Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pulau Samosir Itu Ciptaan Siapa

19 Februari 2020   21:52 Diperbarui: 27 Februari 2020   08:15 3161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pulau Samosir dipandang dari jauh (Foto: indonesia.go.id/pesona indonesia)

Siapakah yang menciptakan Pulau Samosir? Jika pertanyaan ini diajukan kepada anak kecil di Samosir maka jawabannya mungkin "Pulau Samosir ciptaan Tuhan."  

Tapi jika ditanyakan kepada warga sepuh maka jawabannya mungkin "Samosir diciptakan Siboru Deak Parujar".  Dalam mitologi Batak, Siboru Deak Parujar, Bataraguru, adalah dewi pencipta bumi yang dipersepsikan sebagai "Tano Batak".

Jawaban anak kecil dan warga sepuh tadi tidak salah tapi juga tidak benar. Tidak salah jika sudut pandangnya teologis. Teologi Kristen memang mengajarkan Tuhan sebagai pencipta "langit dan bumi".  Termasuk Samosir di situ, tentu saja. Tentang ini, karena soal iman, tidak perlulah didebat.

Begitupun mitologi Batak mengisahkan "tano" (bumi) diciptakan oleh Siboru Deak Parujar. Deak Parujar adalah dewi, puteri Dewa Bataraguru yang turun dari kayangan.  

Mitologi Batak itu mengajarkan faham "dunia datar tiga lapis".  Di lapis atas ada "banua ginjang", benua atas, kayangan tempat mukim para dewa-dewi "putih" (kekuatan pencipta).   Di lapis bawah ada "banua toru", benua bawah, dunia gelap tempat dewa-dewi "hitam" (kekuatan perusak). Di antara "banua ginjang" dan "banua toru" ada "banua tonga" (benua tengah).  

Benua tengah awalnya berupa samudra. Lalu turunlah dewi Deang Parujar dari benua atas, bergelantungan pada seutas benang tenun. Berbekal sekepal tanah pemberian Mulajadi Nabolon (Pencipta Agung), dewi itu kemudian menciptakan bumi (tanah) tempatnya berpijak.

Baiklah, itu mitologi.  Bukan untuk didebat, tapi  ditafsir maknanya.  

Jawaban-jawaban tadi menjadi tak benar karena pertanyaan di muka bukan soal teologi atau mitologi melainkan geografi. Secara geografis, pulau Samosir bukanlah bentukan alam melainkan ciptaan manusia.

Lantas manusia macam apa yang sebegitu hebatnya sehingga mampu menciptakan pulau Samosir?

Nanti saya akan beritahu di akhir. Sebelum ke situ, saya perlu ceritakan dulu seperti apa itu Pulau Samosir.  

Pulau di Tengah Pulau

Samosir adalah pulau di tengah pulau Sumatera. Dikelilingi hamparan perairan Danau Toba, pulau seluas 640 km2 ini menempati urutan kelima dunia untuk pulau terbesar di tengah danau. Danau Toba sendiri, 1,130 km2, adalah danau vulkanik terbesar di dunia.

Pulau Samosir sendiri memiliki dua danau kecil (pea) di punggungnya. Danau Silengge di Desa Hutatinggi-Pangururan, Danau Sidihoni (5 ha) di Desa Sabungannihuta-Ronggurnihuta, Danau Sipalionggang di Desa Ronggurnihuta dan Danau Aeknatonang (105 ha)di Desa Tanjungan Kecamatan Simanindo. Sidihoni dan Aeknatonang sudah menjadi destinasi wisata yang cukup diminati turis.

via wikipedia.org
via wikipedia.org
Enam dari sembilan kecamatan di Kabupaten Samosir berada di pulau Samosir. Di belahan barat pulau, dari utara ke selatan, ada Pangururan, Palipi dan Nainggolan. Di belahan timur ada Simanindo di utara dan Onanrunggu di selatannya.

Di tengah ada Kecamatan Ronggurnihuta. Dinamai seperti itu karena terletak di ketinggian punggung pulau Samosir.  Sehingga setiap kali ada ronggur (guntur), orang menganggapnya bersumber dari Ronggurnihuta.

Tiga kecamatan lainnya, yaitu Sianjurmulamula, Harian, dan Sitiotio berada di seberang danau, sebelah barat pulau Samosir. Sianjurmulamula, lembah permai di kaki Gunung Pusukbuhit, secara mitologis diyakini sebagai perkampungan pertama orang Batak.

Pulau Samosir sejatinya tergolong "gundul". Dalam arti luas tutupan vegetasi hutannya terbilang kecil. Luas hutan pulau Samosir hanya 108.5 km2, atau 17.2% dari luas pulau (630 km2). Selebihnya padang rumput, savana, dan areal pertanian. 

Sudah hutannya sempit, rawan pula dengan penebangan liar. Pelakunya penduduk  Samosir sendiri. Tak heran jika pulau ini kerap kerontang saat kemarau dan banjir saat penghujan.

Sejatinya, pulau Samosir adalah inti Danau Toba. Tidak afdol berkunjung ke Danau Toba jika tak mampir ke Samosir.  

Lazimnya pulau ini memang diposisikan sebagai objek pemandangan.  Indah dilihat dari titik mana saja di garis pantai luar Danau Toba. Entah itu dari Parapat, Balige, Muara, Baktiraja, Tele, Silalahi, Tongging, Haranggaol, ataupun Tigaras.

Padahal panorama alam paling permai di Danau Toba hanya bisa dinikmati jika berdiri di tengah pulau Samosir. Semisal berdiri di puncak bukit tertinggi di Danau Aeknatonang, maka bisa menikmati dua danau sekaligus, Aeknatonang dan perairan Danau Toba di sekeliling titik berdiri.

Lalu di daratan lingkar seberang Danau Toba, empat gunung bisa dinikmati sekaligus.  Ada Simanukmanuk (Toba) di timur, Pusukbuhit (Samosir) di barat, Sibuatan (Karo) di barat laut dan Singgalang serta Simarjarunjung (Simalungun) di utara.

Panorama Danau Sidihoni di Pulau Samosir (Foto: sahabatransel.com)
Panorama Danau Sidihoni di Pulau Samosir (Foto: sahabatransel.com)
Belum lagi bentang kawasan pertanian rakyat di sisi barat dan timur pulau yang menyajikan mosaik warna-warni alami.  Seturut jenis tanaman pertanian yang diusahakan penduduk pulau. 

Tanaman pertanian utama di Samosir adalah padi, jagung, kedelai,  bawang merah, dan jahe. Warna daun ragam tanaman itu saling berbeda dan berubah-ubah sepanjang usia tanam.

Di manakah gerangan di dunia ini bisa dinikmati panorama yang sepermai itu?  Hanya di Pulau Samosir.

Rantau Awal Orang Batak  

Tadi sudah disinggung perkampungan pertama orang Batak adalah Sianjurmulamula. Pimpinan komunitas pertama orang Batak ini digelari Siraja Batak. Mungkin aslinya berasal dari Thailand atau dari Tamil (?).  

Siraja Batak berputra tiga orang putra yaitu Tateabulan atau Ilontungon, Isumbaon dan Togalaut.  Orang Batak Toba berpangkal kepada Tateabulan dan Isumbaon.  Sebab Togalaut pergi ke daerah utara, tanah Aceh sekarang.    

Dari Sianjurmulamula  orang Batak keturunan Siraja Batak pada garis darah  Tateabulan dan Isumbaon,  menyebar ke desa naualu,  delapan penjuru angin.  

Generasi awal keturunan Tateabulan, disrbut kelompok Lontung, menyebar dan membuka perkampungan baru ke wilayah selatan Sianjurmulamula, hingga Sabulan, dan kemudian ke pulau Samosir.  Juga ke utara ke arah Limbong dan Sagala.

Sedangkan generasi awal keturunan Isumbaon, disebut kelompok  Sumba, menyebar dan membuka perkampungan baru ke wilayah Toba atau pesisir luar selatan Danau Toba, dari wilayah Bakkara, Muara, Balige, sampai Porsea. Juga ke bagian utara  pulau Samosir.

Sebenarnya pulau Samosir terbagi dua oleh suatu garis mental yang ditarik memotong pulau dari sekitar selatan Pangururan di barat sampai Tomok di timur.  Bagian utara adalah wilayah kelompok Sumba sedangkan bagian selatan menjadi wilayah Lontung.

Turunan Tateabulan atau Lontung yang menyebar ke Samosir untuk sebagian terdeteksi dari nama desa yang mengambil marga. Misalnya Nainggolan dan Sinaga di Nainggolan, Pakpahan dan Sitinjak di Onanrunggu, serta Ambarita di Simanindo.

Salah satu komunitas Batak yang menyebar ke Pulau Samosir adalah keturunan Si Raja Lontung, anak Sariburaja, generasi keempat orang Batak pada garis darah Tateabulan.  

Keturunan Si Raja Lontung mencakup tujuh marga induk orang Batak yaitu Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Siregar, dan Aritonang.  Ditambah dua "boru" yang dianggap "anak" (putra) yaitu Sihombing (Siboru Amakpandan) dan Simamora (Siboru Panggabean).  

Demikian asal-usulnya sehingga sekarang misalnya marga Sinaga berkampung di Palipi, Nainggolan di Nainggolan, Pandiangan di Onanrunggu.  Pada generasi-generasi berikutnya marga-marga kelompok Lontung itu kemudian menyebar ke wilayah luar Samosir.

Marga Sinaga perlu menjadi catatan khusus, karena tergolong marga besar etnik Batak. Bona Pasogit, Kampung Pertama, marga Sinaga adalah Desa Urat, Palipi (desa ini sekarang sudah dimekarkan).  Tokoh terpenting marga Sinaga adalah Ompu Paltiraja.  

Pada masa kependeta-rajaan Sisingamangaraja XI di wilayah Sumba (Isumbaon), yang berpusat di Bakkara, Ompu Paltiraja merupakan pendeta-raja untuk wilayah Lontung di Samosir.  

Tetapi waktu itu ada persaingan juga untuk menjadi pendeta raja bius Lontung dengan keturunan Ompu Tuan Situmorang yang berkampung di Harianboho, di kaki Pusukbuhit.  

Persaingan itu berdampak pada kekompakan orang Batak pada masa Perang Batak.   Kelompok Situmorang, diwakili Ompu Babiat (generasi ketiga Situmorang, ayah sastrawan Sitor Situmorang),  yang merupakan hulahula Sisingamangaraja XII mendukung perjuangan Sisingamangaraja XI melawan Belanda.   Sedangkan Ompu Paltiraja, kelompok boru untuk Sisingamangaraja XII,  bersikap netral.

Begitulah. Menurut sejarahnya, secara sosio-politis antara Samosir "dalam" (pulau) dan Samosir  "luar" (daratan seberang barat Danau Toba) pernah terjadi persaingan antara orang Batak.   Sekarang dua wilayah ini menyatu dalam Kabupaten Samosir yang beribu-kotakan Pangururan.

Pulau Ciptaan Belanda

Saatnya kini menjawab pertanyaan di awal. Siapakah yang menciptakan Pulau Samosir? Jawabnya:  "Pemerintah Kolonial Belanda!" Tepatnya tercipta karena penjajahanoleh Belanda atas Tanah Batak. Itulah yang sebenarnya.

Ceritanya begini.  Menjelang usainya Perang Batak (1878-1907), pada tahun-tahun Sisingamangaraja XII dalam "pelarian", Pemerintah Kolonial Belanda terus meluaskan kekuasaan politiknya atas wilayah Tanah Batak, khususnya wilayah lingkar Danau Toba.

Samosir waktu itu ditetapkan menjadi satu onder-afdeling, beribu-kotakan Pangururan, di bawah Afdeling Bataklanden.  

Rupanya penjajah Belanda merasa terganggu dengan tanah genting, semacam leher atau tangkai selebae 1.5 kilometer, yang menghubungkan daratan Samosir dengan Pusukbuhit.   

Danau Aeknatonang dengan latarbelakang Danau Toba dan punggung Bukit Barisan (Foto: gramho.com)
Danau Aeknatonang dengan latarbelakang Danau Toba dan punggung Bukit Barisan (Foto: gramho.com)
Leher itu mengganggu pergerakan tentara dan logistik Belanda dari selatan (Balige) ke utara (Silalahi, Tongging, dan Haranggaol).   Sebab kapal atau perahu tidak bisa langsung lewat.   Harus diseret lewat daratan di tanah genting itu.

Karena itu, di bawah komando langsung L.C. Welsink, Residen Tapanuli waktu itu, Pemerintah Kolonial Belanda menggali terusan di tanah genting itu. Penggalian terusan dilakukan dengan kerja rodi, mengerahkan penduduk sekitar, dengan pengawalan tentara Belanda.    

Penggalian terusan pada waktu itu mendapat tentangan dari penduduk Samosir. Sebab dalam kepercayaan mereka tanah genting itu adalah jalan lintas roh dari Pusukbuhit ke Samosir dan sebaliknya.  

Tanah itu juga diyakini sebagai tali penghubung atau pengikat Samosir  dengan Pusukbuhit.  Memenggal tanah itu bisa menyebabkan para roh marah dan membuat Samosir tenggelam.

Welsink melawan mitos lokal itu dengan secara sengaja selalu berada di tanah Samosir selama masa penggalian terusan. Pekerjaan penggalian dimulai tahun 1905 dan selesai tahun 1908.   Welsink membuktikan Samosir tidak tenggelam akibat penggalian terusan.  

Satu hal yang pasti, pada tahun 1908 itu hamparan Danau Toba bagian barat menjadi tersambung oleh terusan dari selatan ke utara, ke Tao Silalahi. Dengan demikian Samosir dikelilingi oleh air, sehingga secara geografis resmi menjadi sebuah pulau.  Itu sebabnya dikatakan Pulau Samosir itu diciptakan oleh Belanda.

Sebuah jembatan kemudian dibangun di atas terusan  untuk menghubungkan Pangururan dengan kawasan Pusukbuhit. Dari bawah jembatan, kapal bisa melintas mengangkut tentara dan logistik Belanda ke arah utara (Dairi dan Karo) atau sebaliknya ke selatan (Toba).

Orang Samosir menyenut terusan itu "Tano Ponggol" (Tanah Putus) tetapi nama sebenarnya adalah Terusan Wilhelmina. Nama ini diberikan ketika pada tahun 1913 terusan itu dipersembahkan sebagai hadiah ulang tahun kepada Ratu Wilhelmina yang sekaligus meresmikannya secara simbolik.

Saya sudah pernah menulis sejarah Terusan Wilhelmina ini tahun 2016 ("Orang Batak dan Terusan Wilhelmina", kompasiana.com, 23/10/2016).  Dalam tulisan itu saya sampaikan kondisi terusan yang sudah menyempit dan dangkal, sehingga tidak dapat dilayari kapal danau ukuran besar. 

Saya lalu menyarankan agar terusan itu direvitalisasi menjadi destinasi wisata dengan cara mengeruk dan memperlebarnya.  Lalu di bantarannya saya sarankan untuk dibangun taman dan sarana wisata, semacam "waterfront city".

Terusan Wilhelmina atau Tano Ponggol Pangururan. Sebelah kiri adalah kaki Gunung Pusukbuhit (Foto: tribunnews.com)
Terusan Wilhelmina atau Tano Ponggol Pangururan. Sebelah kiri adalah kaki Gunung Pusukbuhit (Foto: tribunnews.com)
Saya tidak bertepuk sebelah tangan.  Presiden Jokowi kemudian mencangkan Danau Toba sebagai Destinasi Wisata Prioritas.   Salah satu objek wisata yang akan dibangun, tepatnya direvitalisasi, adalah Terusan Wilhelmina atau Tano Ponggol, Pangururan.   

Terusan akan dikeruk dan diperlebar menjadi 80 meter.  Lalu di bantaran terusan akan dibangun sarana wisata dengan konsep "waterfront city".

Inti Wisata Danau Toba

Pada akhirnya, saya perlu ulangi, cara terbaik menikmati keindahan kawasan Danau Toba adalah berkunjung ke "inti"-nya yaitu ke Pulau Samosir.   

Dari tengah pulau itu, dengan menempatkan diri sebagai bagiannya, kita akan mengalami keindahan tiada tara dari kawasan Danau Toba. Karena kita ada di dalamnya maka kita adalah bagian dari keindahan itu.

Samosir, dalam pandangan saya, adalah "tanah terjanji" di dunia wisata.  Semua ada di sini: ekologi yang memikat, panorama yang permai, budaya Batak asli, geosite, dan lain-lain. 

Tinggal bagaimana memoles dan menyajikannya. Terutama memoles komunitas Batak Samosir agar bisa menempatkan diri sebagai "boru" (penerima berkah) yang melayani wisatawan sebagai "hulahula" (sumber berkah).

Jika judul tulisan ini mempertanyakan peran Tuhan dalam penciptaan bumi Samosir, maka bukan maksud saya untuk menafikan Tuhan sebagai "causa prima", awal dari segala yang ada.  Saya hanya ingin menekankan bahwa keadaan Samosir kini sebagai sebuah pulau adalah buah kerja manusia.

Denikian pula, keadaan Samosir ke depan sepenuhnya adalah hasil karya manusia Samosir sendiri.   Jika ingin Samosir menjadi "pusat wisata" Danau Toba, maka ikhtiarlah masyarakat Samosir.  

Ciptakanlah Pulau Samosir menjadi destinasi wisata kelas dunia lalu tawarkanlah pada wisatawan. Belanda sudah menciptakan pulaunya, giliran orang Samosir untuk membangunnya.

Demikian catatan dari saya, Felix Tani, petani mardijker, pernah keliling Pulau Samosir, tapi belum pernah menjelajah ke pedalaman Samosir.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun