Sangat mungkin pemerintah Dusun Karet tidak paham, juga mungkin tidak sadar, bahwa "inovasi sosial" berupa peraturan yang melarang non-Muslim untuk tinggal dan atau membeli tanah di dusun itu, segaris dengan gagasan NII ataupun Khilafah.
Tapi juga bisa diduga, kalau membaca respons mayoritas warga di sana, ide "larangan bagi non-Muslim" itu sejatinya bukanlah sesuatu yang datang "dari bawah", dari nilai-nilai sosial budaya dan keagamaan asli yang hidup di komunitas itu.
Besar dugaan bahwa ide "larangan" semacam itu ditanamkan sebuah "kekuatan besar" dari atas-dusun atau atas-desa. Dengan cara indoktrinasi yang sangat efektif, kekuatan itu berhasil menanamkan sebuah ide "purifikasi", pemurnian, yaitu bahwa suatu komunitas Islam haram dimasuki oleh warga beragama non-Islam. Tentu, dengan dalil-dalil keagamaan yang "meyakinkan".
Apapun "kekuatan atas-dusun/atas-desa" itu pastilah itu kekuatan anti-Pancasila dan anti-UUD 1945. Soal ketidaksesuaian dengan Pancasila dan UUD 1945 ini tentulah tak pernah disinggung "kekuatan atas-dusun" tadi. Fokusnya adalah kepatuhan pada hukum-hukum Islam menurut tafsir "kekuatan" tersebut.
Jadi, jika diteliti lebih dalam, sangat mungkin bahwa dari sisi pandang pemerintah dusun dan tokoh-tokoh agama (Islam) setempat, penetapan larangan mukim dan beli tanah untuk orang non-Muslim itu sudah "benar", karena bertujuan untuk "menyelamatkan komunitas Muslim" dari "pencemaran" yang dibawa warga non-Muslim.
Indikasinya, pemerintah dusun menyebut-nyebut kekawatiran pendatang non-Muslim akan memelihara anjing dan atau dimakamkan di pemakaman Islam juga. Bisa ditafsir, hal semacam itu dinilai "pencemaran" terhadap ide "kemurnian Islam".
***
Kasus Dusun Karet itu saya sebut sebagai gejala "pemberontakan bisu" karena berlangsung "tanpa diketahui umum". Aturan pelarangan non-Muslim di Dusun Karet itu misalnya dibuat tahun 2015 dan baru terbuka sekarang, setelah Slamet melakukan perlawanan terhadap sesuatu yang dianggapnya diskriminasi.
Aturan tingkat dusun memang agak sulit dideteksi, mengingat bahwa dusun di Indonesia memiliki semacam "ruang sosial semi-otonom". Artinya, komunitas dusun bisa membentuk aturan sendiri tanpa harus melaporkannya ke Pemerintah Desa.
Agaknya "kekuatan atas-dusun/atas-desa" tersebut sangat paham mengenai karakteristik dusun, sehingga unit sosial ini dipilih sebagai lahan untuk menanamkan idiologi anti-Pancasila dan anti-UUD 1945.
Karena itu, ada baiknya Pemerintah Daerah memang mengambil langkah serius untuk menyisir aturan-aturan "semi-otonom" yang dibuat dusun. Untuk memastikan bahwa aturan-aturan itu bukan "pemberontakan bisu", atau gerakan diam-diam melawan Pancasila dan UUD 1945.