Begini. Pedagang sayuran dan pedagang ayam itu adalah pengusaha-pengusaha kecil, kategori "orang kecil". Jika dibanding pada pengusaha supermarket. Kami, pembeli, memang bukan orang kaya, tapi kami (pembeli) adalah "raja".Â
Para pedagang kecil itu harus membina hubungan baik dengan "raja"-nya, yaitu para pelanggan setia. Itu budaya tani kecil yang mereka pertahankan di kota.
Rupanya Mang Asep dan Bu Odah menilai kami termasuk "raja" karena pelanggan setia. Kami adalah bagian dari sumber rejeki tetap untuk mereka. Maka sepantasnya diungkapkan rasa syukur. Maka angpau Rp 100,000 dan seekor ayam gratis itu sejatinya adalah simbol rasa syukur mereka.Â
Bagi kami maknanya adalah berkah. Bahwa rasa syukur itu mereka sampaikan pada bulan Ramadhan, menjelang Lebaran, tak bisa lain karena Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah dan syukur.
Tadinya isteriku sudah khawatir harga sembako membubung di pasar. Maklum sebentar lagi Lebaran. Â Dalam dua minggu terakhir harga-harga kebutuhan pokok memang mengalami kenaikan. Para pedagang jujur memberitahukan pada pelanggan. Bukan bermaksud meraup untung. Tapi harga dari pedagang pengumpul juga sudah naik.
Para pedagang kecil di pasar tradisional, seperti Pasar PSPT Tebet, tidak pernah mau mengambil untung lebih dari yang selayaknya. Terlalu banyak padagang produk serupa di sana.Â
Kemahalan sedikit saja bisa berakibat kehilangan pelanggan. Jadi, kalau pedagang sayur dan pedagang ayam itu memberi rejeki untuk kami, itu mereka berikan dari keterbatasannya.
Bandingkan dengan pengusaha supermarket yang cenderung berwatak monopolistik. Di bulan Ramadhan, apalagi mendekati Lebaran, mereka "bermurah hati" memberi "potongan harga" (konon setelah dinaikkan dulu). Terkesan baik hati tapi sejatinya mereka memberi (potongan harga) dari kelimpahannya. Â
Begitulah kisah dua pengalaman mendapat berkah pagi hari di pasar, dari saya Felix Tani, petani mardijker, percaya rejeki kakek saleh tidak lari ke lain tempat.***
Â
Â
Â
Â
Â