Peti mati di kolong rumah adat Batak milik kakeknya itu selalu menimbulkan tanya besar di hati Poltak kecil, dulu, awal 1960-an. Â
"Itu peti mati untuk kakekmu," jawab pamannya ketika dia akhirnya menanyakan soal itu.
"Peti mati untuk kakek? Â Kan, kakek masih hidup?" Â Tanya Poltak lagi terheran-heran. Tak masuk di otak ciliknya, ada peti mati untuk orang hidup.
"Kalau kakekmu sudah mati, dia kan tidak bisa bikin peti mati untuk dirinya sendiri," jawab pamannya sambil melotot. Â
"Apa katamulah," pikir Poltak kecil, "aku tak paham itu." Â Dia menatap pamannya dengan sorot mata yang pasti terlihat dungu.
***
Dungu. Â Itu kosakata yang persediaannya berlimpah di kepala Rocky Gerung. Di mana pun dia bicara, kosakata "dungu" pasti akan keluar sebagai bumbu penyedap. Â Â
Ujaran kritik Rocky Gerung tanpa kosakata "dungu" itu ibarat sayur lodeh tanpa "garam". Â Cemplang, anyep, tanpa mutu. Â
Saya termasuk orang yang menghargai pilihan Rocky Gerung sebagai pengkritik ulung Presiden (Jokowi).Â
Tapi itu tidak berarti saya selalu setuju pada kritik-kritiknya. Â Sebab saya bukan orang yang bisa menerima kritik tanpa dasar fakta atau data empirik yang valid. Â Â
Saya suka, misalnya, Â pada kritik-kritik Noam Chomsky. Â Bukan karena saya selalu setuju pada kritiknya. Â Tapi terutama karena dia selalu mendasarkan kritiknya pada data empirik. Â
Rocky Gerung sepanjang pengamatan saya tidak seperti Noam Chomsky. Â Rocky lebih mengandalkan kekuatan logika. Sebagai pendekatan khas pengikut mashab rasionalisme, itu sah saja.