Tapi saya menghargai Rocky Gerung pada posisinya sebagai "pengritik mandiri". Â Maksud saya, pada posisinya sebagai persona yang otonom, independen, Â tidak terikat pada sebuah institusi atau organisasi. Â Â
Pada posisinya sebagai persona otonom, saya memahami kritiknya sebagai seuatu yang disampaikan demi "kepentingan atau kemaslahatan masyarakat." Â Bukan untuk kepentingan institusi atau lembaga tertentu.
Seorang tukang kritik menurut saya memiliki nilai "kenabian" ketika dia mengambil posisi sebagai persona otonom. Persona yang independen.
Begitu seorang pengritik menggabungkan diri kepada sebuah institusi atau organisasi, maka dia telah menggadaikan otonomi atau independensinya kepada kepentingan institusi atau organisasi. Â
Dengan kata lain, jika seorang pengritik otonom ikut membentuk sebuah institusi/organisasi yang menghimpun para tukang kritik, dan bergabung ke dalamnya, maka dia sebenarnya membuat "peti mati" untuk dirinya.
Menurut saya, itulah yang kini terjadi dengan Rocky Gerung. Â Institusi atau organisasi KAMI adalah "peti mati" baginya sebagai tukang kritik otonom yang independen. Â Ironisnya, dia ikut membuat "peti mati" itu.
Bagiku, Rocky Gerung telah "mati" dan terbujur di "peti mati" KAMI. Â Apapun yang diujarkannya dari dalam "peti mati" itu, tak akan bisa saya pahamai lagi sebagai "kepentingan masyarakat", melainkan kepentingan individu-individu yang tergabung dalam KAMI.Â
Rocky Gerung, menurutku, kini telah kehilangan otentisitas dan identitasnya.
Dalam pemahamanku, Rocky Gerung tak lagi berpihak pada kepentingan masyarakat Indonesia, tapi pada kepentingan-kepentingan individu yang disembunyikan di balik dalih "aksi menyelematkan Indonesia".
***
Sekarang Poltak bisa memahami penjelasan pamannya dulu, "Kalau kakekmu sudah mati, dia kan tidak bisa bikin peti mati untuk dirinya." Â
Benar, hanya orang hidup yang dapat menyiapkan peti mati untuk dirinya sendiri. Jika seseorang sudah mati, maka orang lain (yang masih hidup) yang akan menyiapkan itu untuknya.