Saya marah, teramat marah. Begitu marahnya sehingga saya harus melanggar niat puasa menulis di Kompasiana.
Pak Tjiptadinata, biasa saya sapa Pak Tjip, sedang didera rasa salah mendalam. Lantaran seorang "mantan" Kompasianer, mewakili "mantan-mantan" lain, Â melampiaskan rasa kecewanya kepada Pak Tjip.
Dia atau mereka, para "mantan" Kompasianer itu kecewa lantaran Pak Tjip mengakui, "Jauh lebih menghargai anugerah Kompasianer of the Year 2014" ketimbang royalti bukunya." Pangkal soalnya adalah pengakuan tulus Pak Tjip itu.
Di balik rasa kecewa itu rupanya tersembunyi rasa marah kepada Admin K. Admin K Millenial sekarang disinyalir lebih berpihak kepada Kompasianer Millenial. Â Admin K dicurigai, secara perlahan tapi pasti, sedang menyingkirkan para "Kompasianer Kolonial".Â
Itu sebabnya mereka mengambil inisiatif menalak K. Pilihan yang mereka nilai lebih terhormat ketimbang nanti disimpan Admin K di "Panti Jompo K."
Mereka kecewa kepada Admin K. Â Tapi mengapa harus melampiaskannya kepada Pak Tjip. Â Apa salahnya Pak Tjip membagikan rasa bangganya untuk menyemangati Kompasianer Millenial?Â
Mengapa pula menuntut Pak Tjip harus berbela-rasa khusus kepada para "mantan" Kompasianer? Pak Tjip itu milik semua Kompasianer. Dia melayani semua Kompasianer dengan "kisah-kisah kakek" tanpa pandang bulu.
Saya juga ada pada frekuensi rasa kecewa yang sama dengan para "mantan" Kompasianer itu. Tapi saya menolak untuk melampiaskannya kepada sesama Kompasianer. Â Tidak juga kepada Kompasianer Millenial yang dituduh sebagai "anak emas Admin K." Â Sikap dan tindakan semacam itu tidak etis.Â
Saya memilih untuk menyampaikan "teguran halus" lewat artikel di Kompasiana. Kendati saya ragu apakah Admin K Milenial itu punya cukup hati untuk iso rumongso.
Kemarahan saya menggelegak karena terbayang Pak Tjip tidak bisa tidur semalaman memikirkan pernyataan kecewa para "mantan" Kompasianer itu. Â Dirinya didera rasa bersalah. Karena tanpa sengaja tulisannya ternyata telah melukai perasaan "orang-orang yang dikasihinya", para "mantan" itu. Â
Saya pernah punya kakek buyut dan kakek. Saya tahu bahwa rasa bersalah di usia senja adalah derita tiada tara. Â Bisa dibayangkan betapa kecewanya, juga mungkin marah, Pak Tjip pada dirinya. Karena di usia tuanya dia menemukan dirinya masih menyakiti hati sesama. Satu hal yang saya tahu betul sangat dihindari Pak Tjip.