Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hariara, Pohon Tertinggi Sejagad yang Ada di Tanah Batak

25 April 2019   18:30 Diperbarui: 26 April 2019   13:49 4052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ingin tahu pohon hariara? Ada satu pohon di Taman Ayodha, Jalan Melawai Raya, Jakarta Selatan (Dokumentasi Pribadi)

Bagi mereka yang sudah menonton film layar lebar Avatar besutan James Cameron, tentulah ingat dengan "Pohon Jiwa" (Tree of Souls) yang tumbuh di Planet Pandora, tempat suku humanoid Na'vi hidup.

Pohon Jiwa ini, semacam pohon willow raksasa, menjadi penghubung mistis antara Suku Na'vi dengan Eywa, "Dewi Ibu" pelindung Bangsa Na'vi dan ekosistem "bulan" Pandora tempat mereka hidup. 

Dikisahkan, juga ditunjukkan dalam film, pohon itu dapat tersambung langsung ke sistem saraf manusia. Cara itu diterapkan untuk memindahkan jiwa manusia ke dalam suatu "avatar" (tubuh humanoid Na'vi) agar selamat dari kematian. 

Dalam khasanah antropologi budaya, "Pohon Jiwa" itu disebut sebagai "pohon hidup" (Lat., arbor vitae; Ing., tree of life). Dalam konsepsi mitolog Mircea Eliade (1974) "pohon hidup" semacam itu dimaknai sebagai "poros jagad" (axis mundi). Sebuah poros yang menghubungkan manusia dengan roh leluhur dan dewa-dewa (dewata).

Itu imajinasi (film Avatar) dan teorinya (arbor vitae, axis mundi). Pertanyaannya, apa hubungannya dengan pohon tertinggi sejagat raya yang ada di Tanah Batak?

***

Dalam mitologi orang Batak (Toba), juga dalam "agama asli", terdapat keyakinan tentang keberadaan satu pohon mitis-kosmis yang dinamai hariara Sundung di Langit (Hariara Bertajuk di Langit). Tapi sebelum mengurai lebih jauh, saya ingin jelaskan dulu tentang pohon hariara itu sendiri.

Hariara adalah pohon yang termasuk dalam genus Ficus (Keluarga: Moraceae, Ordo: Rosales), sehingga kerap juga disebut "beringin". Tapi hariara sebenarnya berbeda dengan beringin. Penciri utama, dibanding beringin, daunnya lebih lebar dan buahnya lebih besar. Buah hariara bisa dikonsumsi, rasanya manis. Buah itu sering dikonsumsi anak kecil tapi terutama sebenarnya lebih banyak dimakan monyet.

Dalam budaya mukim orang Batak, hariara digunakan sebagai penanda kelayakan perkampungan. Sebelum menetapkan suatu tempat sebagai lokasi kampung baru, maka terlebih dahulu di situ ditanam anakan pohon hariara. Jika setelah tujuh hari hariara itu bertahan hidup, maka lokasi itu dianggap tepat sebagai perkampungan, dengan keyakinan bahwa tanah di situ subur, cocok untuk bertani.

Pohon Hariara Bolon di Kampung Sukkean, Onanrunggu Samosir (Foto: vaiqbo.blogspot.com)
Pohon Hariara Bolon di Kampung Sukkean, Onanrunggu Samosir (Foto: vaiqbo.blogspot.com)
Karena itu pohon hariara lazim sebagai penanda bagi perkampungan (huta) asli orang Batak. Posisinya ada di mulut atau gerbang kampung. Umur pohon hariara itu dengan sendirinya menunjuk pada usia sebuah kampung Batak.

Pohon hariara diberi predikat sundung di langit karena tampilan fisiknya yang selalu tumbuh tegak lurus, tajuknya tumbuh tinggi ke atas sekakan menyunggi langit. Pohon hariara, jika ditanam sejak pembukaan kampung, bisa dipastikan sebagai pohon tertinggi di sebuah kampung asli Batak.

Salah satu pohon hariara yang ikonik di tanah Batak adalah pohon hariara parjuragatan (parjuragatan, tempat menggantungkan hidup) yang hidup di Bakkara. Tepatnya di kampung kelahiran sekaligus pusat kerajaan Sisingamangaraja yaitu di Sinambela, Kecamatan Baktiraja, Tapanuli Utara. Tinggi pohon sekitar 50 meter dan diameter batangnya kurang-lebih 5 meter.

Menurut cerita turun-temurun, hariara Bakkara itu berasal dari tongkat Raja Sisingamangara I yang ditancapkan di tanah lalu tumbuh menjadi pohon. Karena itu dinamai juga Hariara Tungkot. Itu legenda, boleh percaya boleh tidak, tapi itu indikasi pohon tersebut sudah berumur ratusan tahun.

Warga Bakkara meyakini pohon hariara tungkot tersebut sebagai pohon keramat yang bisa memberi pertanda. Sehingga disebut juga sebagai hariara namarmutiha (namarmutiha, pertanda). 

Konon, dahulu kalau ada cabangnya patah, berarti Raja Sisingamangaraja akan wafat dan saatnya digantikan penerusnya. Jika rantingnya patah, maka ada anggota keluarga Sisingamangaraja yang akan meninggal dunia. Jika dedaunannya terbalik layu, maka akan ada bencana alam, misalnya paceklik karena kemarau panjang.

***

Kembali ke Hariara Sundung di Langit, ini adalah pohon imajiner, suatu "pohon hidup" (arbor vitae) atau "poros jagad" (axis mundi) yang hidup dalam keyakinan atau agama asli etnik Batak (Toba). Artinya pohon itu tidak hadir secara fisik, tetapi hidup dalam kosmologi orang Batak sebagai pohon mitis-kosmis.

Dalam kepercayaan agama asli (paganism) orang Batak, Hariara Sundung di Lagit itu diyakini sebagai pohon yang diciptakan oleh Mulajadi Na Bolon (Pencipta yang Maha Besar), dewa tertinggi (Mahadewa) orang Batak. Pohon itu diyakini diciptakan bersamaan dengan penciptaan "Tanah Batak" dan "Manusia Batak Pertama" oleh Mulajadi Na Bolon di Kampung Sianjurmulamula, Gunung Pusukbuhit, sebelah barat kota Pangururan, Samosir sekarang ini.

Dalam kosmologi orang Batak, hariara Sundung di Langit itu dibayangkan sebagai pohon mahabesar dan mahatinggi yang mengisi "Tiga Dunia" yaitu Banua Toru (Dunia Bawah, Dunia Dalam/Perut Bumi), Banua Tonga (Dunia Tengah, Dunia Manusia), dan Banua Ginjang (Dunia Atas, Langit, Dunia Dewa Tertinggi dan Dewa Tinggi).

Pohon mitis-kosmis ini dibayangkan tumbuh tepat di puncak Gunung Pusukbuhit, gunung magis orang Batak. Akarnya menghunjam jauh ke Dunia Bawah, batangnya tegak lurus ke atas di dunia tengah, dan tajuknya membentang (madeha, sangkamadeha) di Dunia Atas (Langit). Itu sebabnya dinamai hariara Sundung di Langit, suatu sosok pohon imajiner tertinggi sejagad raya.

Gorga Hariara Sundung di Langit (Foto: budaya-indonesia.org)
Gorga Hariara Sundung di Langit (Foto: budaya-indonesia.org)
Karena "tumbuh" menembus tiga lapis banua (dunia) maka hariara Sundung di Langit itu merupakan "poros jagad" yang menghubungkan Dunia Bawah tempat Dewa Tanah meraja, dunia tengah tempat manusia hidup, dan dunia atas (Langit) tempat dewa-dewa tertinggi dan tinggi bersemayam. Artinya, dia menjadi "poros komunikasi" antara manusia dengan Mulajadi Na Bolon dan dewa-dewa lain di Dunia Atas, dan dewa-dewa/roh-roh penguasa tanah/bawah tanah.

Fungsi sebagai "poros komunikasi" itu tercermin dalam tonggo-tonggo (doa) para datu (dukun) dalam suatu upacara adat. Sebagai contoh, dalam upacara adat memasuki musim tanam padi, maka datu akan memanjatkan tonggo-tonggo yang memohon kepada Mulajadi Na Bolon agar memberi berkah hujan, sinar matahari, dan udara yang baik dan juga mohon kepada dewa-dewa tanah dan air (Naga Padoha, Boraspati ni Tano, Boru Saniangnaga) untuk memberi kesubururan tanah dan air, sehingga pertanaman memberi hasil melimpah-ruah (gabe na niula). (Tentang Boraspati ni Tano dan Boru Saniangnaga, sudah pernah saya tulis di Kompasiana).

Dalam statusnya sebagai "poros jagad", hariara Sundung di Langit itu bagi orang Batak, dan ini yang terpenting, adalah "pohon hidup". Ini tergambarkan dalam gorga (dekorasi) hariara Sundung di Langit pada dinding (dorpi) Rumah Adat Batak. Bentuknya berupa sebatang pohon tumbuh tegak berdahan delapan (lambang 8 penjuru mata angin) lengkap dengan akar yang kokoh. Posisi gorga ini ditempatkan pada dinding yang menjadi halang ulu (kepala) tempat tidur tuan rumah.

Dari akar ke batang bawah ada figur seeokor ular melilit sebagai simbol Naga Padoha, Dewa Penguasa Bawah Tanah yang bisa mendatangkan bencana (gempa bumi) atau ketenangan dan kesuburan (jika dipuja secara layak). 

Di bagian pucuk pohon terdapat figur burung yang disebut Manuk-manuk Hulambujati, simbol pembawa berkah sekaligus semacam malaikat perantara komunikasi antara Mulajadi Na Bolon dan manusia. Di bagian tajuk tengah ada juga figur burung membawa padi dan kapas yang disebut Manuk-manuk Imbulubuntal (warna merah) simbol karunia pemenuhan kebutuhan lahiriah manusia dari Mulajadi Na Bolon.

Kedelapan dahan hariara Sundung di Langit itu menunjuk pada delapan pilihan nasib manusia dalam kehidupan yang diberikan oleh Mulajadi Na Bolon. Dalam disertasinya P.O. L. Tobing (The Structure of the Toba-Batak Belief in the High God, Rijkuniversiteit: 1963) menjelaskan bahwa dahan arah timur (emas) menunjuk pada nasib hidup sebagai raja besar atau penguasa tinggi; dahan tenggara (emas dan tembaga) menunjuk pada raja biasa/menengah; dahan selatan (perak) menunjuk pada raja tanah atau raja boru (penerima isteri) di desa hulahula (pemberi isteri); dan dahan barat daya (kuningan) menunjuk pada boru kelas menengah. 

Selanjutnya dahan barat (timah) menunjuk pada dukun besar; dahan barat laut (tembaga) menunjuk pada parripe (pendatang) yang banyak keturunan; dahan utara (besi) menunjuk pada parripe biasa atau orang miskin; dan dahan timur laut (kayu) menunjuk pada nasib sebagai budak.

Kemudian akar pohon menunjuk pada usia panjang sedangkan daun pucuk pohon menunjuk pada usia sangat pendek. Lalu buah yang tua menunjuk pada orang perkasa, buah yang buruk bentuk menunjuk pada orang bodoh, dan buah busuk menunjuk pada orang jahat.

Begitulah, pada bagian-bagian pohon Hariara Sundung di Langit itu sudah diterakan nasib yang dapat dipilih oleh setiap orang Batak yang lahir ke dunia ini. Dalam hal ini orang Batak percaya bahwa nasib itu adalah pilihan manusia, bukan ketetapan mutlah dari Mulajadi Na Bolon. Artinya, manusia Batak boleh berusaha mengubah nasibnya, dengan cara memohon kepada Mulajadi Na Bolon sambil berupaya keras meraih nasib yang diinginkannya (ora et labora).

Begitulah pohon mitis-kosmis Hariara Sundung di Langit merepresentasikan pilihan-pilihan kehidupan bagi orang Batak serta keterikatan pada Mulajadi Na Bolon serta dewa-dewa dan roh-roh yang memiliki domain kuasa di tanah, air, dan langit. 

Pohon imajiner ini menggambarkan secara lengkap kehidupan orang Batak, dari lahir sampai mati, dari dunia sampai akhirat. Pohon ini menggambarkan "Awal" (Alpha) dan "Akhir" (Omega) kehidupan menurut kosmologi asli orang Batak.

***

Hariara Sundung di Langit sejatinya adalah khasanah "pengetahuan dan kearifan lokal asli" masyarakat Batak yang memiliki nilai filosofi dan religiositas tinggi. Sebagai "pohon hidup" dia menunjuk pada sebuah gagasan tentang kesatuan manusia dengan alam dan penciptanya yaitu Mulajadi Na Bolon.   

Intinya, Mulajadi Na Bolon telah menciptakan manusia untuk hidup berdaulat di bumi, memenuhi nafkah dari pemanfaatan kekayaan tanah secara selaras alam (simbol akar hariara), lalu tumbuh ke atas dengan orientasi pada Yang Maha Kuasa (simbol pucuk hariara lurus ke langit), dan pada saat bersamaan melebar ke samping untuk berbagi sumber hidup dengan sesama (dahan hariara yang terentang, sangkamadeha) sesuai dengan jalan hidup yang dipilih manusia atas restu ilahi.

Sayangnya, ketika Kekristenan masuk dan meluas ke Tanah Batak sejak akhir abad ke-19, Gereja melarang keyakinan asli tentang Hariara Sundung di Langit. Karena dinilai sebagai keyakinan Sipele Begu (Penyembah Roh, animisme), suatu keyakinan yang dinyatakan bertentangan dengan Kekristenan. 

Bersamaan dengan itu gorga Hariara Sundung di Langit juga mulai hilang dari dinding Rumah Adat Batak, digantikan oleh gorga sosok Orang Bule yang digambarkan datang membawa Hamajuon (Kemajuan) bagi orang Batak.

Ingin tahu pohon hariara? Ada satu pohon di Taman Ayodha, Jalan Melawai Raya, Jakarta Selatan (Dokumentasi Pribadi)
Ingin tahu pohon hariara? Ada satu pohon di Taman Ayodha, Jalan Melawai Raya, Jakarta Selatan (Dokumentasi Pribadi)
Saya kira kini saatnya para cerdik-pandai dan para bijak-bestari Batak menggali ulang nilai-nilai religiositas, budaya, sosial, ekologis, dan politik asli yang terkandung dalam konsepsi hariara Sundung di Langit. 

Filosofi monisme, kesatuan alam dengan manusia dan penciptanya yang terkandung dalam hariara Sundung di Langit itu mungkin bisa menjadi rujukan bernilai untuk pembangunan yang selaras alam dan selaras sosial-ekonomi bagi masyarakat Batak (Toba).

Demikianlah tuturan dari saya, Felix Tani, petani mardijker, di waktu kecil sering berebut buah hariara matang dengan sesama teman dan para monyet.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun