Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hanya Basuki yang Mampu Menekuk Anies Baswedan

2 Februari 2020   14:44 Diperbarui: 2 Februari 2020   14:55 11594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Basuki Hadimuljono dan Anies Baswedan (Foto: indopolitik.com)

Basuki Hadimuljono sejatinya adalah seorang penata bata, bukan penata kata. Penata bata maksudnya pekerja bangunan. Memang itulah pekerjaannya.  Selaku Menteri PUPR dia bekerja membangun infrastruktur perekonomian, sarana umum, dan perumahan rakyat.  

Basuki berbicara dengan tangannya, bukan dengan mulutnya.  Orang melihat apa yang dibangunnya, bukan apa yang digaungkannya. Dia tidak menjanjikan utopia, tapi mewujudkan mimpi rakyat.  

Dikenal sebagai pribadi yang rendah hati, suka bergurau, Basuki bukan tipe pejabat yang gemar menggebuk orang menggunakan kata-kata.  Dia lebih suka menggebuk drum saat grupnya, Elek Yo Band,  didaulat manggung.

Basuki juga pejabat yang steril dari hingar-bingar debat dan polemik politik. Bukan karena tidak paham politik, tapi karena sebagai birokrat karir, dia lebih cinta bekerja ketimbang berpolitik. Dia suka menyebut dirinya sebagai " menteri yang paling gak ngerti politik".

Tak dinyana justru Basuki yang tak pintar menata kata dan "gak ngerti politik" inilah yang ternyata mampu menekuk kemampuan Anies Baswedan  menata kata atau menyusun kilah dan dalil pembenaran diri. Cukup dengan kalimat lugas, sahaja, dan objektif. Anies langsung "terpuruk di pojok ring". Kemampuan tata katanya langsung sirna.

Saya akan ceritakan rangkaian kejadiannya secara singkat. Sebelum kemudian mencoba menafsir makna politisnya.


***

1 Januari 2020.  Banjir melanda 60-an titik lokasi di Jakarta.  Akibat curah hujan lokal yang ekstrim, di atas 150 mm.  Kawasan Halim mencatatkan curah hujan tertinggi sepanjang sejarah Jakarta, 377 mm.

Selepas memantau kondisi banjir di sepanjang Ciliwung bersama Anies, Basuki menyampaikan fakta objektif di lapangan. Katanya, dari 33 km ruas Ciliwung di Jakarta, 16 km sudah dinormalisasi.  Banjir tidak terjadi di ruas 16 km itu. Tetapi di ruas 17 km yang belum dinormalisasi.

Berdasar fakta obyektif itu, Basuki minta pada Anies untuk melanjutkan pembebasan tanah sepanjang bantaran 17 km Ciliwung.  Agar Kementerian PUPR dapat melanjutkan program normalisasi sungai.  Maksudnya, pelebaran dan pendalaman sungai serta penurapan (betonisasi) bantarannya.

Menanggapi Basuki, Anies berargumen bahwa selama curah hujan di hulu tidak dikendalikan, maka upaya apapun yang dilakukan di hilir, Jakarta, tidak akan bisa mencegah banjir.  Lalu Anies menunjuk pada proyek bendungan retensi Ciawi dan Sukamahi, Bogor yang belum rampung.

Sepintas argumen Anies logis. Tapi sebenarnya mengandung kesalahan logik (logical fallacy).  Argumen Anies itu dikenal sebagai "red herring argument". 

Dia sengaja mengalihkan isu dengan mengungkapkan fakta tentang pekerjaan Kementerian PUPR yang belum tuntas di hulu.  Dia menggaris-bawahi dua proyek bendungan retensi yang belum selesai.

Anies mengalihkan isu karena tidak punya data kerja untuk  mematahkan kesimpulan Basuki.  Faktanya  proyek normalisasi di 17 km ruas Ciliwung dihentikan Anies. Proyek sodetan Ciliwung-BKT juga dihentikan. Sementara program naturalisasi yang digaungkan sebagai pengganti tak juga dijalankan.  

Anies sebenarnya masih berusaha mematahkan kesimpulan Basuki bahwa   banjir masih terjadi  di Kampung Pulo yang telah dinormalisasi.  Tentang ini Basuki kemudian menjelaskan bahwa ruas Ciliwung di Kampung Pulo sejatinya belum rampung dinormalisasi.  

"Red herring argument" dari Anies sebenarnya juga tak punya dasar faktual. Sebab faktanya curah hujan di Bogor per 1 Januari 2020 di bawah 80 mm.  Tidak ada banjir kiriman dari Bogor pada hari itu. 

Karena itu kasus banjir Jakarta pada 1 Januari 2020 tidak ada hubungannya dengan fakta belum  selesainya dua bendungan di Bogor.

Jelas bahwa pada adu argumen pada 1 Januari 2020 antara Basuki dan Anies, pihak yang "tersungkur di pojok" adalah Anies Baswedan. Aneh jika Anies serta para pendukungnya menganggap diri di pihak yang benar.

2-3 Januari 2019.  Melanjutkan adu argumen dengan Basuki, pada 2 Januari Anies melontarkan tantangan debat penyebab banjir pada waktunya setelah penanggulangan dampak banjir tuntas. 

Walau tidak eksplisit menyebut nama, jelas tantangan ditujukan pada Basuki.
Menanggapi tantangan Anies, Basuki berujar ringan bahwa dia "tidak dididik untuk berdebat" tetapi untuk "bekerja". 

Karena itu dia langsung menurunkan stafnya ke titik-titik banjir di Jabodetabek untuk mengungkap penyebab banjir dan atas dasar itu mengambil langkah pengendalian.

Basuki paham betul bukan saatnya lagi berdebat soal penyebab banjir di Jakarta sekarang ini.  Penyebabnya sudah jelas yaitu nihilnya manajemen dan teknologi mitigasi banjir di Jakarta saat ini.  

Dengan kata lain, Basuki sejatinya melancarkan sebuah "pukulan mematikan" yaitu bahwa penyebab banjir di Jakarta sudah terang-benderang tapi pengendalian banjirnya yang masih gelap.

Jika Basuki menurunkan staf ke lapangan, maka tujuannya semata mengumpul data valid tentang penyebab banjir di berbagai titik lokasi. Berdasar itu lalu akan dirumuskan langkah-langkah kongkrit mitigasi banjir.

Jadi tak perlu membuang energi untuk berdebat segala. Tidak guna kecuali ada niat "politisasi banjir" untuk mendongkrak elektabilitas menuju Pilpres 2024.

Untuk mengunci Anies, Basuki bilang bahwa normalisasi dan naturalisasi sama saja.  Dua-duanya berimplikasi pelebaran dan pendalaman sungai untuk melancarkan aliran air dari hulu ke hilir, ke laut.  Dua-duanya juga berimplikasi relokasi warga dari bantaran sungai.

Karena itu, kata Basuki, mau normalisasi atau naturalisasi terserah saja.  Yang penting, Anies melaksanakannya.  Dengan kata lain, Basuki mau menekankan, untuk mitigasi banjir di Jakarta yang diperlukan adalah eksekusi bukan narasi.  

Narasi tanpa eksekusi hanya akan meningkatkan ketinggian banjir. Itu sudah terbukti di Jakarta. Narasi Anies tentang naturalisasi sungai dan drainase vertikal tidak mampu mencegah banjir di Jakarta.

Adu argumen pada 2-3 Januari 2020 jelas sekali lagi menyudutkan Anies di pojok ring.  Sebab dia mengajukan tantangan debat tentang penyebab banjir Jakarta yang sebenarnya sudah terang benderang sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi. 

Karena itu Basuki sudah langsung terjun ke lapangan untuk  merintis langkah-langkah kongkrit mitigasi banjir.  

Anies masih berpikir soal debat penyebab banjir, Basuki sudah mulai melakukan langkah-langkah pengendalian penyebab banjir itu di lapangan.  

27 Januari 2020.  Ramai soal proyek revitalisasi Monas yang menebas 205 batang pohon, Basuki dengan lugas berujar bahwa revitalisasi Monas sudah dilakukan empat gubernur.  Tiga gubernur sebelumnya memperoleh ijin terlebih dahulu dari Komisi Pengarah. Baru pada era Anies revitalisasi Monas dijalankan tanpa ijin.

Ijin Komisi Pengarah adalah syarat yang   diamanatkan Keppres Nomor 25 Tahun 1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka di Wilayah DKI Jakarta. Ketua Komisi Pengarah adalah Mensesneg sedangkan wakil ketua adalah Gubernur Jakarta. Basuki sendiri, selaku Menteri PUPR adalah salah seorang anggota Komisi Pengarah.

Bagi Basuki, revitalisasi Monas berarti  "menghidupkan kembali".  Faktanya revitalisasi Monas versi Anies berimplikasi "pembunuhan 205 batang pohon".  Jadi sangat jelas Basuki dan Anies punya pandangan yang bertolak-belakang tentang revitalisasi Monas.

Kali ini Anies betul-betul "mati kata". Benar belaka dia belum mengantongi ijin revitalisasi Monas dari Dewan Pengarah. Jadi, mau berdalih macam apa lagi. Tambahan revitalisasi Monas itu anti-mitigasi banjir, karena memangkas luasan ruang terbuka hijau di Jakarta. Dengan kata lain mengurangi luas area tangkapan air (hujan).

***

Cara terbaik membungkam ahli narasi adalah menunjuk langsung ketakmampuannya mengeksekusi narasi yang dibangunnya.  

Itulah yang dilakukan Basuki terhadap Anies.  Tanpa tedeng aling-aling secara frontal menyatakan bahwa Anies tidak mampu menjalankan mitigasi banjir di Jakarta. Tidak normalisasi, tidak juga naturalisasi sungai (dan drainase vertikal) yang dinarasikannya sebagai solusi terjitu untuk banjir Jakarta.

Baru kali ini ada pejabat tinggi, namanya Basuki, jabatan Menteri PUPR yang secara objektif langsung "tunjuk hidung" pada Anies soal ketakmampuannya memitigasi banjir Jakarta.  Baru kali ini pula argumen bela diri Anies berantakan, keluar dari konteks, sehingga dia terlihat sebagai "anak kecil yang menyalahkan temannya atas kekacauan yang dibuatnya".

Bahkan baru kali ini seorang Anies Baswedan yang piawai menata kata sampai tersudut  mati kata.  Ternyata tidak butuh seorang penata kata handal untuk menekuk Anies, cukup seorang "penata bata" mumpuni.

Lantas apa makna peristiwa ini secara politik? Simpel saja.  Anies telah berhadapan dengan rival tangguh menuju perebutan kursi pada Pilpres 2024.  Rival itu adalah Basuki Hadimuljono, Menteri PUPR pada Kabinet Indonesia Maju 2019-2024.

Basuki adalah " kloning sosial" Jokowi. Mulai dari langgam bicara sampai langgam kerjanya, persis serupa Jokowi. Basuki adalah tipe orang yang berbicara tentang apa yang benar-benar dikerjakannya untuk bangsa dan tanah air.  

Kebalikannya adalah Anies Baswedan. Anies adalah tipe orang yang berbicara tentang apa yang menurutnya bagus untuk bangsa dan tanah air (dalam hal ini direpresentasikan Jakarta). Tapi dia tidak mampu menjalankannya.

Secara sederhana, bisa disimpulkan, saat Anies masih sibuk dengan narasi pembangunan, Basuki sudah sibuk dengan eksekusi di lapangan.

Jadi jika keduanya bertemu di arena debat Pilpres 2024, maka kita akan menyaksikan pertarungan antara "kekuatan narasi" dan "kekuatan eksekusi".  

Pada kasus banjir Jakarta sudah tampak jelas bahwa kekuatan eksekusi dari Basuki mampu menekuk habis kekuatan narasi Anies.

Tinggal sekarang bagaimana Basuki yang mengaku "paling gak paham politik" ini mendapatkan promosi politik menuju Pilpres 2024.  Popularitas sudah di tangannya.  Kemampuan kerja pembangunan sudah dibuktikan. Integritasnya tak diragukan.

Demikian catatan saya, Felix Tani, peyani mardijker, mendukung Basuki Hadimuljono maju pada Pilpres 2024.  

Ayo, Pak Bas, Anda sudah masuk gelanggang,  #2024BasukiPresiden!(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun