Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Dari Debat Capres: Mau Menang? Marahlah!

2 April 2019   14:03 Diperbarui: 2 April 2019   17:59 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Marah itu manusiawi.  Asalkan disalurkan dengan motif yang benar, cara yang benar, pada level yang terukur, ditujukan kepada orang yang tepat, di tempat yang pas, dan pada waktu yang tepat.  Pasti bisa menghasilkan buah kebaikan.

Pada acara Debat Capres antara Pak Jokowi dan Pak Prabowo hari Sabtu (30/3/2019) yang lalu, tak terbantahkan, Pak Prabowo berbicara dengan tensi tinggi, kerap dengan nada memuncak. Tafsir saya, Pak Prabowo berbicara dengan muatan emosi kemarahan.

Orang-orang seputar Pak Prabowo boleh berdalih, dengan seribu satu alasan untuk meyakinkan publik bahwa Pak Prabowo tidak marah, tapi memang begitulah caranya berbicara.   Oh ya? Seingat saya pada Debat Capres Ke-2, Pak Prabowo berbicara dengan nada-nada rendah, "humble".  

Pertanyaan mendasar sebenarnya adalah apa motif dasar di balik kemarahan Pak Prabowo itu.   Mengapa harus marah? Atau, meminjam perspektif "thick description" ala C. Geertz, "apa yang hendak dinyatakan dengan marah itu".

***

Kemarahan Pak Prabowo itu mengingatkan saya pada satu artikel lama yang pernah saya tulis di Kompasiana. Judulnya "Humor Revolusi Mental #084: Mau Roti? Marahlah!" (kompasiana.com, 11/5/2015, Diperbarui 17/6/2015)

Ringkasnya begini. Saat berlibur ke Yogya, Poltak bersama isteri dan dua anak perempuan kecilnya, tiba dan check-in di hotel sekitar pukul 22.00 WIB. Karena itu mereka memutuskan untuk makan malam di restoran hotel.

Entah karena filosofi alon-alon asal kelakon atau oleh sebab lain, sudah lewat 30 menit duduk di restoran, pesanan makanan belum juga datang.   Sementara perut sudah mulai berontak, dan mulut Poltak sekeluarga mulai ngoceh protes.

Karena tak tahan lapar, Poltak minta bicara pada Duty Manager restoran, seorang lelaki usia 30-an awal.

"Mas," tanya Poltak santun, "kami ke sini untuk makan malam, bukan untuk duduk-duduk.  Kami sudah menunggu makanan 30 menit.  Apakah Mas mau kami nunggu 30 menit lagi?"

"Aduh, mohon maaf sebesar-besarnya atas keterlambatan pesanan Bapak sekeluarga. Mohon kesabarannya menunggu sebentar lagi, Pak" jawab Duty Manager itu sangat sopan dan penuh penyesalan. Lalu mundur dan berbalik ke dapur.

Tapi sejurus kemudian, Mas Duty Manager datang ke meja Poltak sekeluarga dengan senampan aneka roti di tangannya.

"Sekali lagi mohon maaf atas keterlabatan ini, Pak.Sambil menunggu sebentar, sudilah menikmati sekadar penganan pembuka," katanya sambil menyajikan senampan roti dengan kesantunan yang meluluhkan amarah.

Sudah pasti yang paling senang adalah kedua anak perempuan Poltak.Terutama si bungsu yang sangat takjub dan bangga pada bapaknya yang mampu mendatangkan roti hanya dengan sebuah kemarahan di saat lapar mendera.

Besok malamnya, Poltak sekeluarga memilih makan malam di sebuah rumah makan di Jogjakarta. Ndilalah, nasib serupa menimpa pula. Hampir 30 menit beralalu, pesanan belum keluar juga dari dapur. Keluarga Poltak mulai ngoceh lagi.

"Ayo, Pak. Marah lagi kayak kemarin. Biar kita dapat roti lagi," tiba-tiba si bungsu memberi saran kepada Poltak. Rupanya kejadian malam sebelumnya sangat berkesan di hati si bungsu.

***

Anak perempuan bungsu Si Poltak seorang pembelajar polos yang cepat.  Langsung punya simpulan bahwa kemarahan di restoran akibat pesanan terlambat datang bisa mendatangkan roti sebagai unjuk sesal.

Kemarahan Pak Prabowo langsung mengingatkan saya pada "humor revolusi mental" lama itu. Sehingga, sejujurnya, saya termasuk seorang yang tertawa saat Pak Prabowo memarahi audiens debat yang "tertawa karena pertanahan kita rapuh" (tafsir Pak Prabowo atas tawa audiens).

Jika disimak dengan baik, kemarahan Pak Prabowo sebenarnya dipicu oleh satu kalimat sederhana dari Pak Jokowi:  "Saya melihat, Pak Prabowo tidak percaya pada TNI kita."

Kalimat itu langsung menyulut emosi  Pak Prabowo karena merasa harga diri dan integritasnya sebagai (purnawirawan) TNI diragukan Pak Jokowi.   Maka keluarlah pernyataan pembelaaan diri yang keras dan keluar dari isu debat:   "... saya pertaruhkan nyawa di TNI, saya lebih TNI dari banyak TNI!"

Selanjutnya, untuk meyakinkan Pak Jokowi bahwa dia "lebih TNI dari TNI", maka Pak Prabowo mengritik keras persenjataan dan pertahanan Indonesia yang dinilainya rapuh.  Tapi tak bisa menunjukkan serapuh apa, dan salah siapa sehingga jadi rapuh (ini yang membuat audiens tertawa).

Pak Prabowo tidak bisa menerima gagasan Pak Jokowi membangunan sistem pertahanan nasional berbasis IT.   Dia tetap berkeras, dan dengan nada marah, menginginkan Indonesia yang disegani dunia karena memiliki alutsista yang modern dan kuat.   "Si vis pacem para bellum!", begitu Pak Prabowo menegaskan dengan nada suara tinggi.

Jadi, kembali pada motif, apa sebenarnya motif kemarahan Pak Prabowo?   Sangat gambling sebenarnya.  Motifnya untuk menunjukkan superioritasnya atas Pak Jokowi. 

Pak Prabowo ingin menunjukkan kepada publik bahwa dia adalah tentara sejati (soldier of soldier), jauh lebih paham soal persenjataan dan pertanahan, mampu membangun kekuatan persenjataan dan militer nasional yang ditakuti dunia, dan karena itu paling pantas dipilih menjadi Presiden RI pada Pilpres 17 April 2019 nanti.

Motif "kecil"-nya, tentu saja, memenangi Debat Capres, sehingga bisa menarik tambahan suara pemilih untuk memenangi Pilpres 2019.

***

Tapi apakah Pak Prabowo mendapatkan kemenangan dalam Debat Capres itu sebagai buah dari kemarahannya?   Seperti keluarga Poltak mendapat roti dari restoran hotel sebagai buah kemarahan karena pesanan makanan sangat lambat datang?

Menurut saya tidak.   Sebab kalau diperiksa secara obyektif, sejak "kalimat sakti" itu dilontarkan Pak Jokowi, Pak Prabowo sebenarnya sudah kehilangan fokus dalam perdebatan.   Dia lebih banyak bicara hal lain yang sesuai "keahliannya" atau "visi dan misi"-nya sebagai Capres, ketimbang menjawab pertanyaan Pak Jokowi secara tuntas. 

Sebut misalnya pertanyaan strategis Pak Jokowi  tentang Mal Pelayanan Publik, termasuk di dalamnya program Online Single Submission (OSS).  Pak Prabowo malah menyoroti masalah distrust  masyarakat kepada pemerintah karena aparat yang korup. Bahkan bilang ada pejabat yang memerintahkan apparat memilih capres tertentu.   Dengan nada berapi-api, tentu saja.

Demikian juga saat menanggapi peran diplomasi Indonesia dalam penyelesaian kasus Rkhine State atau Rohingya di Myanmar.   Bukannya menjawab pertanyaan, tapi malah bicara soal pentingnya mengatasi kemiskinan dalam negeri.   Padahal yang dibahas soal politik luar negeri bebas dan aktif.

Untuk menunjukkan superioritasnya, bahkan Pak Prabowo merasa perlu mengeluarkan pernyataan bahwa "pertahanan Indonesia rapuh", karena dibangun atas dasar laporan ABS para petinggi TNI.   Dia mengkritisi anggaran pertahanan yang dinilainya terlalu rendah.  Tapi di sisi lain dia berpikir mengatasi masalah kemiskinan, tentu dengan konsekuensi tambahan anggaran yang tak kecil.

Jadi, apakah motif kemarahan Pak Prabowo untuk memenangi Debat Capres tercapai?  Menurut saya tidak.   Pak Prabowo hanya menang atas debat yang dibangunannya sendiri, tanpa kaitan apapun dengan Pak Jokowi.   Dia bertanya, dia menjawab sendiri, beberapa kali dengan jawaban "tidak tahu salah siapa".

Jadi, jangankan berpikir untuk memenangi Pilpres 2019 dengan modal "marah-marah", memenangi debat saja jurus "marah-marah" itu tidak manjur. 

Saya jadi teringat adegan pertarungan antara Miyamoto Musashi dengan Sasaki Kojiro di Pulau Ganryu.  Dengan bermodalkan pedang kayu, Musashi berhasil menaklukkan Kojiro yang menggunakan pedang baja panjang. Kuncinya, Musashi terlebih dahulu memicu kemarahan Kojiro sampai ke ubun-ubun, dengan cara terlambat datang.

Dengan kisah Musashi itu, saya hendak memberi jawaban atas pertanyaan siapa yang akan memenangi Pilpres 17 April 2019 nanti: apakah pemakai "kemeja putih" (pedang kayu) atau pemakai "stelan jas hitam" (pedang baja)?

Begitu saja dari saya, Felix Tani, petani mardijker, pengguna pacul dan bajak.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun