sendiri, tanpa paksaan atau arahan pihak lain, untuk berperilaku (bersikap, berpikir, bertindak) selaras norma yang berlaku umum (cara, kebiasaan, tatalaku, adat).  

Sebaliknya, jika perilaku individu menabrak atau bertentangan dengan norma umum, maka dia termasuk dalam bilangan kaum tanpa kekang moralnya. Baginya, tak masalah bila perilakunya menabrak norma, sejauh itu memenuhi atau memuaskan hasrat atau kepentingan pribadinya.

Sampai di sini, semoga sudah ada titik terang atas pertanyaan mengapa seseorang warganet  tega memviralkan suatu konten amoral lewat media sosial. Hal itu hanya bisa dilakukan seseorang yang tak punya kekang moral.  Tujuannya semata pemenuhan keinginan tubuh:  hasrat sohor dan manfaat finansial.    

***
"Semesta Internet" adalah karunia yang direspon secara negatif oleh "warganet dangkal", warganet tanpa kekang moral yang memadai atau bahkan tak punya sama sekali.  

Jika suatu karunia direspon secara negatif, maka dia dalam sekejap dapat menghasilkan manfaat besar yang sebenarnya palsu dan bersifat seketika bagi dirinya, tapi kemudian berujung bencana bagi dirinya dan orang lain.

Kasus-kasus berikut telah terjadi karena warganet tak punya kekang moral:  seorang simpatisan Gubernur Jakarta Anies mengatai Walikota Surabaya Risma sebagai "si kodok"; seorang isteri tentara mencela Wiranto (waktu itu Menkopolkam) yang ditikam seseorang yang terindikasi radikal; sejumlah warganet menuduh Presiden Jokowi terindikasi PKI.

Juga kasus-kasus ini:  sejumlah warganet mengumbar isu paha  Cawalkot Tangsel Rahayu Saraswati; sejumlah warganet mengatai Anies sebagai gubernur terdungu se-Indonesia; seorang pengkotbah menyuruh periksa jenis kelamin Presiden Jokowi.

Dengan segala maaf, saya harus katakan, ragam perlilaku warganet dangkal itu, yang mengeksploitasi isu-isu SARA atau yang bermuatan risak dan nista,  adalah laku "masturbasi virtual" di tengah khalayak virtual.  

Dengan melakukan itu, lalu viral, mereka mencapai klimaks kepuasan badaniahnya:  hasrat rendah untuk sohor tercapai, imbalan finansial (untuk sebagian) juga teraih.

Saya tak hendak mengatakan bahwa semua hal yang viral itu buruk.  Tidak.  Tapi jelas bahwa, sejalan kecenderungan manusia untuk jatuh ke dalam dosa, hal-hal buruk atau amoral lebih mudah dan cepat viral ketimbang hal-hal baik.   

Sekadar contoh: video singkat persetubuhan siswa SMA lebih mudah untuk viral ketimbang video keberhasilan siswa SMA meraih medali emas Olimpiade Fisika.

Saya tak juga tak hendak mengajarkan cara menghindari godaan untuk menjadi warganet dangkal, yang kecanduan viralitas isu amoral. Tidak. Saya hanya ingin mengajukan sebuah pertanyaan klasik, yang telah disampaikan Thomas Malthus lebih dari 200 tahun lalu:  Apakah aku memiliki kekang moral?

Jawaban atas pertanyaan itu semakin relevan di era "Semesta Internet" ini.   Bila kita tak memiliki cukup kekang moral, niscaya kita akan tenggelam dalam banjir viralitas isu-isu amoral. 

Bolehlah lupa, sejak di rahim Sang Bunda, manusia sudah dikaruniaNya akal budi. (*)
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun