Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Surat Rahasia Covid-19 untuk Presiden Jokowi

27 Mei 2020   16:41 Diperbarui: 27 Mei 2020   19:44 1208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persebaran paparan Covid-19 di Indonesia tanggal 27 Mei 2020 (Foto: Screenshot kompas.com)

DISCLAIMER.  Surat ini aku tulis sebagai surat rahasia khusus kepada Presiden Joko Widodo. Pembocoran surat ini ke ruang publik, berikut akibat-akibat positif yang mungkin ditimbulkannya, bukan menjadi tanggungjawabku. Aku, Covid-19.
 

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang terhormat, ijinkanlah aku memanggil dengan nama Pak Jokowi saja, seolah aku ini salah seorang warga Bapak.

Faktanya aku memang bukan warga Indonesia. Aku ini warga dunia. Manusia menamaiku virus corona. Pada akte kelahiranku ditulis resmi Coronavirus Desease 2019, disingkat Covid-19.  Angka 2019 itu tahun kelahiranku.

Aku yakin  diriku jauh lebih terkenal dibanding Pak Jokowi.  Seluruh warga dunia mengenalku. Karena itu aku tidak merasa perlu memperkenalkan diri. Keterlaluan kalau Pak Jokowi  tak kenal aku.

Kata pepatah lama, "tak kenal maka tak sayang".  Aku tidak masuk dalam bilangan itu. Untukku berlaku pepatah "karena kenal maka benci."  

Ya, aku Covid-19, paling dibenci oleh manusia seluruh muka bumi.  Boleh dibilang, aku kini musuh Nomor 1 bagi 7.8 miliar warga dunia.  

Mengapa?  Karena aku penjahat paling keji sepanjang sejarah manusia.  Per hari ini, 27 Mei 2020, ketika menulis surat ini, aku sudah menyakiti sekitar 5.7 juta jiwa di seluruh dunia dan berhasil membunuh sekitar 352 ribu jiwa di antaranya.  

Di Indonesia, negara yang Pak Jokowi pimpin, sampai hari ini aku sudah menyakiti sekitar 24,000 jiwa dan membunuh sekitar 1,500 jiwa.

Bayangkan betapa kejinya aku ini. Sambil menyakiti dan membunuhi rakyat Indonesia, memeras kering air mata duka mereka, aku masih sempat-sempatnya menulis surat kepada presidennya.

***

Aku menyurati Pak Jokowi untuk berterimakasih. Karena satu alasan ini: dibanding di negera-negara lain di ASEAN, aku kini lebih nyaman tinggal di Indonesia.  

Aku tidak begitu suka lagi hidup di negara-negara Singapura, Malaysia, Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam, Brunei dan Filipina. Kini semakin sulit bagiku cari korban di situ. Jumlah orang yang berhasil aku sakiti dan bunuh per harinya semakin sedikit saja di sana.

Warga di negara-negara itu terlalu patuh kepada pemerintahnya.  Diajak lock-down, mereka manut.  Diminta social and physical distancing, mereka manut. Dihimbau untuk selalu pakai masker dan cuci tangan, mereka manut.   Disuruh kerja, ibadah, dan belajar di rumah, mereka manut.

Aku benci tinggal di negara yang rakyatnya manut pada pemerintahnya.  Di negara-negara seperti itu, sangat sulit untukku menyakiti apalagi membunuh manusia.    

Eksistensiku sebagai pembawa petaka semakin redup di sana.  Lama-lama situasinya malahan berbalik. Aku sendiri yang kini tersakiti dan terbunuh di sana.

Nah, di Indonesia tidak seperti itu.  Di negara ini sebagian rakyatnya tidak patuh pada pemerintah.  

Aku suka banget keadaan itu.  Semakin banyak rakyat yang tidak patuh, semakin baik untuk kehidupan dan profesiku sebagai penganiaya dan pembunuh manusia.

Tambahan, Pak Jokowi, di Indonesia  banyak pula penunggang Covid-19. Mereka adalah para politisi, pejabat pemerintah, tokoh agama, dan ilmuwan yang mengklaim diri pejuang rakyat.  

Di mataku, para penunggang itu semacam virus jahat juga.  Mereka sehaluan denganku. Karena itu semakin banyak penunggang, semakin baik bagiku, karena aku semakin kuat.    

Sebenarnya aku rada heran juga pada para penunggang ini.  Mengaku pembela rakyat tapi, dari hasil nguping obrolannya, tak perduli derita rakyat akibat ulahku.  Mereka hanya perduli kepentingan politik, ekonomi, dan sosialnya sendiri.  

Kalau dipikir-pikir, para penunggang ini sebenarnya raja tega. Mengaku anak bangsa tapi kok bisa-bisanya menangguk cebong di air keruh, mengambil kesempatan dalam kesempitan, persis kampret bersarang di retakan dinding buah gempa.  

Tapi apa pula perduliku.  Aku bukanlah sejenis Mesias tapi semacam malaikat maut.  Jadi selama mereka mendukungku untuk menyakiti dan membunuhi warga Indonesia, ya, aku senang-senang saja, sih.  

Pada intinya Pak Jokowi, aku mau bilang, di negara Indonesia ini banyak sekali kaki-tanganku. Mereka adalah warga yang abai pada protokol pencegahan Covid-19.  Ditambah para penunggang Covid-19 yang, langsung atau tidak,  ngomporin warga agar mbalelo pada pemerintah.

Berkat mereka, aku kini bisa berada di setiap pelosok di seluruh penjuru negeri ini.  Ada di kota dan desa, di gunung dan di pantai.  

Aku kini ada di setiap relung terkecil sarana publik dan privat.  Di terminal, bandara, pelabuhan, stasiun, dan halte. Juga ada di pesawat, kapal laut, kereta api, MRT, LRT, bus umum, dan angkot. Serta di pasar, mal, taman kota, rumah sakit, hotel, dan kantor-kantor.  

Dari tempat-tempat itulah, lewat warga abai dan mbalelo yang dikompori para penunggang itu, aku siap 24 jam sehari menyakiti dan membunuh warga Indonesia.  

Cara kerjaku terkenal elegan. Sebelum menyakiti atau pada akhirnya membunuhnya, aku selalu mencium korbanku di bibirnya, hidungnya, atau matanya terlebih dahulu. Sebagai penjahat sadis, kurang romantis apa aku ini sebenarnya.

***

Aku yakin, dalam kelelahan lahir dan bathin, Pak Jokowi bertanya heran, "Mengapa warga terpapar Covid-19 masih meningkat di Indonesia, padahal upaya penanggulangannya sudah pol-polan. Langkah PSBB sudah diambil. Langkah bergiat di rumah saja sudah dilakukan.  Mudik sudah dilarang. Protokol jarak sosial dan fisik sudah jalankan.  Masker dan cuci tangan sudah dibiasakan.  Lalu di mana letak salahnya?"

Kalau pertanyaan itu diajukan padaku, aku tidak akan jawab. Itu rahasia perusahaanku, Pak.

Tapi kalau Pak Jokowi bertanya faktor apa yang membuatku betah dan produktif di negeri ini, akan ku jawab dengan senang hati.

Kemiskinan sosial-budaya di negeri ini, itulah faktor penahanku di sini.  Indikasinya adalah kadar solidaritas sosial yang rendah.  

Pak Jokowi perlu tahu,  setiap warga atau kelompok warga di negeri ini ogah bertanggungjawab pada warga atau kelompok warga lain.  Prinsip yang berlaku: "yang utama kepentinganku atau kelompokku terpenuhi, persetan dengan orang lain."  

Sebelum ke Indonesia, seseorang sempat membisikiku, bahwa bangsa Indonesia itu berjiwa  gotongroyong. Ini sempat menciutkan nyaliku.  Sangat sulit menyakiti apalagi membunuh warga yang dijiwai nilai gotongroyong.  

Tapi beruntunglah aku.  Gotongroyong di Indonesia ternyata tinggal omong kosong. Tidak ada itu gotongroyong. Karena itu jelas tak ada pula solidaritas sosial.  Itu membuatku bisa merajalela di negeri ini.

Pak Jokowi bisa tanyakan kepada para sosiolog dan antropolog mengapa solidaritas sosial begitu rendahnya di negeri ini.  Mereka tentu lebih cerdas dibanding aku.

Tapi dari pengalamanku mengacau-balaukan negeri ini sejak Februari 2020 lalu, aku mencatat dua hal yang mungkin jadi penyebabnya.  

Pertama adalah egoisme sosial yang teramat kentara di negeri ini.  Orang kaya memborong stok masker, sanitizer, dan vitamin C untuk dirinya sendiri. Pedagang menumpuk stok masker dan sanitizer, spekulasi, demi perolehan harga jual selangit.

Begitu pula sebagian kantor dan pabrik tetap dioperasikan pada waktu yang seharusnya sudah dihentikan, sesuai aturan PSBB, arena pengusaha ogah kehilangan uang.  

Lalu warga masih tetap kumpul-kumpul untuk urusan kelompok masing-masing. Tanpa memperdulikan jarak sosial dan fisik.  Jangan kata pakai masker dan rajin cuci tangan.

Terakhir ada arus "mudik liar", maksa, mbalelo pada pemerintah yang sudah tegas melarang mudik.  Bahkan pintu-pintu kota sudah dijaga ketat.  Tetap saja banyak lolos.

Egoisme sosial itu, sikap mengutamakan kepentingan diri dan kelompok, menjadi kuda tunggang untukku menyakiti banyak warga dan syukur-syukur bisa membunuh mereka. 

Interaksi sosial mereka, keabaian mereka pada protokol pencegagan Covid-19, adalah jalur perluasan seranganku.  

Lalu, kedua, fanatisme sosial yang membutakan hati dan menumpulkan otak. Ini yang paling aku suka. Karena eksistensiku diremehkan dengan ujaran semisal "Jangan takut pada Covid-19 tapi takutlah pada Tuhan Allahmu!" Atau "Aku sudah dibisiki Tuhan untuk menghentikan Covid-19!"  

Sejujurnya Pak Jokowi, andaikan aku mencium para pengujar itu tepat di bibir atau hidungnya maka 14 hari kemudian mereka sudah pasti terkapar di ruang isolasi Covid-19.  

Tapi kubiarkan mereka membangun fanatisme sosial seperti itu. Dengan begitu semakin banyak warga yang terpapar fanatisme lalu abai protokol pencegahan Covid-19.  

Orang-orang fanatik itu ngotot tetap kumpul-kumpul ibadah atau kegiatan sosial keagamaan lainnya.  Tak peduli di dalam tubuh salah seorang dari mereka, bahkan mungkin tokohnya, aku sebenarnya sudah bermarkas. Siap menyerang siapa saja orang di dekatnya.

Begitulah Pak Jokowi, egoisme sosial dan fanatisme sosial itu semacam virus sosial juga. Dua jenis virus ini, secara efisien dan efektif, telah membantuku menyakiti dan membunuh banyak warga Indonesia.  Ya, wajar sih sesama virus bersinergi.

Jadi, selama virus egoisme sosial dan fanatisme sosial itu masih menginfeksi banyak warga Indonesia, aku nyaman-nyaman saja berkarir di sini.  Kinerjaku tetap dan akan semakin moncer. Maka jayalah egoisme dan fanatisme.

***

Tapi ada satu soal yang membuatku mulai merasa terancam akhir-akhir ini. Itulah seruan Pak Jokowi untuk "hidup berdamai  dengan Covid-19 sampai vaksinnya  ditemukan".  

Terus terang, aku tidak suka damai. Maka ketika seorang mantan wapres nyeletuk "(kalau) virusnya enggak (mau), gimana", aku merasa dapat angin.  Heran, biasanya hanya virus yang paham jalan pikiran virus.  

Namun kemudian aku tahu ujaran mantan wapres itu cuma permainan kata-kata. Supaya terkesan eksis. Maka aku kembali was-was.

Hal yang paling aku takutkan adalah kalau-kalau Pak Jokowi akan menerapkan gaya kepemimpinan Jawa, "perintah halus kepemimpinan otoriter", khusus untuk menegakkan aturan dan disiplin sosial dalam "masa berdamai dengan Covid-19."

Gaya kepemimpinan masa "normal baru" seperti itu sangat membahayakan eksistensiku sebagai penjahat nomor wahid di dunia renik masa kini.  

Aku sangat paham, gaya kepemimpinan macam itu akan memaksa warga secara halus, tapi tak terbantahkan, untuk mengikuti segala aturan secara ketat untuk mencegah persebaran Covid-19.  

Tidak tebantahkan karena aku membaca indikasi pelibatan polisi dan tentara untuk memastikan perintah halus itu terlaksana secara efektif di lapangan. Jika ini terjadi maka habislah riwayatku di Indonesia.

Aku tahu para penunggang Covid-19 pasti akan berteriak lantang menentang Pak Jokowi.  Tapi aku tahu juga, sekali gaya pemimpinan "perintah halus kepemimpinan otoriter" diterapkan, Pak Jokowi tak akan surut sampai tercapai kondisi masyarakat yang sehat secara klinis (bebas Covid-19) dan sehat secara ekonomi sekaligus.

Pada akhirnya teriakan para penunggang Covid-19 hanya akan menjadi suara yang berseru-seru di padang gurun. Hanya kadal gurun yang akan mendengarnya tanpa paham artinya.

Tapi di tengah kecemasanku ini, aku masih berharap pada Jakarta sebagai "the last resort". Aku dengar gubernurnya bukan seorang tipe pemimpin melainkan pemimpi.  Jika itu benar, maka aku masih ada ruang bertahan di Jakarta. Dari kota ini mungkin aku bisa menyusun strategi serangan gelombang kedua.

Pak Jokowi, aku pikir surat ini sudah terlalu panjang.  Lagi pula, lama-lama isinya lebih terasa sebagai curhatan ketimbang ancaman. Padahal surat ini awalnya aku niatkan sebagai ancaman kemanusiaan.

Ijinkan aku menutup surat ini dengan harapan semoga Pak Jokowi tetap sehat walafiat.   Sebab musuh terbaik bagiku adalah manusia yang sehat.

Salam sehat selalu. Dari aku, Covid-19.

Jakarta, 27 Mei 2020.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun