Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Deritaku sebagai Kompasianer Verifikasi Biru

13 November 2019   16:18 Diperbarui: 15 November 2019   11:13 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi dari booktrib.com

Aku tidak pernah meminta status verifikasi biru kepada Admin Kompasiana. Tidak. Walau aku berharap. Sebab biru itu warna favoritku. 

Ya, biru. Katanya penanda kecerdasan, kekuatan, dan kepercayaan diri. Faktanya aku kebalikan dari itu semua. Celakanya orang menganggapku dusta. Padahal aku berkata jujur.

Verifikasi biru itu datang seperti maling di malam hari tapi kepergok di pagi hari.  Di satu pagi, beberapa bulan setelah menjadi Kompasianer pada paruh pertama 2014, tiba-tiba   akunku terverifikasi biru. Pada hal malam kemarinnya, sebelum berangkat tidur, masih verifikasi hijau. 

Jadi aku harus bagaimana? Harus menolak sebuah harapan yang menjadi kenyataan? Tidak, kawan! Aku tidak punya hati untuk melakukannya.

Aku syukuri saja apa adanya. Menghargainya sebagai pengakuan Admin Kompasiana atas artikel-artikelku yang (rupanya dianggap) bermutu. 

Waktu itu, di tahun-tahun awal bergabung ke Kompasiana, artikelku terbagi ke dalam tiga kategori spesifik. Pertama, seri  kritik sosial pada Jokowi dengan topik khusus pertanian dan pedesaan. 

Kedua, seri "Humor Revolusi Mental", refleksi pengalaman konyol, dengan intensi memasyarakatkan ide "revolusi mental" dari Jokowi melalui "jalan tawa". Tokoh utama humor itu adalah Poltak dan Frans, dua nama untuk satu persona.

Ketiga, seri pelajaran santai "pendekatan penelitian kualitatif" dalam tradisi ilmu-ilmu sosial. Seri ini yang menghasilkan gelar "Suhu" dan "Prof" untukku. Penyemat gelar hiperbolik itu adalah sejumlah murid "sableng". Antara lain Pebrianov (pseudonym), S. Aji, Susy Haryawan, dan Jati Kumoro.

Itu gelar yang kelewat tinggi. Sebab aku hanya seorang petani mardijker.  Terbiasa mengamati karena pernah belajar Sosiologi. Lalu menulis sebagai konsekuensi pengamatan. Begitu saja.

Mungkin seri kritik sosial dan seri pendekatan penelitian kualitatif itulah yang diapresiasi Admin Kompasiana. Sehingga akunku diganjar status verifikasi biru. Mungkin, lho. 

Tapi sebuah pengakuan lazimnya  selalu menjadi beban tanggungjawab, suatu "jalan derita" menurut imanku. Suatu "jalan derita" kepenulisan di Kompasiana.

Aku akan ceritakan di sini, secara ringkas saja. Siapa tahu ada manfaatnya. Sekurangnya mungkin bisa membuat suka hati orang yang senang melihat orang kena derita.

Ora HL Ora NT Ora Problem!

Kompasianer verifikasi biru wajib menjadi panutan dalam penulisan artikel bermutu. Inilah harapan yangdisematkan oleh umumnya Kompasianer pada subyek verifikasi biru.

Suatu harapan yang terlalu tinggi. Tidak selayaknya. Kompasianer verikasi biru juga manusia biasa. Seperti umumnya Kompasianer. Tak sudi diborgol oleh harapan berlebih dari khalayak. Tetap ingin menulis karya picisan untuk menyenangkan diri.

Maka verifikasi biru itu bagiku adalah pangkal derita.  Karena aku adalah penganut "mashab anarkisme" dalam kepenulisan.  Pantang terikat pada kaidah-kaidah penulisan baku yang diajarkan di sekolah.  Juga pada tips yang ditawarkan dalam buku teks dan artikel teknik penulisan atau di kursus kepenulisan.

Rumusku dalam kepenulisan sederhana saja.   Tuliskan apa saja dengan cara apa saja sepanjang itu logis,etis dan (mudah-mudahan) estetis. Tidak perlu pusing dengan misalnya pilihan kata, gaya bahasa,  struktur kalimat, atau alur tulisan. Terlalu memikirkan hal-hal teknis seperti itu bisa membuat orang tak pernah bisa menuliskan kata pertama.

Mashab anarkisme itu, betul saja, membuat banyak tulisanku di Kompasiana terlempar ke tong HL (Hanya Lewat). Alias tidak kena label Artikel Pilihan, apalagi Head Line (sekarang Artikel Utama). Terutama seri tulisan "Humor Revolusi Mental". 

Khalayak pembaca berharap artikel bermutu (Pilihan, Artikel Utama) dariku. Tapi aku menyajikan artikel picisan untuk mereka. 

Tarik-menarik antara keinginan pembaca dan keinginan pribadi ini adalah derita bathin tersendiri. Ikut maunya pembaca, juga Admin Kompasiana, atau mauku sendiri?

Untungnya seorang anarkis bisa menemukan cara untuk mengatasi perang bathin semacam itu. Cukup dengan tag "Ora HL ora NT ora problem!"  (HL, Head Line; NT, Nilai Ternggi). Beres sudah. 

Aku tak perduli dengan semua harapan orang itu.  Aku menulis semauku saja. Mau HL, mau NT, mau "numpang lewat aja", aku tak perduli.  Pokoknya, menulis itu harus senang.

Lewat satu artikel, aku bahkan mempromosikan penulisan "artikel picisan" di Kompasiana. Entah ada yang terpengaruh, atau tak ada, tidak soal bagiku.

Tapi kesenangan tak berlangsung lama. Admin Kompasiana mengggusur rumah "Humor" dari kategori artikel Kompasiana. Maka hilang sudah rumah untuk "Humor Revolusi Mental".  Membuat artikel humor menjadi nomaden, nelangsa tanpa rumah. 

Aku patah hati.  Lalu makin anarkis dengan menulis artikel-artikel "genre bullying".  Maka terkaparlah korban-korban bullying di Kompasiana. Sebutlah Pebrianov, S. Aji, Susy Haryawan, dan Jati Kumoro.   

Mungkin ada yang bertanya mengapa "Suhu" tega membully "murid-murid"-nya. Oh, itu untuk membalaskan sakit hati sejumlah guru yang waktu itu dibully muridnya di dunia nyata. 

Tidak, itu alasan yang mengada-ada.  Aku hanya mengikuti teori psikologi. Bahwa orang yang menderita karena tertindas akan melampiaskan deritanya dengan menindas orang yang dianggapnya lebih lemah. 

Siapakah yang lebih lemah dibanding seorang "Suhu"? Ya, "murid", tentu saja!

Lihatlah. Betapa berbahaya jika ada seorang Kompasianer penuh derita berkeliaran di dunia Kompasiana.

Ora HL ora Elok

Belakangan Admin Kompasiana memulihkan lagi rumah "Humor". Tapi aku sudah kadung patah hati. Tepatnya patah arang. Tak mungkin lagi disatukan.

Lagi pula ada alasan lain mengapa aku ogah kembali ke rumah "Humor". Di dunia nyata tiap hari banyak ulah politisi yang lebih lucu dari humor terbaikku.  Jadi untuk lagi apa menulis humor? Sudah ada pertunjukan humor secara "live" dari para politisi negeri ini.  

Alasan lain, saya menemukan lahan anarki baru.   Menafsir ulang etnis Batak.   Budaya, alam, struktur sosial, kehidupan, dan perkembangannya. 

Karena menafsir secara anarkis, maka kadang ada penolakan. Seorang pembaca pernah berujar, "Mengapa saya harus percaya pada kata satu orang, jika pendapat umum mengatakan lain?" Ya, mungkin rekan pembaca itu lupa bahwa kebenaran baru selalu berawal dari satu pendapat yang berbeda.

Begitulah, saya terus menulis di Kompasiana tetap dengan langgam anarkisme.  Aku menulis apa saja dengan cara apa saja. Yang penting logis, etis, dan semoga estetis.

Tidak perduli apakah tulisanku tampil atau tidak menjadi Pilihan atau Artikel Utama. Itu tak perlu. 

Anarkisme menurutku membuahkan kejujuran. Maka cukuplah jika aku telah menyajikan artikel yang jujur pada khalayak.  Jujur dalam arti, itulah "signature"-ku.

Tapi Admin Kompasiana memang hiper-kreatif.  Baru-baru ini dikeluarkanlah regulasi baru bahwa artikel dari Kompasianer terverikasi biru langsung dapat label Pilihan.  

Aku tidak suka regulasi itu.  Karena aku menjadi kehilangan instrumen pengukur mutu artikelku. Meskipun aku tidak perduli apakah artikelku Pilihan atau bukan, aku perlu juga alat ukur untuk menilai sejauhmana orang lain menghargai artikelku. Dalam hal ini, label "Pilihan" dan "Artikel Utama" menurutku adalah alat ukur yang cukup baik.

Nah, dengan menjadikan artikel Kompasianer terverikasi biru otomatis Pilihan, maka hilanglah kesempatan untuk evaluasi diri.  Jangan dikira bahwa seorang anarkis tidak perlu evaluasi diri. Itu wajib hukumnya.

Admin Kompasiana rupanya menetapkan standar tinggi untuk Kompasianer terverikasi biru.  Harus memenuhi kriteria "Artikel Utama".   Label artikel "Pilihan" bukan lagi "prestasi". "Ora HL ora Elok," begitu mungkin etikanya.

Karena labelisasinya otomatis, Kompasianer verifikasi biru tak pernah tahu apakah artikelnya itu layak atau tidak dilabeli "Pilihan". 

Bagiku itu adalah sumber derita baru. Terutama karena otomasasi label "Pilihan" itu disertai ancaman. Jika setelah sekian lama dan sekian judul artikel ditayangkan, tapi mayoritas artikel itu sebenarnya tidak layak jadi "Pilihan", maka Admin Kompasiana akan mengevaluasi status verifikasi biru Kompasianer yang bersangkutan.

Paham maksudnya? Jika kemudian terbukti Kompasianer verifikasi biru itu sebenarnya hanya menghasilkan artikel picisan, yang sejatinya tidak layak jadi "Pilihan", maka ada risiko verifikasi birunya dicabut.  Jatuh lagi menjadi Kompasianer centang hijau (?)

Sekarang Admin Kompasiana "memaksa" Kompasianer verifikasi biru untuk memproduksi tulisan berkualifikasi "Artikel Utama". Maksudnya baik. Agar Kompasianer memproduksi artikel yang mencerminkan kualifikasi birunya.  

Tapi itu termasuk kategori "paksaan halus" (gentle oppression). Suatu paksaan, apapun bentuknya, pastiah membuahkan derita bagi yang dipaksa. Dipaksa untuk menulis artikel dengan kualitas terbaik menurut ukuran Admin Kompasiana. 

Jadi, jika ada rekan Kompasianer yang menganggap enak Kompasianer verifikasi biru, karena menulis apapun pasti jadi "Pilihan", maka dia salah.  Tidak kawan, itu tidak enak. 

Itu "jebakan betmen", sumber penderitaan bagi seorang Kompasianer anarkis sepertiku. Membuat aku tak bisa lagi menulis artikel picisan seenaknya. Padahal di situ letak kebahagiaanku.

Tampil Beda atau Lenyap

Sejak awal bergabung ke Kompasiana, aku tak pernah berpikir untuk menjadi sama dengan Kompasianer yang merajai "Head Line" dan "Nilai Tertinggi". Mereka adalah Kompasianer lapis atas. 

Tapi ada satu prinsip yang saya pegang. Di dunia maya, khususnya medsos, seseorang hanya bisa eksis jika tampil beda.  Jika sama seperti yang lain, maka tak lebih dari sekadar pengikut yang akan lenyap dalam khalayak sejenis.

Seri artikel "kritik sosial pada Jokowi", "Penelitian Kualitatif" dan "Humor Revolusi Mental" adalah upayaku untuk tampil beda. Aku tak mau larut dalam ingar-bingar artikel politik. Sebab khawatir jatuh pada kerja reproduktif.

Sekarang aku menulis tentang Batak, pertanuan, dan Gubernur Jakarta dengan perspektif anarkis. Sebagai upaya menemukan kebenaran lain. Walaupun ada risiko analisisku ngawur. Anarkisme, sekalipun jujur, belum tentu berujung oada satu kebenaran baru.

Tapi  aku tak gendak mendorong rekan-rekan Kompasianer menjadi anarkis. Tapi menjadilah Kompasianer yang beda, yang punya "signature" khas. Caranya untuk sampai ke sana, cari dan temukanlsh sendiri. Tidak ada satu jalan tunggal.

Jangan sudi hanya menjadi Kompasianer pengikut atau peniru Kompasianer top. Semisal Pebrianov, Susy Haryawan, S. Aji, Leya Cattleya, Giri Lumakto, Yon Bayu, Robby Gandamana, Tjiptadinata Effendi, Abanggeutanyo, Suprihati, Ronald Wan, Rinaldi Sikumbang, dan Ryo Kusumo. Untuk menyebut beberapa nama yang teringat.

Sekali menjadi Kompasianer pengikut atau peniru, maka dipastikan akan lenyap dalam lautan pengikut. Seseorang bisa langsung terligat dalam lautan massa berbaju putih, jika dia mengenakan baju hitam.

Begitulah catatan saya, Felix Tani, petani mardijker, mengucapkan "Selamat Ulang Tahun Ke-11, Kompasiana. Tetaplah hidup untuk bangsa!" (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun